Dalam
menggali sejarah Minangkabau terdapat dua rujukan yang biasa dipakai. Sumber
pertama adalah sumber sejarah berupa peninggalan Arkeologi, seperti prasasti,
menhir, artefak, dan lain-lain. Selain itu yang menjadi rujukan adalah sumber
lisan maupun tulisan, salah satunya adalah tambo.
Tambo
merupakan suatu warisan Kebudayaan Minangkabau berupa lisan yang disampaikan
dengan cara bakaba. Tambo sendiri
berasal dari bahasa sangskerta yaitu tambay atau tambe yang berarti ‘bermula’ (Navis: 1984). Berdasarkan penuturan
Amir Sjarifoedin dalam bukunya yang dirujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), tambo sama dengan sejarah, babad, hikayat kuno, uraian sejarah suatu
daerah yang sering kali bercampur dengan dongeng. Pada zaman dahulunya tambo memang disampaikan
secara lisan melalui proses bakaba
itu sendiri.
Asal-Usul Tambo.
Tambo
yang kita ketahui saat ini dahulunya berasal dari penyampaian secara lisan atau
oral. Dalam istilah Minangkabau, penyampaian secara lisan ini disebut dengan bakaba. Bakaba ialah salah satu sastra lisan Minangkabau yang disampaikan
secara oral atau lisan yang berisikan tentang kisah-kisah atau kejadian masa
lampau, biasanya disampaikan pada acara-acara tertentu, seperti upacara adat.
Tidak
diketahui secara pasti kapan tradisi bakaba
mulai diperkenalkan di tengah masyarakat. Mengingat tradisi bakaba ini berlangsung secara lisan maka
diperkirakan tradisi ini sudah ada sejak
zaman Hindu/Budha dahulu. Karena pada masa Islam, masyarakat sudah mengenal
tulisan.
Selanjutnya,
setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, pengaruh kebudayaan Islam mulai
masuk ke tengah masyarakat. Maka mulailah tambo yang disampaikan secara lisan
itu dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Penulisan tambo pada masa itu dengan
menggunakan Aksara Arab Melayu.
Tambo
yang ditemukan di daerah Minangkabau ini diperkirakan ditulis pada abad 17
sampai 19. Sebagai sumber sejarah, sebenarnya tambo memiliki kekurangan
persyaratan sebagai sumber yang otentik. Hal ini disebabkan karena di dalam
tambo ada beberapa hal yang tidak disebutkan secara pasti, seperti penanggalan
peristiwa, dan kapan peristiwa itu terjadi.
Sebagai
warisan leluhur, tambo tetap tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Bahkan tetap tak bisa dipungkiri bahwa saat ini banyak penulis dan ahli sejarah
yang tidak bisa melepaskan diri dari tambo. Di dalam tambo alur cerita memang
tidak tersusun secara sistematis. Ia lebih pada semacam cerita mitos ataupun
legenda dibandingkan dengan fakta sejarah, dan lebih cenderung pada karya
sastra (Amir Sjarifoeddin:2011).
Jika
kita kaji perihal keberadaan tambo, tiap-tiap daerah di Minangkabau memiliki
tambo yan isinya menceritakan kaba akan asal-usul kampung mereka.
Macam-macam Dan Isi Tambo.
1.
Macam-macam
tambo.
Tambo
memiliki arti penting bagi masyarakat Minangkabau. Oleh sebab itu masayarakat
membagi tambo ke dalam dua bentuk atau jenis, yaitu: Pertama
adalah Tambo Alam Minangkabau, yang
mengisahkan perihal asal-usul nenek moyang serta dibangunnya Kerajaan Minangkabau.
Kedua adalah Tambo Adat, yang menceritakan adat atau sistem dan aturan
pemerintahan Minangkabau pada masa dahulu (Navis:1984)
Namun
demikian, tambo yang banyak kita temui dalam bentuk tertulis, menggabungkan
kedua jenis tambo ini. Biasanya pada awal tambo akan dikisahkan sejarah asal
usul hingga terbentuknya alam Minangkabau dan kemudian dilanjutkan dengan kisah
bagaimana adat dan bagaimana aturannya dibuat. Sekaligus menceritakan tentang
adat itu sendiri.
2.
Isi
Tambo.
Merujuk
pada pengertian tambo menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas, ditambah
dengan penuturan Drs. Irhash A Shamad, M.Hum (Tambo Sebagai Sumber Penelitian
Sejarah, 2009) yang dikutip oleh Amir Sjarifoedin Tj.A, bahwa tambo adalah
salah satu bentuk ekspresi atas kesadaran masyarakat Minangkabau terhadap masa
lalu mereka. Tambo berisikan tentang seluk beluk kebudayaan dan adat serta asal usul masyarakat
Minangkabau. Dalam tambo terkandung
“Narasi-narasi kesejarahan” yang ditujukan untuk berbagai kepentingan, sebagai
ekspresi atas kondisi sosial pada waktu dimana tambo itu dibuat. Pengisahannya
tidak berbeda dengan tradisi-tradisi lisan lainnya, terutama kandungan cerita
yang sukar dipertanggun- jawabkan kebenarannya, karena sering bercampur dengan
hal-hal yang tidak empiris. Kisah-kisah yang dipaparkan pada umumnya tidak
terlalu menghiraukan kebenaran apa yang disampaikan serta sering tidak
kronologis (anakronis).
