Sunday, June 12, 2016

Tradisi Manyiriah di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang

Pola kehidupan masyarakat Minangkabau yang berkelompok semenjak awalnya membawa mereka kepada suatu sistem yang melahirkan pola-pola tersendiri dalam masyarakatnya. Hingga saat ini mereka diatur oleh oleh tatanan adat yang telah mereka anut semenjak dahulu kala. Terdapat beberapa pengklasifikasian adat menurut masyarakat Minangkabau, yaitu: Adat nan sabana adat, Adat nan diadatkan, Adat nan teradat dan Adat istiadat (Sjarifoeddin Tj. A, 476: 2011).
Dari keempat pengklasifikasian di atas, Adat Istiadat merupakan aturan adat yang dibuat dengan kesepakatan Niniak Mamak dalam suatu nagari (Sjarifoeddin Tj. A, 476: 2011). Jadi setiap aturan yang ada dalam suatu nagari belum tentu ada pada nagari lain di Minangkabau. Hal ini tergantung pada peraturan dan kebutuhan dari nagari itu sendiri. Adat Istiadat juga dikenal dengan istilah adat salingka nagari.
Salah satu contoh dari adat istiadat atau adat salingka nagari adalah tradasi manyiriah yang umumnya ada di daerah Luhak Agam. Dalam hal ini penulis melakukan fokus penelitian di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten  Agam. Dalam penelitian ini penulis akan melihat perubahan yang terjadi pada tiap-tiap unsur yang ada dalam tradisi manyiriah sebelum dan setelah tahun 1970-an.

Tradisi Manyiriah
1.      Pengertian.
Jika dikembalikan ke dalam bahasa Indonesia, manyiriah disebut juga dengan menyirih dengan kata dasarnya sirih. Apabila ditambah dengan me- pada bahasa Indonesia ataupun imbuhan ma-  dalam bahasa minang, maka kata benda ini akan berubah menjadi kata kerja. Jadi secara keseluruhan istilah menyirih dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan mengunyah sirih. Tradisi mengunyah sirih sebenarnya merupakan tradisi yang kerap dilakukan oleh segenap kaum wanita dahulunya.
Di Minangkabau, khususnya di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, manyiriah tidak hanya sebuah kebiasaan wanita. Akan tetapi manyiriah juga merupakan sebuah cara yang digunakan untuk mengundang masyarakat dalam sebuah acara. Dengan kata lain manyiriah merupakan pengganti undangan seperti yang kita kenal pada saat sekarang ini.

2.      Tentang Manyiriah.
Tradisi manyiriah ini digunakan untuk mengundang masyarakat dalam kaegiatan pesta, seperti pesta pernikahan, akikah (mangarek rambuik/turun mandi) serta pada pesta peresmian gelar seorang datuak. Pekerjaan ini dilakukan oleh anak muda yang ada di selingkungan suku yang mengadakan pesta. Dalam penerapannya, salah seorang yang pergi mesti kemenakan dalam suku orang yang memiliki hajat.
Orang-orang yang pergi menyiriah biasa disebut dengan tukang imbau. Mereka akan membawa siriah langkok yang terdiri dari daun sirih, gambir, pinang dan sadah. Benda-benda ini merupakan undangan bagi kaum wanita. Sedangkangkan bagi kaum pria, benda yang dibawa sebagai lambang dari sebuah undangan adalah rokok.
Pada saat mengundang itu tukang imbau tidak hanya sekedar memberikan siriah dan rokok tadi. Akan tetapi ada kata-kata yang mesti diucapkannya, yaitu “kami dilapeh inyiak datuak ......... maimbau apak, ibuk, ipa, bisan, karik, kabia, sarato saisi rumah nanko untuak pai baralek ka rumah etek ............ pado hari ...........” Artinya “kami dilepas oleh inyiak datuak ........... mengundang bapak, ibuk, ipar, besan, karib, kerabat serta seluruh penghuni rumah ini untuk dapat hadir ke rumah ibuk ......... pada hari .........., kata-kata ini diucapkan ketika mengundang kaum perempuan dan laki-laki yang ada di luar suku orang yang punya hajat atau alek.
Terdapat perbedaan dalam memanggil urang sumando dan ipar dari sipangka (orang yang punya hajat). Mereka tidak diundang oleh tukang imbau dengan membawa siriah dan rokok. Akan tetapi untuk orang sumando akan diundang oleh mamak dari sipangka, sedangkan ipar akan diundang oleh etek dari sipangka. Dalam undangan akan dikatakan secara langsung tanpa meninggalkan siriah dan rokok.

3.      Tradisi Manyiriah sebelum tahun 1980-an.
Tradisi manyiriah pada era sebelum tahun 1980-an bisa dikatakan masih kental dengan keasliannya. Hal ini dapat kita lihat dari segi pakaian, benda-benda yang digunakan dan tata cara pelaksanaannya.
a.    Pakaian.
Pakaian yang digunakan oleh laki-laki dalam manyiriah adalah celana dasar, baju kemeja, peci hitam dan sarung yang dillitkan di pundak. Sedangkan untuk wanita menggunakan baju kuruang dengan jilbab. Hal ini menyiratkan islam sudah mengakar dalam tradisi masyarakat, sebagai sebuah keterikatan antara adat dan syarak, seperti mamangan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Hasanuddin, 42: 2013).

b.        Benda-benda yang digunakan.
Dalam manyiriah, untuk wanita tukang imbau membawa siriah langkok yang terdiri dari daun sirih, pinang, sadah dan gambir. Sedangkan untuk pria tukang imbau membawa rokok daun enau yang terdiri dari daun enau dan santo (tembakau). Bagi wanita yang ingin manyiriah (mengunyah sirih) , maka si tukang imbau akan langsung meramukannya untuk nantinya dikunyah oleh orang yang meminta.

c.         Tata cara pelaksanaan.
Pada era sebelum 80-an, orang yang menjadi tukang imbau adalah sepasang laki-laki dan sepasang perempuan. Dalam pelaksanaanya nati, laki-laki hanya bertugas untuk mengundang kaum laki-laki dan kaum perempuan hanya bertugas untuk mengundang kaum perempuan saja. Sebelum berangkat, mereka dilepas oleh orang-orang tua yang ada di rumah sialek tersebut.

4.      Tradisi Manyiriah setelah tahun 1980-an hingga sekarang.
Tradisi manyiriah pada era setelah tahun 1980-an sudah mulai bergeser dari keasliannya. Hal ini dapat kita lihat dari segi pakaian, benda-benda yang digunakan dan tata cara pelaksanaannya.
a.         Pakaian.
Pakaian yang digunakan oleh laki-laki dalam manyiriah pada masa ini adalah menggunakan celana dasar, baju kemeja, peci hitam dan sarung yang dillitkan di pundak. Sedangkan untuk wanita tidak ada lagi yang yang menggunakan baju kuruang mereka telah beralih pada pakaian yang berkembang sesuai dengan zaman, seperti kebaya. Hal ini bisa dimengerti selama tidak melanggar tahap kesopanan.

b.        Benda-benda yang digunakan.
Pada masa ini tetap siriah langkok tetap digunakan, akan tetapi yang ditinggalkan di rumah orang yang diundang tidak lagi sirih yang sudah diramu dengan kawanannya (sadah, pinang dan gambir), yang ditinggalkan hanya selembar sirih sebagai tanda. Untuk kaum pria, pada masa ini tidak lagi menggunakan rokok yang terbuat dari daun enau dan tembakau. Akan tetapi telah beralih kepada rokok kretek yang telah jadi, tanpa harus menggulungnya terlebih dahulu.

c.         Tata cara pelaksanaan.
Pada tahun-tahun setelah masa 80-an hingga sekarang, dari tata cara pelaksanaan manyiriah ada sedikit perubahan. Jika pada masa sebelum tahun 80-an perjalanan antara laki-laki dan perempuan dipisah dalam manyiriah. Maka pada masa ini manyiriah dilakukan secara berpasangan oleh tukang imbau tersebut.

Kesimpulan.
Setidaknya telah terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam dalam perantaraan tahun 1980-an pada tradisi manyiriah yang ada di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Perubahan itu terjadi dalam aspek gaya berpakaian, benda-benda yang digunakan dalam manyiriah dan tata cara manyiriah dari sendiri. Hal ini dikarenakan perkembangan zaman ke arah yang lebih maju serta fungsi dari beberapa benda yang digunakan untuk manyiriah tersebut.




Daftar Sumber

Buku
Hasanuddin, 2013. Adat dan Syarak Sumber Inspirasi dan Rujukan Dialektika Minangkabau. Padang: PSIKM Unand.
Navis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press.
Sjarifoedin Tj. A, Amir. 2011. Minangkabau dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Gria Media Prima. 
Wawancara:
Y. Datuak Tungga -71 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)
Sanijar -74 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)
Rosmanidar – 68 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)

0 comments:

Post a Comment

Komennya harap yang Sopan ^_^