Palupuh
merupakan sebuah kecamatan yang secara adrimistratif berada dalam lingkungan
pemerintahan Kabupaten Agam. Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Pasaman
Timur, bagian selatan berbatasan dengan Kota Bukittinggi, bagian timur berbatasan
dengan Bukitbarisan dan bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Palembayan.
Keinginan
Belanda untuk menduduki Indonesia kembali tercapai pada tanggal 19 Desember
1948. Beberapa pasukan penerbang Belanda mulai mendarat di Lapangan Maguwo dan
terus menduduki wilayah Yogyakarta, yang masa itu merupakan ibu kota dan pusat
pemerintahan Indonesia (Rosihan Anwar: 1985). Beberapa saat setelah pendaratan,
Soekarno selaku Presiden Indonesia ditangkap oleh Belanda. Akan tetapi tepat
sebelum ditangkap, sempat dikirimkan surat kepada Mr. Syafroedin Prawiranegara
yang menjabat sebagai mentri keuangan dan waktu itu sedang berada di
Bukitinggi. Surat itu berisikan perintah agar dibentuknya suatu pemerintahan
darurat, sebab wilayah Yogyakarta sudah diduduki oleh Belanda.
Perjuangan
Mobrig dan Masyarakat Palupuh.
1.
Masuknya Mobrig ke Palupuh.
Setelah
Yogyakarta diduduki pada tanggal 19 Desember 1948, Bukittinggi juga mulai
dimasuki oleh Belanda. Setelah pada tanggal 18 Desember diintai, pada esoknya
pesawat udara jenis Mustang mulai mengitari kota sambil menyebarkan selebaran
yang berisikan bahwasanya Belanda tidak
lagi tunduk pada perjanjian Renville. Pada tanggal 20 Desember turunlah
perintah dari atasan untuk mengosongkan markas Mobrig yang ada di kawasan
Birugo untuk dipindahkan ke daerah
Jirek. Sedangkan bagian perlengkapan serta perbengkelan dipindahkan ke daerah
Sipisang, Palupuh.
Pada
tanggal 21 Desember, turun pula perintah untuk mengosongkan markas di jirek
untuk kemudian dipindahkan ke Sipisang. Ketika masa pemindahan tersebut yakni
tanggal 22, didapat berita bahwasanya Bukittinggi sudah jatuh ke tangan Belanda
kemarennya, maka markas yang awalnya ada di Sipisang dipindahkan ke daerah
Bateh Sariak. Yang mana pada masa itu langsung menjadi daerah pertahanan Mobrig
Sumatera Barat dan menjadi Markas Sektor II daerah pertempuran Agam dengan
komandan Inspektur Polisi I Amir Machmud. Sektor II ini kemudian dikenal dengan
sebutan Front Palupuh (Bungo Rampai Peran Pelajar Pejuang Di Sumatera Tengah
Selama Perang Kemerdekaan: 1996)
2.
Perjuangan Mobrig Bersama Masyarakat
Palupuh.
Setelah
dipindahkannya markas Mobrig ke daerah Bateh Sariak Palupuh, maka dimulailah
pembentukan strategi dalam menghadapi
serangan Belanda. Waktu itu Mobrig di komandoi oleh 3 orang pimpinan
Mobrig, yaitu Ajun Komisaris Besar Polisi Sulaiman Efendi yang masa itu
menjabat sebagai Kepala Polisi wilayah Sumatra Tengah, Inspektur Polisi II
Kaliansa Situmorang yang masa itu menjabat sebagai Komandan Polisi bagian Sumatra
Barat, Inspektur Polisi 1 Amir Machmud yang masa itu menjabat sebagai Komandan
perjuangan Front Palupuh.
Pada
masa itu semua laki-laki yang sudah dianggap sanggup akan langsung turun
bersama Mobrig untuk berperang. Untuk itu dipilihlah beberapa orang untuk
mengomandoi pasukan yang berasal dari kalangan masyarakat. Beberapa orang itu
diantaranya adalah Anwar Datuak Taman Batuah, Zainal Pakiah Muncak, dan Syafei.
Meskipun mereka yang mengomandoi masyarakat untuk berperang melawan Belanda,
akan tetapi posisi mereka tetap dalam suatu garis koordinasi dari Komandan
Mobrig.
Setelah
Bukittinggi diduduki oleh Belanda, mereka tetap melakukan pengejaran kearah
utara, tepatnya ke arah tempat adanya markas Mobrig. Pada awalnya Belanda tidak
pernah bisa memasuki daerah Palupuh, sebab mereka selalu gagal melewati garis
pertahanan paling depan dari para pejuang Front Palupuh. Tempat beradanya
pasukan Front Palupuh masa itu ada di atas bukit, yang sangat menguntungkan
bagi mereka dalam mematahkan serangan dari tentara Belanda.
Setelah
mencoba berulang-ulang, akhirnya pada suatu waktu pasukan Belanda berhasil
melewati pertahanan tersebut. Akan tetapi para pejuang tidak mati akal
menghadapinya. Setelah Belanda mulai memasuki wilayah palupuh, maka diputuslah
jalan yang mereka lalui sebelumnya, dengan artian mereka terperangkap bersama
para pejuang Front Palupuh.
Pasukan
Belanda kemudian mendirikan pertahanan di daerah Pasar Palupuh sekarang, jumlah
mereka kala itu lebih kurang 1 pleton pasukan dengan persenjataan lengkap.
