Sunday, June 12, 2016

Tradisi Manyiriah di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang

Pola kehidupan masyarakat Minangkabau yang berkelompok semenjak awalnya membawa mereka kepada suatu sistem yang melahirkan pola-pola tersendiri dalam masyarakatnya. Hingga saat ini mereka diatur oleh oleh tatanan adat yang telah mereka anut semenjak dahulu kala. Terdapat beberapa pengklasifikasian adat menurut masyarakat Minangkabau, yaitu: Adat nan sabana adat, Adat nan diadatkan, Adat nan teradat dan Adat istiadat (Sjarifoeddin Tj. A, 476: 2011).
Dari keempat pengklasifikasian di atas, Adat Istiadat merupakan aturan adat yang dibuat dengan kesepakatan Niniak Mamak dalam suatu nagari (Sjarifoeddin Tj. A, 476: 2011). Jadi setiap aturan yang ada dalam suatu nagari belum tentu ada pada nagari lain di Minangkabau. Hal ini tergantung pada peraturan dan kebutuhan dari nagari itu sendiri. Adat Istiadat juga dikenal dengan istilah adat salingka nagari.
Salah satu contoh dari adat istiadat atau adat salingka nagari adalah tradasi manyiriah yang umumnya ada di daerah Luhak Agam. Dalam hal ini penulis melakukan fokus penelitian di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten  Agam. Dalam penelitian ini penulis akan melihat perubahan yang terjadi pada tiap-tiap unsur yang ada dalam tradisi manyiriah sebelum dan setelah tahun 1970-an.

Tradisi Manyiriah
1.      Pengertian.
Jika dikembalikan ke dalam bahasa Indonesia, manyiriah disebut juga dengan menyirih dengan kata dasarnya sirih. Apabila ditambah dengan me- pada bahasa Indonesia ataupun imbuhan ma-  dalam bahasa minang, maka kata benda ini akan berubah menjadi kata kerja. Jadi secara keseluruhan istilah menyirih dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan mengunyah sirih. Tradisi mengunyah sirih sebenarnya merupakan tradisi yang kerap dilakukan oleh segenap kaum wanita dahulunya.
Di Minangkabau, khususnya di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, manyiriah tidak hanya sebuah kebiasaan wanita. Akan tetapi manyiriah juga merupakan sebuah cara yang digunakan untuk mengundang masyarakat dalam sebuah acara. Dengan kata lain manyiriah merupakan pengganti undangan seperti yang kita kenal pada saat sekarang ini.

2.      Tentang Manyiriah.
Tradisi manyiriah ini digunakan untuk mengundang masyarakat dalam kaegiatan pesta, seperti pesta pernikahan, akikah (mangarek rambuik/turun mandi) serta pada pesta peresmian gelar seorang datuak. Pekerjaan ini dilakukan oleh anak muda yang ada di selingkungan suku yang mengadakan pesta. Dalam penerapannya, salah seorang yang pergi mesti kemenakan dalam suku orang yang memiliki hajat.
Orang-orang yang pergi menyiriah biasa disebut dengan tukang imbau. Mereka akan membawa siriah langkok yang terdiri dari daun sirih, gambir, pinang dan sadah. Benda-benda ini merupakan undangan bagi kaum wanita. Sedangkangkan bagi kaum pria, benda yang dibawa sebagai lambang dari sebuah undangan adalah rokok.
Pada saat mengundang itu tukang imbau tidak hanya sekedar memberikan siriah dan rokok tadi. Akan tetapi ada kata-kata yang mesti diucapkannya, yaitu “kami dilapeh inyiak datuak ......... maimbau apak, ibuk, ipa, bisan, karik, kabia, sarato saisi rumah nanko untuak pai baralek ka rumah etek ............ pado hari ...........” Artinya “kami dilepas oleh inyiak datuak ........... mengundang bapak, ibuk, ipar, besan, karib, kerabat serta seluruh penghuni rumah ini untuk dapat hadir ke rumah ibuk ......... pada hari .........., kata-kata ini diucapkan ketika mengundang kaum perempuan dan laki-laki yang ada di luar suku orang yang punya hajat atau alek.
Terdapat perbedaan dalam memanggil urang sumando dan ipar dari sipangka (orang yang punya hajat). Mereka tidak diundang oleh tukang imbau dengan membawa siriah dan rokok. Akan tetapi untuk orang sumando akan diundang oleh mamak dari sipangka, sedangkan ipar akan diundang oleh etek dari sipangka. Dalam undangan akan dikatakan secara langsung tanpa meninggalkan siriah dan rokok.

