Friday, September 14, 2018

,

Penenun Songket di Kaki Gunung Singgalang


“Saya belajar menenun secara otodidak, berawal dari melihat ibu yang juga seorang pengrajin songket,” tuturnya.

Puti Centia Wulan,seorang penenun asal Pandai Sikek sedang menyelesaikan sehelai tenunan menggunakan alat tenun berupa rangkaian kayu yang disebut dengan panta

Di tepi hamparan ladang sayuran, pada sebuah rumah, seorang wanita tengah sibuk menyusun benang emas diantara benang-benang lainnya, di atas sebuah rangkaian kayu yang dikenal masyarakat dengan panta.

Hawa dingin menyelimuti Pandai Sikek siang itu, sebuah nagari setingkat desa yang berada di kaki Gunung Singgalang Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Dihadapannya, suri yang merupakan sebutan pengrajin tenun untuk benang yang membentang di sepanjang panta diregangkan dengan sebilah kayu bernama sangka.

Sesekali dentangan kayu terdengar ketika wanita tersebut merapatkan benang emas yang sudah disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah motif.

Puti Centia Wulan, seorang wanita berumur 25 tahun duduk di ujung panta, tangannya meliuk-liuk diantara ratusan benang, di hadapannya lebih kurang sepanjang satu meter songket hampir selesai ditenun.

Semenjak beberapa hari yang lalu ia sudah sibuk mengerjakan sebuah selendang songket dengan ukuran lebar 50 sentimeter dan panjang dua meter.

“Saya belajar menenun secara otodidak, berawal dari melihat ibu yang juga seorang pengrajin songket,” tuturnya.

Menenun menurutnya merupakan keahlian yang biasa dimiliki oleh setiap perempuan di kawasan Pandai Sikek yang telah diwarisi secara turun temurun.

Tanpa melalui pelatihan khusus, Puti yang sudah mulai menenun semenjak tahun 2011 tersebut menyebutkan selama ini ia telah menerima upah untuk menenun dengan bahan disediakan oleh pengusaha songket yang ada di daerah tersebut.

Dari sekian banyak motif Songket Pandai Sikek, menurutnya yang paling rumit untuk dikerjakan adalah motif Pucuak Tari Bali, dikarenakan motifnya yang halus sehingga dituntut ketelitian ekstra saat mengerjakan.

 Penenun sedang mengerjakan tenunan berupa selendang songket

Sembari melanjutkan pekerjaannya, Puti menceritakan dalam satu bulan ia mampu menyelesaikan empat hingga lima helai songket dengan upah yang beragam.

Untuk menyelesaikan sebuah selendang songket bermotif tabur dengan ukuran panjang dua meter dan lebar 50 atau 30 sentimeter, ia menerima upah sebanyak Rp300.000 rupiah  dengan lama pengerjaan selama lima hari.

Apabila selendang tersebut dipenuhi oleh benang emas atau yang biasa dikenal dengan istilah balapak, maka upah per helainya adalah Rp400.000 rupiah.

Sementara untuk songket dengan ukuran lebih besar, maka dapat menghabiskan waktu hingga sepuluh hari. Bahkan untuk songket berbahan sutera bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Puti menambahkan, upah tersebut diterima untuk pengerjaan songket dengan bahan katun, apabila menggunakan bahan sutera maka upahnya bisa mencapai Rp600.000 rupiah.

“Penghasilan sebagai pengrajin songket selama ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta untuk biaya sekolah anak,” ujarnya

Salah seorang pengusaha Songket Pandai Sikek  yang telah merintis usaha semenjak tahun 1985, Erma Yulnita mengatakan, untuk songket yang dipasarkannya, ia memiliki pengrajin sendiri yang saat ini berjumlah lebih kurang 250 orang.

Para pengarajin tersebut merupakan perempuan-perempuan di Nagari Pandai Sikek yang sejak dahulu sudah terkenal sebagai penenun songket.

