Sunday, November 15, 2015

Front Palupuh: Perjuangan Dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda II


Palupuh merupakan sebuah kecamatan yang secara adrimistratif berada dalam lingkungan pemerintahan Kabupaten Agam. Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Pasaman Timur, bagian selatan berbatasan dengan Kota Bukittinggi, bagian timur berbatasan dengan Bukitbarisan dan bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Palembayan.
Keinginan Belanda untuk menduduki Indonesia kembali tercapai pada tanggal 19 Desember 1948. Beberapa pasukan penerbang Belanda mulai mendarat di Lapangan Maguwo dan terus menduduki wilayah Yogyakarta, yang masa itu merupakan ibu kota dan pusat pemerintahan Indonesia (Rosihan Anwar: 1985). Beberapa saat setelah pendaratan, Soekarno selaku Presiden Indonesia ditangkap oleh Belanda. Akan tetapi tepat sebelum ditangkap, sempat dikirimkan surat kepada Mr. Syafroedin Prawiranegara yang menjabat sebagai mentri keuangan dan waktu itu sedang berada di Bukitinggi. Surat itu berisikan perintah agar dibentuknya suatu pemerintahan darurat, sebab wilayah Yogyakarta sudah diduduki oleh Belanda.

  Perjuangan Mobrig dan Masyarakat Palupuh.

1.         Masuknya  Mobrig ke Palupuh.
Setelah Yogyakarta diduduki pada tanggal 19 Desember 1948, Bukittinggi juga mulai dimasuki oleh Belanda. Setelah pada tanggal 18 Desember diintai, pada esoknya pesawat udara jenis Mustang mulai mengitari kota sambil menyebarkan selebaran yang berisikan bahwasanya  Belanda tidak lagi tunduk pada perjanjian Renville. Pada tanggal 20 Desember turunlah perintah dari atasan untuk mengosongkan markas Mobrig yang ada di kawasan Birugo untuk dipindahkan  ke daerah Jirek. Sedangkan bagian perlengkapan serta perbengkelan dipindahkan ke daerah Sipisang, Palupuh.
Pada tanggal 21 Desember, turun pula perintah untuk mengosongkan markas di jirek untuk kemudian dipindahkan ke Sipisang. Ketika masa pemindahan tersebut yakni tanggal 22, didapat berita bahwasanya Bukittinggi sudah jatuh ke tangan Belanda kemarennya, maka markas yang awalnya ada di Sipisang dipindahkan ke daerah Bateh Sariak. Yang mana pada masa itu langsung menjadi daerah pertahanan Mobrig Sumatera Barat dan menjadi Markas Sektor II daerah pertempuran Agam dengan komandan Inspektur Polisi I Amir Machmud. Sektor II ini kemudian dikenal dengan sebutan Front Palupuh (Bungo Rampai Peran Pelajar Pejuang Di Sumatera Tengah Selama Perang Kemerdekaan: 1996)