Dari
uraian di atas terlihat jelas bahwa isi tambo tidak semua bersifat empiris atau
nyata, dan bahkan beberapa bagian isi tambo lebih cenderung tidak masuk akal
atau bertentangan dengan akal sehat. Ditambah lagi penyampaiannya tidak secara
runtut atau berkesinambungan. Meskipun demikian, tambo tetap memiliki tempat
yang penting sebagai warisan leluhur Minangkabau yang memuat cerita masyarakat
Minangkabau dahulunya.
Dikisahkan
dahulu bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Sri Maharajo
Dirajo anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan
Maharaja Alif menjadi raja di Benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja
di Benua Cina.
Sri
Maharaja Diraja datang ke Minangkabau, atau yang disebut dengan Pulau Paco (Pulau Perca), lengkap
dengan pengiring, isteri-isterinya dan
disertai juga oleh Cati Bilang Pandai. Selain itu, ikut pula pada rombongan itu
Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan dan Anjing Mualim. Lalu pada perkembangannya,
masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” luhak di Minangkabau.
Kucing Siam untuk lambang Luhak Tanah Datar, Harimau Campo untuk lambang Luhak Agam dan Kambing Hutan sebagai lambang
Luhak Limo Puluah Kota.
Diceritakan
pula sasudah gunuang manyentak naiak jo
lauik menyentak turun (gunung menyentak naik dan laut menyentak turun)
dibangunlah sebuah nagari yang diberi
nama Pariangan. Dan lama kelamaan wilyahnya berkembang dari lereng gunung itu,
seiring pula dengan perkembangan penduduknya. Dari sinilah, asal usul berkembangnya
nagari-nagari di Minangkabau.
Diceritakan
dalam tambo bahwa Sri Maharajo Dirajo mempunyai seorang penasihat yang bernama
Cati Bilang Pandai. Sri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama
Sutan Maharjo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumangguangan, pendiri
sistem keselarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Sri Maharajo Dirajo
sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga orang anak,
yaitu: Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian
dikenal dengan gelar Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai pendiri keselarasan
Bodi Chaniago.
Datuk Katumangguangan melanjutkan pemerintahan
ayahnya yang berpusat di Pariangan Padang Panjang, yang kemudian mengalihkannya
ke daerah Bungo Satangkai di Sungai Tarab sekarang dan menguasai wilayah sampai
ke daerah Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung.
Selain
kisah asal usul masyarakat Minangkabau serta adat istiadat, dalam tambo juga
terdapat bagian-bagian yang mengemukakan tentang hukum serta ajaran-ajaran
moral. Pada tambo yang telah ditulis (setelah masuknya pengaruh Islam),
pemaparan tentang hukum serta ajaran moral itu selalu dikaitkan dengan hukum
islam serta ajaran-ajaran moral yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis nabi
Muhammad SAW.
Uraian
penjabaran ini selalu dibarengi dengan
adat istiadat yang telah dikembangkan oleh peletak dasar adat
Minangkabau. Pada bagian ini terlihat jelas posisi agama dalam adat
Minangkabau, seperti pepatah yang berbunyi Adaik
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, syarak mangato adaik mamakai (Adat Berdasarkan Syariat dan Syariat
berdasarkan Al-Quran, Syariat yang menerangkan dan agama yang menerapkan).
Kedudukan Tambo Sebagai
Historiografi Minangkabau.
Dalam
penetapan tambo sebagai sumber penulisan sejarah masyarakat Minangkabau,
setidaknya dibutuhkan beberapa pertimbangan (Amir Sjarifoedin:2011)
1. Memandang
tambo sebagai salah satu bentuk tradisi peninggalan dari sebuah ekspresi
kultural kehidupan masyarakat pada suatu waktu tertentu. Karena itu, untuk menggali informasi kesejarahan yang
terdapat di dalamnya diperlukan kekuatan interprestasi. Teristimewa dalam
menangkap fenomena sosial, sesuai dengan aspek jiwa zaman (zeitgeist) yang melatar-belakangi lahirnya tambo itu sendiri.
2. Melakukan
berbagai analisis perbandingan dengan sumber-sumber peninggalan dan
sumber-sumber tertulis lainnya, seperti tradisi-tradisi kesenian yang se-zaman,
kesaksian-kesaksian dan pencatatan sumber-sumber asing yang relevan, tentunya
sejauh sumber itu relevan serta mendukung interprestasi tersebut.
Daftar Sumber
MS,
Edison, 2010. Tambo Minangkabau Budaya
dan Hukum Adat di Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia.
Navis,
AA, 1984. Alam Terkembang Jadi Guru.
Jakarta: Grafiti Pers.
Sjarifoeddin,
Amir, 2011. Minangkabau Dari Dinasti
Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Gria Media.
Fakultas
Ushuluddin UIN Gunung Djati Bandung. Analisis
Historiografi Tambo Minangkabau. http://www.fu.uinsgd.ac.id/site/detail/artikel/analisis-historiografi-tambo-minangkabau
(Akses pada 02 Juni 2013, pukul 20.05)
0 comments:
Post a Comment
Komennya harap yang Sopan ^_^