Selama mereka terperangkap, keseluruhan logistik mereka dipasok melalui udara.
Selama mereka terperangkap tidak banyak yang dapat mereka lakukan, sebab
masyarakat dan Mobrig yang tergabung kedalam pejuang Front Palupuh selalu
melakukan penjagaan yang ketat. Dalam gerilya yang dilakukan, tidak jarang terjadi
baku tembak antara pejuang Front Palupuh dengan Belanda.
Jika
logistik untuk tentara Belanda dipasok melalui udara, untuk para pejuang front
palupuh juga mendapat pasokan dari markas Mobrig. Akan tetapi sering tidak
cukup, makanya disinilah semua masyarakat saling bahu-membahu dalam proses
perperangan. Untuk makanan para pejuang yang tidak mendapatkan jatah dari
markas Mobrig (pejuang yang berasal dari kalangan mayarakat sipil), makan
mereka disediakan oleh masyarakat. Di dapur-dapur umum mereka saling bekerja
sama dalam menyiapkan makanan.
Berhubung
pertahanan yang ada di Palupuh ini ada karena sebelumnya terdesak karena
penyerangan Belanda, maka untuk persediaan logistik sangatlah minim. Sebenarnya
persediaan senjata masa itu mencukupi untuk semua pasukan, akan tetapi
kendalanya ada pada amunisi. Untuk menyiasati hal tersebut, maka digunakanlah
senjata tradisional, seperti badia balansa (senjata rakitan), bambu runcing,
parang, dan lain-lain.
Selama
perperangan, pernah terjadi kelengahan dari tentara Front Palupuh yang berjaga.
Akibatnya tentara Belanda berhasil masuk ke perkampungan dann membunuh seorang
anak dari masyarakat sipil. Dari pengepungan dan kontak senjata dengan tentara
Belanda didapati korban meninggal dunia dari pihak Indonesia sebanyak 19 orang
yang terdiri dari pejuang dan masyarakat sipil.
Sepanjang
perperangan, jumlah pejuang dari kubu Front Palupuh adalah sebanyak 360 orang,
yang kesemuanya terdiri dari pasukan Mobrig dan ditambah dengan masyarakat
setempat. Selain itu terdapat 6 orang ABRI yang membantu perperangan, waktu itu
mereka terpisah dari kesatuan mereka yaitu Kesatuan Harimau Kuranji yang
berpusat di Padang. Hingga akhir perperangan mereka dikabarkan selamat.
Posisi
pertahanan yang ada di Palupuh masa itu sebenarnya juga berfungsi sebagai basis
pertahanan sekaligus penghalang. Selain dari Bukittinggi, sebenarnya waktu itu
Belanda juga sudah bergerak dari arah utara. Maka dari pada itu, Palupuh
merupakan basis penghalang untuk bersatunya tentara Belanda yang datang dari
Padang yang kemudian menduduki Bukittinggi dengan tentara Belanda yang datang
datang dari arah Medan yang kemudian memasuki wilayah Lubuk Sikapiang (Pasaman
Timur).
Perjuangan Mobrig bersama masyarakat Palupuh yang
tergabung pada sektor II dan kita kenal dengan Front Palupuh, sebenarnya
memiliki arti yang penting masa itu. Selain dari mencegah bersatunya pasukan
Belanda yang datang dari arah Pasaman dengan pasukan Belanda yang datang dari
arah Buittinggi, mereka secara tidak langsung juga mencegah Belanda untuk
menguasai PDRI. PDRI yang masa itu diketuai oleh Mr Syafroedin Prawiranegara.
Mr Muhammad Hasan sebagai Wakil Ketua, dan beberapa menteri lainnya, seperti
Mr. Rasyid, Ir. Indracahya, Sitompul, Lukman Hakim, dll (Purnama Suwardi:
2000).
Sebenarnya dengan melalui Palupuh dan terus ke
Pagadih Belanda dapat dengan mudah mencapai Koto Tinggi yang masa itu pernah
menjadi pusat pemerintahan PDRI. Akan tetapi dengan kuat dan gigihnya
perjuangan dari para pejuang di Sektor II ini, maka kedudukan PDRI dapat
terjaga dari Belanda yang ingin masuk melalui jalur Palupuh.
Berbagai macam pengorbanan terjadi disini, baik itu
dari segi materi hingga pengorbanan nyawa. Terbukti dengan gugurnya 19 orang pejuang dan warga sipil waktu itu. Untuk
mengenang perjuangan tersebut, maka dibangunlah sebuah tugu yang merupakan
hasil kesepakatan para pemuka masyarakat. Tugu ini diresmikan pada tanggal 17
Agustus 1949. Dalam peringatan hari jadi Mobrig (sekarang Brimob) selalu
diadakan upacara di tugu ini, guna mengenang perjuangan dan para pahlawan yang
gugur masa itu.
Anwar,
Rosihan, 1985. Musim Berganti, Sekilas
Sejarah Indonesia, 1925-1950. Jakarta: Grafiti pers.
Bunga Rampai Peran Pelajar Pejuang
Di Sumatera Tengah Selama Perang Kemerdekaan. 1996. Bandung: Angkasa.
Suwardi,
Purnama, 2000. Sejarah Indonesia Modern
Dalam Dialog. Jakarta: Cakrawala.
Wawancara
dengan Bapak Damrizal, SH Datuak Gamuak. Pada hari Minggu, 23 Juni 2013, pukul
10.00 Wib.