Karena sudah ada sejak lama, maka motif-motif yang ada pada tenun songket merupakan motif klasik yang begitu identik dengan Minangkabau.

Setidaknya terdapat lebih dari 350 motif klasik, akan tetapi yang sering kali diproduksi adalah motif Itiak Pulang Patang, Saik Ajik, Lapiak Ampek, Pucuak Rabuang, Kunang-kunang dan lain sebagainya.

Salah satu hasil jadi Songket Pandai Sikek

Ia menyebutkan hingga saat ini songket masih memiliki daya tarik bagi wisatawan yang datang berkunjung ke Sumbar, terutama ke Pandai Sikek.

Dari seluruh wisatawan yang berbelanja songket kepadanya, 80 persen diantaranya adalah wisatawan lokal yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Selain pengunjung yang datang berbelanja langsung, ia juga melayani pesanan ke beberapa daerah seperti Jakarta, Kalimantan, Lampung, Sulawesi serta beberapa daerah lainnya.

Keunikan motif Songket Pandai Sikek menjadi salah satu alasan bagi para wisatawan untuk menjadikannya sebagai cindera mata dari Sumbar.

Tak hanya wisatawan dalam negeri, Erma menuturkan bahkan wisatawan manca negara juga sangat tertarik dengan songket, selain berbelanja ketika berkunjung, ia juga sudah pernah mengirimkan songket ke luar negeri.

Menurutnya, sekalipun tidak serutin pengiriman di dalam negeri, akan tetapi permintaan dari luar negeri tetap ada dan cukup tinggi, seperti dari Amerika, Australia dan Jepang.

Harga yang ditawarkan pun beragam, mulai dari yang termurah seharga Rp1.500.000 rupiah hingga yang paling mahal seharga Rp15 juta rupiah, tergantung dari bahan yang digunakan.

“Untuk bahan dari sutera maka akan dihargai sebesar Rp15 juta, sementara songket termurah dimulai dari harga Rp1.500.000 rupiah terbuat dengan bahan katun,” katanya.

Sekalipun demikian, kadangkala pihaknya cukup mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, terutama benang emas yang harus didatangkan dari luar negeri, yaitu India dan Jepang.

Apabila kondisi dolar tidak stabil maka Erma akan kesulitan mendapatkan bahan tersebut, sehingga berdampak pada produksi, seperti beberapa waktu lalu sempat terhenti selama satu bulan lantaran ketiadaaan bahan.

Pada pertengahan Ramadhan lalu, ia menyebutkan pasokan benang emas sempat terputus, sementara permintaan songket tinggi, sehingga mau tidak mau produksi tidak dapat dilakukan.


Selain benang emas yang harus didatangkan dari luar negeri, bahan lain yang dibutuhkan adalah katun dan sutera, kedua bahan ini lebih mudah didapatkan karena tersedia di dalam negeri.

Penenun menguntai benang emas sebagai motif diantara benang katun

Selain itu, Puti Centia Wulan mengatakan menenun merupakan keahlian yang harus tetap dipelajari oleh setiap perempuan Minang terutama Pandai Sikek, sebab dengan keahlian tersebut setiap generasi muda dapat ikut melestarikan tradisi.

“Suatu saat nanti pun saya akan mengajarkan anak saya tentang tata cara menenun, sebab keahlian ini sudah dilestarikan secara turun temurun,” tutup Puti seraya menyelesaikan tenunannya.


Artikel ini pernah dimuat pada halaman Antara Sumbar.

