Monday, July 18, 2016

Tambo Sebagai Historiografi Tradisional Minangkabau

Dalam menggali sejarah Minangkabau terdapat dua rujukan yang biasa dipakai. Sumber pertama adalah sumber sejarah berupa peninggalan Arkeologi, seperti prasasti, menhir, artefak, dan lain-lain. Selain itu yang menjadi rujukan adalah sumber lisan maupun tulisan, salah satunya adalah tambo.
Tambo merupakan suatu warisan Kebudayaan Minangkabau berupa lisan yang disampaikan dengan cara bakaba. Tambo sendiri berasal dari bahasa sangskerta yaitu tambay atau tambe yang berarti ‘bermula’ (Navis: 1984). Berdasarkan penuturan Amir Sjarifoedin dalam bukunya yang dirujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tambo sama dengan sejarah, babad, hikayat kuno, uraian sejarah suatu daerah yang sering kali bercampur dengan dongeng.  Pada zaman dahulunya tambo memang disampaikan secara lisan melalui proses bakaba itu sendiri.

Asal-Usul Tambo.
Tambo yang kita ketahui saat ini dahulunya berasal dari penyampaian secara lisan atau oral. Dalam istilah Minangkabau, penyampaian secara lisan ini disebut dengan bakaba. Bakaba ialah salah satu sastra lisan Minangkabau yang disampaikan secara oral atau lisan yang berisikan tentang kisah-kisah atau kejadian masa lampau, biasanya disampaikan pada acara-acara tertentu, seperti upacara adat.
Tidak diketahui secara pasti kapan tradisi bakaba mulai diperkenalkan di tengah masyarakat. Mengingat tradisi bakaba ini berlangsung secara lisan maka diperkirakan tradisi ini  sudah ada sejak zaman Hindu/Budha dahulu. Karena pada masa Islam, masyarakat sudah mengenal tulisan.
Selanjutnya, setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, pengaruh kebudayaan Islam mulai masuk ke tengah masyarakat. Maka mulailah tambo yang disampaikan secara lisan itu dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Penulisan tambo pada masa itu dengan menggunakan Aksara Arab Melayu.
Tambo yang ditemukan di daerah Minangkabau ini diperkirakan ditulis pada abad 17 sampai 19. Sebagai sumber sejarah, sebenarnya tambo memiliki kekurangan persyaratan sebagai sumber yang otentik. Hal ini disebabkan karena di dalam tambo ada beberapa hal yang tidak disebutkan secara pasti, seperti penanggalan peristiwa, dan kapan peristiwa itu terjadi.
Sebagai warisan leluhur, tambo tetap tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Bahkan tetap tak bisa dipungkiri bahwa saat ini banyak penulis dan ahli sejarah yang tidak bisa melepaskan diri dari tambo. Di dalam tambo alur cerita memang tidak tersusun secara sistematis. Ia lebih pada semacam cerita mitos ataupun legenda dibandingkan dengan fakta sejarah, dan lebih cenderung pada karya sastra (Amir Sjarifoeddin:2011).
Jika kita kaji perihal keberadaan tambo, tiap-tiap daerah di Minangkabau memiliki tambo yan isinya menceritakan kaba akan asal-usul kampung mereka.

Macam-macam Dan Isi Tambo.
1.      Macam-macam tambo.
Tambo memiliki arti penting bagi masyarakat Minangkabau. Oleh sebab itu masayarakat membagi tambo ke dalam dua bentuk atau jenis, yaitu:  Pertama adalah Tambo Alam Minangkabau, yang mengisahkan perihal asal-usul nenek moyang serta dibangunnya Kerajaan Minangkabau. Kedua adalah Tambo Adat, yang menceritakan adat atau sistem dan aturan pemerintahan Minangkabau pada masa dahulu (Navis:1984)
Namun demikian, tambo yang banyak kita temui dalam bentuk tertulis, menggabungkan kedua jenis tambo ini. Biasanya pada awal tambo akan dikisahkan sejarah asal usul hingga terbentuknya alam Minangkabau dan kemudian dilanjutkan dengan kisah bagaimana adat dan bagaimana aturannya dibuat. Sekaligus menceritakan tentang adat itu sendiri.

2.      Isi Tambo.
Merujuk pada pengertian tambo menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas, ditambah dengan penuturan Drs. Irhash A Shamad, M.Hum (Tambo Sebagai Sumber Penelitian Sejarah, 2009) yang dikutip oleh Amir Sjarifoedin Tj.A, bahwa tambo adalah salah satu bentuk ekspresi atas kesadaran masyarakat Minangkabau terhadap masa lalu mereka. Tambo berisikan tentang seluk beluk kebudayaan  dan adat serta asal usul masyarakat Minangkabau.  Dalam tambo terkandung “Narasi-narasi kesejarahan” yang ditujukan untuk berbagai kepentingan, sebagai ekspresi atas kondisi sosial pada waktu dimana tambo itu dibuat. Pengisahannya tidak berbeda dengan tradisi-tradisi lisan lainnya, terutama kandungan cerita yang sukar dipertanggun- jawabkan kebenarannya, karena sering bercampur dengan hal-hal yang tidak empiris. Kisah-kisah yang dipaparkan pada umumnya tidak terlalu menghiraukan kebenaran apa yang disampaikan serta sering tidak kronologis (anakronis).
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa isi tambo tidak semua bersifat empiris atau nyata, dan bahkan beberapa bagian isi tambo lebih cenderung tidak masuk akal atau bertentangan dengan akal sehat. Ditambah lagi penyampaiannya tidak secara runtut atau berkesinambungan. Meskipun demikian, tambo tetap memiliki tempat yang penting sebagai warisan leluhur Minangkabau yang memuat cerita masyarakat Minangkabau dahulunya.
Dikisahkan dahulu bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Sri Maharajo Dirajo anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di Benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di Benua Cina.
Sri Maharaja Diraja datang ke Minangkabau, atau yang disebut dengan Pulau Paco (Pulau Perca), lengkap dengan  pengiring, isteri-isterinya dan disertai juga oleh Cati Bilang Pandai. Selain itu, ikut pula pada rombongan itu Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan dan Anjing Mualim. Lalu pada perkembangannya, masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang Luhak Tanah Datar, Harimau Campo untuk lambang  Luhak Agam dan Kambing Hutan sebagai lambang Luhak Limo Puluah Kota.
Diceritakan pula sasudah gunuang manyentak naiak jo lauik menyentak turun (gunung menyentak naik dan laut menyentak turun) dibangunlah sebuah nagari yang diberi nama Pariangan. Dan lama kelamaan wilyahnya berkembang dari lereng gunung itu, seiring pula dengan perkembangan penduduknya. Dari sinilah, asal usul berkembangnya nagari-nagari di Minangkabau.
Diceritakan dalam tambo bahwa Sri Maharajo Dirajo mempunyai seorang penasihat yang bernama Cati Bilang Pandai. Sri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharjo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumangguangan, pendiri sistem keselarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Sri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga orang anak, yaitu: Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai pendiri keselarasan Bodi Chaniago.
 Datuk Katumangguangan melanjutkan pemerintahan ayahnya yang berpusat di Pariangan Padang Panjang, yang kemudian mengalihkannya ke daerah Bungo Satangkai di Sungai Tarab sekarang dan menguasai wilayah sampai ke daerah Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung.
Selain kisah asal usul masyarakat Minangkabau serta adat istiadat, dalam tambo juga terdapat bagian-bagian yang mengemukakan tentang hukum serta ajaran-ajaran moral. Pada tambo yang telah ditulis (setelah masuknya pengaruh Islam), pemaparan tentang hukum serta ajaran moral itu selalu dikaitkan dengan hukum islam serta ajaran-ajaran moral yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis nabi Muhammad SAW.
Uraian penjabaran ini selalu dibarengi dengan  adat istiadat yang telah dikembangkan oleh peletak dasar adat Minangkabau. Pada bagian ini terlihat jelas posisi agama dalam adat Minangkabau, seperti pepatah yang berbunyi Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, syarak mangato adaik mamakai  (Adat Berdasarkan Syariat dan Syariat berdasarkan Al-Quran, Syariat yang menerangkan dan agama yang menerapkan).

Kedudukan Tambo Sebagai Historiografi Minangkabau.

Dalam penetapan tambo sebagai sumber penulisan sejarah masyarakat Minangkabau, setidaknya dibutuhkan beberapa pertimbangan (Amir Sjarifoedin:2011)
1.      Memandang tambo sebagai salah satu bentuk tradisi peninggalan dari sebuah ekspresi kultural kehidupan masyarakat pada suatu waktu tertentu. Karena itu,  untuk menggali informasi kesejarahan yang terdapat di dalamnya diperlukan kekuatan interprestasi. Teristimewa dalam menangkap fenomena sosial, sesuai dengan aspek jiwa zaman (zeitgeist) yang melatar-belakangi lahirnya tambo itu sendiri.
2.      Melakukan berbagai analisis perbandingan dengan sumber-sumber peninggalan dan sumber-sumber tertulis lainnya, seperti tradisi-tradisi kesenian yang se-zaman, kesaksian-kesaksian dan pencatatan sumber-sumber asing yang relevan, tentunya sejauh sumber itu relevan serta mendukung interprestasi tersebut.


Daftar Sumber

MS, Edison, 2010. Tambo Minangkabau Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia.
Navis, AA, 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Pers.
Sjarifoeddin, Amir, 2011. Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Gria Media.
Fakultas Ushuluddin UIN Gunung Djati Bandung. Analisis Historiografi Tambo Minangkabau. http://www.fu.uinsgd.ac.id/site/detail/artikel/analisis-historiografi-tambo-minangkabau (Akses pada 02 Juni 2013, pukul 20.05)


0 comments:

Post a Comment

Komennya harap yang Sopan ^_^