3.      Tradisi Manyiriah sebelum tahun 1980-an.
Tradisi manyiriah pada era sebelum tahun 1980-an bisa dikatakan masih kental dengan keasliannya. Hal ini dapat kita lihat dari segi pakaian, benda-benda yang digunakan dan tata cara pelaksanaannya.
a.    Pakaian.
Pakaian yang digunakan oleh laki-laki dalam manyiriah adalah celana dasar, baju kemeja, peci hitam dan sarung yang dillitkan di pundak. Sedangkan untuk wanita menggunakan baju kuruang dengan jilbab. Hal ini menyiratkan islam sudah mengakar dalam tradisi masyarakat, sebagai sebuah keterikatan antara adat dan syarak, seperti mamangan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Hasanuddin, 42: 2013).

b.        Benda-benda yang digunakan.
Dalam manyiriah, untuk wanita tukang imbau membawa siriah langkok yang terdiri dari daun sirih, pinang, sadah dan gambir. Sedangkan untuk pria tukang imbau membawa rokok daun enau yang terdiri dari daun enau dan santo (tembakau). Bagi wanita yang ingin manyiriah (mengunyah sirih) , maka si tukang imbau akan langsung meramukannya untuk nantinya dikunyah oleh orang yang meminta.

c.         Tata cara pelaksanaan.
Pada era sebelum 80-an, orang yang menjadi tukang imbau adalah sepasang laki-laki dan sepasang perempuan. Dalam pelaksanaanya nati, laki-laki hanya bertugas untuk mengundang kaum laki-laki dan kaum perempuan hanya bertugas untuk mengundang kaum perempuan saja. Sebelum berangkat, mereka dilepas oleh orang-orang tua yang ada di rumah sialek tersebut.

4.      Tradisi Manyiriah setelah tahun 1980-an hingga sekarang.
Tradisi manyiriah pada era setelah tahun 1980-an sudah mulai bergeser dari keasliannya. Hal ini dapat kita lihat dari segi pakaian, benda-benda yang digunakan dan tata cara pelaksanaannya.
a.         Pakaian.
Pakaian yang digunakan oleh laki-laki dalam manyiriah pada masa ini adalah menggunakan celana dasar, baju kemeja, peci hitam dan sarung yang dillitkan di pundak. Sedangkan untuk wanita tidak ada lagi yang yang menggunakan baju kuruang mereka telah beralih pada pakaian yang berkembang sesuai dengan zaman, seperti kebaya. Hal ini bisa dimengerti selama tidak melanggar tahap kesopanan.

b.        Benda-benda yang digunakan.
Pada masa ini tetap siriah langkok tetap digunakan, akan tetapi yang ditinggalkan di rumah orang yang diundang tidak lagi sirih yang sudah diramu dengan kawanannya (sadah, pinang dan gambir), yang ditinggalkan hanya selembar sirih sebagai tanda. Untuk kaum pria, pada masa ini tidak lagi menggunakan rokok yang terbuat dari daun enau dan tembakau. Akan tetapi telah beralih kepada rokok kretek yang telah jadi, tanpa harus menggulungnya terlebih dahulu.

c.         Tata cara pelaksanaan.
Pada tahun-tahun setelah masa 80-an hingga sekarang, dari tata cara pelaksanaan manyiriah ada sedikit perubahan. Jika pada masa sebelum tahun 80-an perjalanan antara laki-laki dan perempuan dipisah dalam manyiriah. Maka pada masa ini manyiriah dilakukan secara berpasangan oleh tukang imbau tersebut.

Kesimpulan.
Setidaknya telah terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam dalam perantaraan tahun 1980-an pada tradisi manyiriah yang ada di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Perubahan itu terjadi dalam aspek gaya berpakaian, benda-benda yang digunakan dalam manyiriah dan tata cara manyiriah dari sendiri. Hal ini dikarenakan perkembangan zaman ke arah yang lebih maju serta fungsi dari beberapa benda yang digunakan untuk manyiriah tersebut.