2.         Perjuangan Mobrig Bersama Masyarakat Palupuh.
Setelah dipindahkannya markas Mobrig ke daerah Bateh Sariak Palupuh, maka dimulailah pembentukan strategi dalam menghadapi  serangan Belanda. Waktu itu Mobrig di komandoi oleh 3 orang pimpinan Mobrig, yaitu Ajun Komisaris Besar Polisi Sulaiman Efendi yang masa itu menjabat sebagai Kepala Polisi wilayah Sumatra Tengah, Inspektur Polisi II Kaliansa Situmorang yang masa itu menjabat sebagai Komandan Polisi bagian Sumatra Barat, Inspektur Polisi 1 Amir Machmud yang masa itu menjabat sebagai Komandan perjuangan Front Palupuh.
Pada masa itu semua laki-laki yang sudah dianggap sanggup akan langsung turun bersama Mobrig untuk berperang. Untuk itu dipilihlah beberapa orang untuk mengomandoi pasukan yang berasal dari kalangan masyarakat. Beberapa orang itu diantaranya adalah Anwar Datuak Taman Batuah, Zainal Pakiah Muncak, dan Syafei. Meskipun mereka yang mengomandoi masyarakat untuk berperang melawan Belanda, akan tetapi posisi mereka tetap dalam suatu garis koordinasi dari Komandan Mobrig.
Setelah Bukittinggi diduduki oleh Belanda, mereka tetap melakukan pengejaran kearah utara, tepatnya ke arah tempat adanya markas Mobrig. Pada awalnya Belanda tidak pernah bisa memasuki daerah Palupuh, sebab mereka selalu gagal melewati garis pertahanan paling depan dari para pejuang Front Palupuh. Tempat beradanya pasukan Front Palupuh masa itu ada di atas bukit, yang sangat menguntungkan bagi mereka dalam mematahkan serangan dari tentara Belanda.
Setelah mencoba berulang-ulang, akhirnya pada suatu waktu pasukan Belanda berhasil melewati pertahanan tersebut. Akan tetapi para pejuang tidak mati akal menghadapinya. Setelah Belanda mulai memasuki wilayah palupuh, maka diputuslah jalan yang mereka lalui sebelumnya, dengan artian mereka terperangkap bersama para pejuang Front Palupuh.
Pasukan Belanda kemudian mendirikan pertahanan di daerah Pasar Palupuh sekarang, jumlah mereka kala itu lebih kurang 1 pleton pasukan dengan persenjataan lengkap. Selama mereka terperangkap, keseluruhan logistik mereka dipasok melalui udara. Selama mereka terperangkap tidak banyak yang dapat mereka lakukan, sebab masyarakat dan Mobrig yang tergabung kedalam pejuang Front Palupuh selalu melakukan penjagaan yang ketat. Dalam gerilya yang dilakukan, tidak jarang terjadi baku tembak antara pejuang Front Palupuh dengan Belanda.
Jika logistik untuk tentara Belanda dipasok melalui udara, untuk para pejuang front palupuh juga mendapat pasokan dari markas Mobrig. Akan tetapi sering tidak cukup, makanya disinilah semua masyarakat saling bahu-membahu dalam proses perperangan. Untuk makanan para pejuang yang tidak mendapatkan jatah dari markas Mobrig (pejuang yang berasal dari kalangan mayarakat sipil), makan mereka disediakan oleh masyarakat. Di dapur-dapur umum mereka saling bekerja sama dalam menyiapkan makanan.
Berhubung pertahanan yang ada di Palupuh ini ada karena sebelumnya terdesak karena penyerangan Belanda, maka untuk persediaan logistik sangatlah minim. Sebenarnya persediaan senjata masa itu mencukupi untuk semua pasukan, akan tetapi kendalanya ada pada amunisi. Untuk menyiasati hal tersebut, maka digunakanlah senjata tradisional, seperti badia balansa (senjata rakitan), bambu runcing, parang, dan lain-lain.
Selama perperangan, pernah terjadi kelengahan dari tentara Front Palupuh yang berjaga. Akibatnya tentara Belanda berhasil masuk ke perkampungan dann membunuh seorang anak dari masyarakat sipil. Dari pengepungan dan kontak senjata dengan tentara Belanda didapati korban meninggal dunia dari pihak Indonesia sebanyak 19 orang yang terdiri dari pejuang dan masyarakat sipil.
Sepanjang perperangan, jumlah pejuang dari kubu Front Palupuh adalah sebanyak 360 orang, yang kesemuanya terdiri dari pasukan Mobrig dan ditambah dengan masyarakat setempat. Selain itu terdapat 6 orang ABRI yang membantu perperangan, waktu itu mereka terpisah dari kesatuan mereka yaitu Kesatuan Harimau Kuranji yang berpusat di Padang. Hingga akhir perperangan mereka dikabarkan selamat.
Posisi pertahanan yang ada di Palupuh masa itu sebenarnya juga berfungsi sebagai basis pertahanan sekaligus penghalang. Selain dari Bukittinggi, sebenarnya waktu itu Belanda juga sudah bergerak dari arah utara. Maka dari pada itu, Palupuh merupakan basis penghalang untuk bersatunya tentara Belanda yang datang dari Padang yang kemudian menduduki Bukittinggi dengan tentara Belanda yang datang datang dari arah Medan yang kemudian memasuki wilayah Lubuk Sikapiang (Pasaman Timur).

 
Perjuangan Mobrig bersama masyarakat Palupuh yang tergabung pada sektor II dan kita kenal dengan Front Palupuh, sebenarnya memiliki arti yang penting masa itu. Selain dari mencegah bersatunya pasukan Belanda yang datang dari arah Pasaman dengan pasukan Belanda yang datang dari arah Buittinggi, mereka secara tidak langsung juga mencegah Belanda untuk menguasai PDRI. PDRI yang masa itu diketuai oleh Mr Syafroedin Prawiranegara. Mr Muhammad Hasan sebagai Wakil Ketua, dan beberapa menteri lainnya, seperti Mr. Rasyid, Ir. Indracahya, Sitompul, Lukman Hakim, dll (Purnama Suwardi: 2000).
Sebenarnya dengan melalui Palupuh dan terus ke Pagadih Belanda dapat dengan mudah mencapai Koto Tinggi yang masa itu pernah menjadi pusat pemerintahan PDRI. Akan tetapi dengan kuat dan gigihnya perjuangan dari para pejuang di Sektor II ini, maka kedudukan PDRI dapat terjaga dari Belanda yang ingin masuk melalui jalur Palupuh.
Berbagai macam pengorbanan terjadi disini, baik itu dari segi materi hingga pengorbanan nyawa. Terbukti dengan gugurnya 19 orang  pejuang dan warga sipil waktu itu. Untuk mengenang perjuangan tersebut, maka dibangunlah sebuah tugu yang merupakan hasil kesepakatan para pemuka masyarakat. Tugu ini diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1949. Dalam peringatan hari jadi Mobrig (sekarang Brimob) selalu diadakan upacara di tugu ini, guna mengenang perjuangan dan para pahlawan yang gugur masa itu. 

           
Daftar Sumber
Anwar, Rosihan, 1985. Musim Berganti, Sekilas Sejarah Indonesia, 1925-1950. Jakarta: Grafiti pers.
Bunga Rampai Peran Pelajar Pejuang Di Sumatera Tengah Selama Perang Kemerdekaan.  1996. Bandung: Angkasa.
Suwardi, Purnama, 2000. Sejarah Indonesia Modern Dalam Dialog. Jakarta: Cakrawala.
Wawancara dengan Bapak Damrizal, SH Datuak Gamuak. Pada hari Minggu, 23 Juni 2013, pukul 10.00 Wib.
Continue reading Front Palupuh: Perjuangan Dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda II