Saturday, August 19, 2017

,

RUMAH GADANG BALAI NAN DUO SEBAGAI SIMBOL KEJAYAAN SUTAN CHEDOH

Berbicara tentang arsitektur tradisional Minangkabau, rumah gadang merupakan istilah yang tidak asing lagi. Rumah gadang atau juga biasa dikenal dengan sebutan rumah adat ini merupakan salah satu simbol dari masyarakat Minangkabau. Dalam arti lebih luas, rumah gadang tidak hanya berfungsi sebagai sebuah hunian, akan tetapi juga merupakan wadah dari suatu kaum dalam melaksanakan kegiatan yang bersifat adat.
Minangkabau dikenal sebagai etnis yang di dalamnya juga terdapat suku-suku (clan). Hal ini berdampak pada status kepemilikan rumah gadang yang jatuh ke tangan keluarga saparuik (satu garis keturunan) di bawah pimpinan seorang datuk. Sistem matrilinial yang dianut masyarakat Minangkabau menjadikan perempuan sebagai kunci penting dari keberadaan rumah gadang. Akan tetapi hal ini juga tidak menyingkirkan kaum laki-laki, dalam pemanfaatannya, rumah gadang juga dijadikan sebagai tempat menjalankan prosesi adat seperti penganugerahan sako (gelar).
Terdapat beberapa jenis rumah gadang yang ada di Minangkabau, AA Navis membaginya berdasarkan wilayah, untuk wilayah Luhak Tanah Data rumah gadangnya bernama Sitinjau Lauik, Luhak Agam bernama Rumah Gadang Surambi Papek dan di Luhak Limo Puluah bernama Rumah Gadang Rajo Babandiang. Selain itu juga ada tipe rumah gadang lain seperti Garudo Manyusuan Anak dan Gajah Maharam. Akan tetapi, dari segi wilayah Navis tidak menyebutkan tipe rumah gadang yang ada di wilayah pesisiran Minangkabau, yaitu tipe rumah gadang Kajang Padati.
 Dari sekian banyak rumah gadang yang tersebar di wilayah Minangkabau, salah satu rumah gadang yang masih dapat dinikmati kemegahannya adalah Rumah Gadang Balai Nan Duo dengan nomor inventaris 07/BCB-TB/A/03/2007. Rumah gadang ini berlokasi di kel. Balai Nan Duo Koto Nan IV, kec. Payakumbuh Barat kota Payakumbuh. Tidak begitu sulit untuk mencapai lokasi ini, selain berada di kawasan perkotaan, rumah gadang ini hanya berjarak lebih kurang 20 meter dari jalan utama kota Payakumbuh.


     Rumah Gadang Balai Nan Duo

Tidak ditemukan tanggal pasti dari pendirian bangunan ini, akan tetapi Muslim Syam menulis bahwa pendirian rumah gadang ini beriringan dengan pendirian Masjid Godang Balai Nan Duo. Rumah gadang didirikan pada hari kamis dan masjid didirikan pada hari jumat minggu depannya. Baqir Zein mengungkapkan bahwa Masjid Godang didirikan pada tahun 1840. Merujuk pada hal ini dapat dikatakan bahwa rumah gadang ini didirikan pada tahun 1840.
Keberadaan Rumah Gadang Balai Nan Duo tidak terlepas dari peran dari Sutan Chedoh yang saat itu menjabat sebagai regent Payakumbuh. Pengangkatannya sebagai regent dituliskan Rusli Amran berkenaan dengan kesediannya membantu Belanda dalam melawan kaum Paderi. Selain sebagai regent, Sutan Chedoh juga merupakan seorang Penghulu Andiko (biasa) di Nagari Koto Nan Ompek. Ia memiliki nama kecil Chedoh dan bergelar Datuk Mangkuto Simarajo dari suku Koto. Sedangkan nama sultan didapatnya sebagai sebuah penghargaan dari Belanda terhadap jasa-jasanya (Muslim Syam, 43: 1984).
Sekali pun telah melalui beberapa kali proses pemugaran, hingga sekarang bentuk bangunan masih mempertahankan bentuk asli. Bahan yang digunakan ada arsitekturnya adalah kayu yang digabungkan menggunakan pasak, kecuali tangga yang terbuat dari batu dilapis semen. Rumah gadang ini bertipe Gajah Maharam dan menjadi rumah gadang terbesar di wilayah Payakumbuh. Dalam kebiasaan, pendirian rumah gadang haruslah melalui mufakat dan bentuknya disesuaikan dengan kedudukan penghulu tersebut dalam adat Minangkabau. Hal ini disebabkan rumah gadang merupakan simbol kebesaran dari sebuah kaum.
Dalam pembangunannya, dikenal pula istilah Tukang Tiga Belas, yaitu ahli pertukangan yang diambil dari nagari-nagari di kabupaten Lima Puluh Kota dan Payakumbuh. Pada rumah gadang ini terdapat tiang sebanyak 50 buah yang merupakan perlambangan dari Luhak Limo Puluah. Sedangkan ruangnya berjumlah 9 dan ditambah dengan satu ruangan dapur.
Amir B menyebutkan bahwa bangunan rumah gadang ini mempunyai mahligai dan anjung peranginan, seperti yang pernah ditempati raja Pagaruyung, dipergunakan untuk tempat menyulam dan berangin-angin, terutama bagi putri-putri raja, seperti pepatah yang berbunyi:
Anjuang batingkek baalun-alun
Tampek manyuri manarawang
Paranginan puti di sinan
Limpapeh rumah nan gadang
Baajuang pangka jo ujuang

Selanjutnya, Amir menulis bahwa rumah gadang ini memiliki lima gonjong dan ditambah dengan dua gonjong anjung mahligai, sehingga total gonjongnya adalah tujuh buah. Sementara lazimnya jumlah gonjong rumah gadang tipe Gajah Maharam adalah delapan buah.

Anjuang Paranginan

Selain itu juga terdapat ruang pedapuran yang ada di sebelah kanan dengan atap sedikit lebih rendah dan bagian badan dinding berbeda dengan bangunan utama. Sedangkan lazimnya ruang dapur harusnya terletak di belakang bangunan utama. Selain itu, di halaman rumah gadang ini juga terdapat sebuah rangkiang atau lumbung seperti rumah gadang lainnya.

Rangkiang di Halaman Rumah Gadang

Tidaklah berlebihan pula rasanya jika Muslim Syam memiliki kesimpulan bahwasanya Rumah Gadang Balai Nan Duo ini bukan hanya sebatas rumah gadang biasa. Akan tetapi juga merupakan rumah gadang yang menjadi simbol kekuasaan dari Sutan Chedoh. Fungsi rumah gadang ini pada masanya lebih kepada sebagai tempat mengendalikan roda pemerintahan oleh Sutan Chedoh.
Selain itu, bentuk rumah gadang yang seperti ini bukanlah bentuk lazim dari rumah gadang seorang penghulu andiko seperti Sutan Chedoh. Sebab untuk pembangunannya butuh biaya yang begitu besar. Mengingat posisi Sutan Chedoh yang juga seorang regent dengan gaji yang cukup besar maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pembangunan rumah gadang ini dibiayai olehnya sendiri. Sebagai tinggalan yang bersifat living monumen, setidaknya bangunan rumah gadang ini masih menyajikan kemegahannya sebagai bukti kejayaan sang pemilik di masa lalu.


Tangga, pintu masuk dan Anjung Paranginan

Makam Sutan Chedoh


Daftar Kepustakaan

Amir B. Minangkabau, Manusia dan Kebudayaan. Padang: FKPS IKIP, 1980
Amran, Rusli. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press, 1984.
Syam, Muslim. Masjid Gadang Koto Nan Empat. Skripsi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Imam Bonjol, 1984.
Zein, Abdul Baqir. Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani, 1999.





0 comments:

Post a Comment

Komennya harap yang Sopan ^_^