Daftar Sumber

Buku
Hasanuddin, 2013. Adat dan Syarak Sumber Inspirasi dan Rujukan Dialektika Minangkabau. Padang: PSIKM Unand.
Navis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press.
Sjarifoedin Tj. A, Amir. 2011. Minangkabau dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Gria Media Prima. 
Wawancara:
Y. Datuak Tungga -71 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)
Sanijar -74 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)
Rosmanidar – 68 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)

Continue reading Tradisi Manyiriah di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang

Thursday, June 9, 2016

,

Menelusuri Jejak Megalitikum di Nagari Maek

Zaman Megalitikum (zaman batu besar) adalah zaman pra-sejarah dimana masyarakat telah mampu membuat dan mengembangkan kebudayaan yang terbuat dari batu besar. Pada zaman ini masyarakat sudah mengenal kepercayaan, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang mereka.
Di Minangkabau sendiri, tradisi Megalitikum dapat kita temui dalam bentuk menhir di Kenagarian Maek, Kecamatan Bukit barisan, Kabupaten Lima Puluh Kota, yang dapat ditempuh lebih kurang satu jam perjalanan dari pusat Kota Payakumbuh dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Menhir yang ada di Kenagarian Maek ini diperkirakan telah ada sejak 2400 tahun SM, yang mengindikasikan bahwa menhir ini termasuk kepada zaman Megalith Tua. Di nagari Maek ini terdapat banyak Menhir yang tersebar pada beberapa titik, salah satunya adalah di kawasan Bawah Parik, yang biasa dikenal dengan Menhir Bawah Parik.
Terdapat beberapa keunikan dari menhir yang ada di daerah ini, diataranya adalah dari bentuk dari menhir itu sendiri. Semua menhir yang ada di kawasan ini umumnya memiliki tampuk pada bagian atas yang kesemuanya mengarah ke Gunung Sago. Masyarakat dahulu mempercayai bahwa arwah yang telah dikubur di bawah menhir tersebut akan bolak-balik dari Gunung Sago dan kembali ke menhir.
Keunikan lainnya adalah ukiran-ukiran yang terdapat pada beberapa menhir. Pada menhir yang diukir dan memiliki ukuran besar merupakan makam pemimpin atau orang yang mempunyai kekuasaan. Sedangkan menhir yang berukuran kecil tidak memiliki ukiran diperkirakan makam orang biasa.
Ukiran-ukiran yang ada pada menhir itu diantaranya adalah jenis ukiran kaluak pakusaik kalamai, dan pucuak rabuang. Ukiran-ukiran tersebut ada yang diukir pada dua buah sisi menhir dan ada pula yang diukir disekelilingnya. Ukiran-ukiran tersebut diukir dengan cara yang unik sehingga memberikan nilai estetika tersendiri bagi menhir tersebut.
Dari semua keunikan yang ditemui pada situs ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau zaman Megalitikum (batu besar) sudah mengenal sistem pemerintahan dalam kelompok mereka. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan dari ukuran dan ukiran yang ada pada tiap-tiap menhir. Dilihat dari ukiran yang ada, mengindikasikan bahwa masyarakat sudah mengenal kesenian.
Continue reading Menelusuri Jejak Megalitikum di Nagari Maek

Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAKA) Sebagai Tokoh Pembaharuan di Minangkabau

Dalam perjalanannya, Minangkabau telah melalui zaman-zaman yang berbeda hingga akhirnya sampai pada zaman modern. Di ujung zaman penjajahan Belanda atau di akhir abad ke-19, di Minangkabau mulai bermunculan para tokoh-tokoh intelektual. Kehadiran para tokoh ini kemudian memunculkan pergolakan intelektual antara mereka yang membawa pemikiran baru dengan mereka yang masih mengamalkan pemikiran lama.
Perbedaan pemikiran dari para kaum intelektual yang biasanya berasal dari kalangan ulama ini kerap dikenal dengan istilah kaum muda dan kaum tua. Kaum tua adalah para tokoh yang masih mengamalkan segala sesuatu berdasarkan pengajaran dari guru dan nenek moyang mereka. Sedangkan kaum muda, selain penentang dari kaum tua mereka juga merupakan pembawa pemikiran modern tentang islam. Pembaharuan yang dibawa oleh para kaum muda secara tidak langsung merupakan pengaruh dari pergolakan pemikiran yang terjadi di Timur Tengah kala itu.
Salah seorang tokoh dari kaum muda yang begitu berpengaruh Minangkabau masa itu ialah Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Pemuda yang merupakan anak dari seorang ulama thariqat terpandang di Minangkabau. Anaknya kelak juga menjadi seorang ulama yang termasyhur di akhir abad ke-20.
Beberapa pemikiran beliau begitu berpengaruh dalam pergolakan intelektual islam di Minangkabau. Semua pemikiran beliau mulai berkembang di Minangkabau setelah kembalinya beliau dari Timur Tengah dalam Rangka menuntut ilmu.