Continue reading Penenun Songket di Kaki Gunung Singgalang

Friday, August 10, 2018

Saatnya Napi Tipikor Ikut Membangun Negeri

Pekerja di Lubang Suro, Sawahlunto

"Selain barang mewah, para napi juga kedapatan menyimpan uang mencapai ratusan juta rupiah, kata Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami melakukan sidak di Lapas Sukamiskin, Minggu (22/7) malam. (Detik.com)"



Kehidupan di penjara barangkali akan memberikan gambaran yang horor lagi sadis bagi setiap orang yang mendengarnya. Betapa tidak, pada film Sengsara Membawa Nikmat yang mulai ditayangkan oleh TVRI pada tahun 1991, kehidupan penjara tidaklah begitu indah. Sandy Nayoan yang saat itu memainkan tokoh Midun terpaksa harus mendekam di penjara lantaran perselisihannya dengan Kacak (tokoh antagonis dalam cerita tersebut). Ketika berada di penjara, Midun menerima intimidasi dan bahkan terpaksa harus terlibat perkelahian dengan tawanan lain.

Dalam film The Shawshank Redemption (1994) karakter Andy Dufresne pun tak dapat menjalankan hukuman dengan baik. Bogs yang menjadi pimpinan gang The Sisters, penguasa di Shawshank tak henti-hentinya mengintimidasi Andy dengan tindak kekerasan. Bahkan pada salah satu tindak kekerasan yang diterimanya dari pimpinan gang tersebut, Andy malah berakhir di rumah sakit.
Akan tetapi hal tersebut merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam film, sangat berbeda dengan apa yang pemberitaan yang beredar di media masa belakangan ini. Pada pemberitaan tersebut, beberapa oknum narapidana menjalani kehidupannya dengan bahagia di balik jeruji besi. Kehidupan tersebut tentunya ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang cukup baik, bahkan lebih baik dari pada fasilitas kos-kosan mahasiswa yang sedang mempersiapkan diri untuk membangun bangsa.

Pada sidak yang dilakukan oleh Dirjen PAS Kemenkumham ke Lapas Sukamiskin Jawa Barat beberapa waktu lalu, beberapa temuan berhasil menohok ulu hati jajaran anak kos yang tersebar di seluruh Indonesia. Dua truk barang mewah berhasil disita, mulai dari dispenser, televisi, kulkas, pendingin ruangan, pemanas nasi dan bahkan uang hingga ratusan juta rupiah. Sangat berbanding terbalik dengan fasilitas anak kos yang harus rela tidur berpanas-panasan, numpang masak nasi di ricecooker teman sebelah hingga nonton tv di warung pinggir jalan.

Tak lepas dari situ, bahkan sempat-sempatnya lapas tersebut menyediakan saung. Saung guys, bayangin, sauung, kayak temapt pikni aja. Barangkali kehidupan di penjara harus dinetralisir dengan nyantai di saung tiap pagi dan sore, sambil menikmati seduhan arabica ditemani sepiring biskuit dengan ditemani alunan musik jazz. Ah, bahagianya.

Kalau cuaca panas tinggal ambil batu es untuk kemudian dicampur ke dalam gelas berisi minuman penambah energi. Kalau bosan tinggal hidupin televisi dan menonton sinetron dan berbagai tayangan konyol, tentu saja sambil ngemil kacang polong yang sebelumnya sudah diselundupkan. Kalau cemilannya habis tinggal pesen, kan duitnya juga udah diselundupin.

Sekalipun demikian, sangat disayangkan mereka yang mendekam dan terlena dengan fasilitas tersebut tidak dapat berkontribusi untuk bangsa. Dari lubuk hati yang paling dalam, lebih dalam dari pada cinta remaja-remaja alay kepada idola kpop, narapidana tipikor tersebut hendaknya diberikan kesempatan berbakti untuk negeri. Tak usah muluk-muluk, cukup beri mereka peluang untuk membangun, ya, benar-benar membangun.

Program Nawacita Presiden Jokowi saat ini sebenarnya menjadi peluang bagi mereka untuk ikut membangun bangsa. Pembangunan jembatan dan jalan gencar dilakukan diberbagai daerah pelosok Indonesia. Dalam hal ini, kontribusi mereka tentu saja bukan sebagai pihak yang memegang tender atau pun yang mengatur lalu lintas keuangan proyek, melainkan menjadi pekerja, takutnya kebiasaan menyimpan sebagian duit proyek akan kembali kambuh.

Sebagaimana yang pernah dipraktikan oleh Belanda di kawasan Hindia selama masa kolonialisasinya, para narapidana dipaksa untuk bekerja. Kerja, kerja, kerja dan kerja. Hasil kerja paksa tersebut tentu saja memberikan keuntungan yang banyak bagi mereka.

Pada masa-masa tersebut, para narapidana kerja paksa dikirim ke berbagai daerah di Hindia untuk membantu mereka dalam mengerjakan proyek-proyek besar. Mereka
 menjalani kerja paksa di luar daerah dengan bekerja pada proyek-proyek, seperti tambang batu bara di Sawahlunto (Ombilin), proyek pembuatan jalan di Sumatera Tengah, Aceh, Tapanuli, Ambon, Sulawesi, Bali, dan berbagai daerah lainnya.

Tidak hanya itu, saat terjadi peperangan antara pihak Belanda melawan pribumi, keberadaan tahanan juga menjadi keuntungan tersendiri bagi mereka. Sebagai contoh, pada perang Sabil yang terjadi antara Belanda melawan Aceh, mereka dimanfaatkan sebagai pemikul perbekalan serta peluru.

Nah, seandainya hal tersebut juga terfikir oleh pemerintah saat ini, bukan dengan niat untuk berlaku kejam, akan tetapi lebih kepada niat untuk menfasilitasi narapidana tipikor tersebut untuk membaktikan diri kepada bangsa. Alangkah bermanfaatnya jika anggaran yang digunakan untuk mengupah para pekerja dalam membangun fasilitas publik di negeri ini dapat diirit. Sebab para terpidana tersebut pasti ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat, memberikan kontribusi kepada negara yang mereka cintai ini.

Bahkan mereka juga sangat potensial untuk dikirim ke luar negeri menjadi sukeralawan. Membantu petugas perdamaian sebagi juru masak pada kamp-kamp prajurit, bahkan mereka juga berkesempatan untuk membantu negara-negara miskin untuk bisa hidup layak dan sehat. Semoga Allah memberikan pahala yang besar bagi mereka nantinya dan yang paling penting adalah semua itu dilakukan secara sukarela alias graaaaatis tis tis tis tis, tanpa bayaran.

Seandainya hal tersebut dapat terealisasi, masih ada beberapa hal yang menarik untuk terus diikuti, yaitu Drama Papa. Pada kegiatan yang harusnya bertema Napi Tipikor Berbakti Untuk Bangsa tersebut, Papa tetap menjadi pemeran utama yang tidak boleh luput dari perhatian. Papa yang telah memulai debutnya pada Drama Minta Saham, Drama Tiang Listrik, Drama Benjolan Bakpao hingga terakhir Drama Sel Pinjaman, dapat dipastikan akan memainkan drama baru.
*
Continue reading Saatnya Napi Tipikor Ikut Membangun Negeri

Thursday, June 7, 2018

,

Menengok Pengolahan Sagu di Bumi Sikerei

Langit mulai diselimuti mendung ketika pompong yang merupakan sebutan masyarakat Mentawai untuk sebuah sampan kecil berkapasitas tujuh orang membelah Sungai Bat Oinan Puro.

Menyusuri Sungai Bat Oinan Puro

Di kemudi, Nikodemus Sabulukkungan seorang pria paro baya tengah menuju lokasi tempat pengolahan sagu di kawasan Dusun Puro, Desa Muara Siberut Kecamatan Siberut Selatan, Mentawai Sumatera Barat.

Setelah merapat, diantara pepohonan sagu yang menjulang ia mulai menatak sebuah pohon sagu yang sudah tumbang. Dengan sebilah kapak, ia kemudian memisahkan antara kulit dan isi pohon yang sebelumnya sudah dibagi menjadi potongan sepanjang lebih kurang 70 sentimeter.

Gerimis mulai turun ketika ia sibuk mempersiapkan sagu yang yang merupakan makanan pokok masyarakat Mentawai untuk kemudian diparut menggunakan parutan tradisional yang disebut dengan gagaji.

Setelah selesai diparut menggunakan alat tradisonal gagaji, sagu tersebut kemudian dibawa menuju dereat, sebuah alat pengolahan lainnya untuk kemudian dipisahkan antara sari dan ampasnya.

Dereat sendiri terdisi dari beberapa bagian, pada bagian paling atas terdapat sebuah wadah bersegi empat tempat memeras sagu menggunakan air yang disebut dengan  karuk.

Menggunakan timba dengan bahan pelepah sagu, Nikodemus menimba air ke dalam karuk agar sari dari sagu ikut mengalir bersama air menuju ke saringan yang ada di bawahnya.

Tepat di bawah saringan terdapat dedeibu, sebuah wadah berupa sampan kecil menampung cucuran air disertai dengan sari dari parutan sagu yang sebelumnya sudah diperas.

Sembari tetap memeras sagu, ia menuturkan butuh waktu hingga dua jam agar sari pati sagu dapat benar-benar berpisah dengan air perasan, setelahnya barulah didapatkan sagu yang siap untuk dikonsumsi.

Nikodemus Sabulukkungan memisahkan antara kulit dan isi pohon sagu

Proses pemarutan isi pohon sagu mengunakan alat tradisional yang dikenal dengan sebutan gagaji

Mengumpulkan hasil parutan untuk selanjutnya dibawa ke dereat

Proses pemisahan pati dengan ampas sagu

Nikodemus memisahkan antara isi dan ampassagu pada alat pengolahan yang disebut dereat


Sagu tersebut kemudian akan disimpan pada sebuah wadah yang terbuat dari daun sagu berukuran panjang sekitar satu meter, dengan diameter sepanjang 25 sentimeter yang disebut dengan tappri.

Vincent Sabulukkungan yang kala itu ikut membantu Nikodemus mengolah sagu menyebutkan, satu potongan sagu nantinya dapat mengisi penuh tappri untuk keperluan makan selama satu satu bulan bagi sebuah keluarga kecil yang terdiri dari orang tua dan satu anak.

Apabila untuk keperluan sehari-hari maka pekerjaan mengolah sagu akan dilakukan oleh anggota keluarga yang bersangkutan, sementara apabila sagu tersebut akan dipergunakan untuk keperluan upacara adat, maka yang akan bekerja adalah kaum laki-laki dari suku yang bersangkutan.

Menurutnya, selama ini belum pernah ada orang Mentawai yang kelaparan dan kekurangan makanan, sebab segala kebutuhan sudah disediakan oleh alam, seperti sagu yang tumbuh subur dan melimpah ruah di sekitar mereka.

Bukannya tidak pernah memakan nasi, Vincent menambahkan bahwa rata-rata orang Mentawai sudah terbiasa mengkonsumsi sagu, bahkan bagi mereka sagu lebih tahan lama di perut dari pada nasi.

Sementara Nikodemus sibuk mengolah sagu, Agustinus Durai yang juga ikut dalam pengolahan menambahkan, tidak semua sagu dapat diolah, ada batasan-batasan umur tertentu agar sagu dapat ditebang untuk kemudian dijadikan tepung sagu.

Setidaknya sagu harus berumur 17 tahun agar pohonnya benar-benar berisi untuk dapat diolah, sebab pada umumnya batang sagu yang usianya di bawah batasan tersebut belum terlalu berisi dan masih lunak untuk dapat diparut dan diolah.

Ia menuturkan, setelah pohon sagu pada sebuah kawasan mulai berkurang, maka secara otomatis masyarakat akan langsung menanam penggantinya sehinga persedian sagu akan selalu ada untuk menunjang kehidupan masyarakat.

Nikodemus hampir selesai memeras parutan sagu ketika Agustinus menyebutkan bahwa sagu yang sudah diolah dapat bertahan dengan pengawetan alami.

Sagu yang sudah disimpan di dalam tappri dan direndam dalam air dapat bertahan hingga satu tahun, sehingga masyarakat tidak perlu pusing memikirkan persediaan makanan.

Agustinus menekankan bahwa kehidupan masyarakat Mentawai sangat bergantung pada alam, apabila alam mulai rusak dan tumbuhan sagu mulai menipis maka masyarakat akan mulai kesulitan untuk mendapatkan bahan makanan.

Untuk dapat dikonsumsi, sagu yang sudah diolah menjadi tepung harus dimasak terlebih dahulu dan dimasaknya juga memanfaatkan hasil alam.



Memasak Sagu

Seusai mengolah sagu, Nikodemus, Agustinus dan Vincent kembali mengarahkan pompong miliknya kembali menuju Uma Sabulukkungan, Rumah adat khas mentawai kepunyaan suku Sabulukkungan.

Di dapur, tepat pada bagian belakang uma, beberpa orang wanita sibuk menyiapkan beberapa bahan yang akan diolah. Selain sagu, di sekitar perapian atau tungku beberapa batang bambu yang sudah dipotong-potong disandarkan untuk nantinya digunakan sebagai wadah dalam memasak sagu.

Sembari menghaluskan tepung sagu yang akan dimasak, Lidiana Sabulukkungan, wanita yang tepat berumur setengah abad itu menceritakan bahwa hingga saat ini masyarakat Mentawai masih memasak sagu menggunakan cara yang tradisional, yaitu memanggang sagu di dalam bambu.

Setelah mulai halus, Lidia kemudian memasukkan sagu ke dalam potongan-potongan bambu untuk kemudian disangai di sekitar api yang sudah dinyalakannya di dalam tungku.

Tidak kurang dari 15 batang bambu berisi sagu berjejer menghadap api, ketika satu sisi bambu mulai berubah warna, maka Lidia akan segera memutarnya sehingga panas api dapat memasak sagu secara merata. Sagu yang dimasak dengan cara ini disebut dengan sagu kaobbuk,

30 menit berlalu ketika seluruh bagian bambu mulai berubah warna kehitaman yang menandakan sagu mulai masak sempurna, sambil mengganti sagu yang sudah masak tersebut dengan sagu lainnya, ia menyebutkan bahwa sagu tidak hanya dapat diolah dengan cara tesebut.

Sagu kapurut, tidak jauh berbeda dengan sagu kaobbuk, sagu ini tetap dimasak dengan cara dipanggang, akan tetapi tidak lagi menggunakan bambu melainkan daun sagu.

lebih lanjut wanita yang sudah mulai berumur tersebut menjelaskan bahwa dalam memasak sagu api yang digunakan tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh terlalu kecil.

Jika api yang digunakan terlalu besar maka sagu tidak akan matang dengan sempurna, hanya bagian luarnya saja, sementara bagian dalamnya masih mentah, selain itu jika api yang digunakan terlalu besar sagu juga bisa berubah rasa menjadi pahit.

Tidak terlalu sulit dan tidak terlalu gampang, begitulah Lidia menjelaskan bagaimana cara memasak sagu. Untuk menambah cita rasa, sagu yang dimasak bisa saja ditambah dengan menggunakan parutan kelapa atau gula.

Lidia kemudian mencicipi sagu kapurut yang sudah matang, setelah dua kunyahan dia bergumam bahwa sagu yang sudah masak ini nanti akan lebih nikmat jika dikonsumsi dengan campuran ikan atau pun sayur-sayuran yang diambil dari ladang.

"Kami belum pernah merasa kekurangan bahan makanan, sebab apa yang kami konsumsi sudah disediakan oleh alam," tambahnya sembari melahap sagu yang telah dimasaknya itu.

Lidiana Sabulukkungan menghaluskan sagu sebelum dimasak

Proses pemanggangangan sagu


Artikel ini pernah dimuat pada halaman Antara Sumbar.
Continue reading Menengok Pengolahan Sagu di Bumi Sikerei