Biografi Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
  1. Kelahiran.
Abdul Karim Amrullah (AKA) atau yang biasa kita kenal dengan panggilan Inyiak Dotor merupakan anak ke tiga dari pasangan Syekh Muhammad Amrullah dengan istrinya yang bernama Tarwasa. Beliau dilahirkan pada hari Ahad tanggal 17 Shaffar 1926 H yang bertepatan dengan tanggal 10 February 1879 Masehi. Tempat yang pertama kali menjadi saksi dari kelahiran beliau adalah sebuah kampung kecil di pinggiran Danau Maninjau, yaitu di Kepala Kabun Jorong Betung Panjang Nagari Sungai Batang Maninjau Agam (Hamka, 53: 1982).

  1. Riwayat Pendidikan.
Hamka dalam bukunya yang berjudul Ayahku menjelaskan satu bagaimana proses perjalanan AKA dalam menuntut ilmu. Mulai dari wilayah Minangkabau sampai nantinya ke Mekah. Di buku tersebut jelas disebutkan bahwa orang yang pertama kali menjadi guru beliau adalah Tuanku Haji Hud dan Tuanku Fakih Samnun. Kala AKA yang berumur 10 tahun diantar sendiri oleh pamannya yang bernama H. Abdussamad ke Dusun Sibalantai Tarusan, Painan.
Setelah setahun menuntut ilmu di Painan, beliau kembali ke Maninjau. Di maninjau beliau belajar menulis huruf Arab kepada Adam anak Tuanku Said. Di usia 13 tahun, beliau melanjutkan pelajaran Nahwu Sharaf kepada ayah beliau sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan belajar kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Disini beliau sampai menamatkan kitab Minhajut Thalibin karangan Imam Nawawi dan Tafsir Jalalein.
Sekembalinya beliau dari Sungai Rotan, Muhammad Amrullah (ayahnya) menyuruh beliau untuk melanjtkan pendidikan ke Mekah. Maka pada tanggal 1894 berlayarlah beliau menuju Mekah.di sana beliau berguru kepada beberapa ulama termahsyur, diantaranya: Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, Syekh Taher Jalaludin, Syekh Abdullah Jamidin, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Sa’id Yaman, dll.
Pada usia 23 tahun beliau kembali lagi ke Minangkabau. Kedatangan beliau membawa hawa baru bagi dunia keislaman. Tidak berapa lama beliau di rumah beliau diangkat menjadi Tuanku Syekh Nan Mudo, sedangkan ayahnya menjadi Tuanku Syekh Nan Tuo. Di sini beliau dinikahkan dengan seorang perempuan yang bernama Raihanah dan beroleh dua orang anak. Saat beliau kembali ke Mekah, Raihanah dan anak laki-lakinya meninggal dunia.
Sekembalinya beliau ke kampung, beliau langsung dinikahkan kembali dengan adik dari Raihanah yang bernama Shafiyah dan beroleh seorang anak laki-laki yang beliau namai Abdul Malik. Beliau pada akhirnya menutup usia pada hari sabtu tanggal 2 Juni 1945.

Pemikiran Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
Kondisi dunia islam ketika AKA menuntut ilmu di Mekah adalah sedang gencar-gencarnya dengan gerakan modernisme. Gerakan ini berawal dari buah pemik iran dari Jamaluddin Al-Afghani dan kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Abduh. Mengingat gencarnya gerakan ini, maka tidak diragukan lagi jika gerakan ini cepat menyebar ke berbagai daerah yang ada, termasuk pula Mekah.
Sekembalinya AKA dari Mekah, begitu banyak perubahan yang beliau bawa. Ketika kepulangan beliau yang pertama, beliau mulai menampakkan ketidaksukaannya kepada budaya keislaman masyarakat Minangkabau yang telah banyak jauh dari islam. Dari beberapa bid’ah dan khurafat yang dibantah, banyak para lebai masa itu yang merasa tersinggung dan sakit hati. Akan tetapi mereka tetap merasa segan terhadap ayah dari AKA.
Selain itu, beliau juga dikenal dengan seorang yang menentang tharikat, sekali pun ayahnya seorang ulama tharikat. Hal ini ditanggapi baik oleh ayahnya, karena beliau jugalah yang telah mengusulkan anaknya untuk berguru ke Mekah.
Lain dari pada itu, Pembaharuan yang beliau bawa mampu menumbuhkan semangat nasionalisme bagi seluruh ulama di Minangkabau. Hal ini terbukti ketika berkembangnya isu akan diterapkannya sistem Guru Ordonansi pada tahun 1928, yang mana sistem ini melarang para guru mengajarkan perihal agama di sekolah (Hamka, 166: 1982). Setelah diadakan pertemuan, akhirnya pidato beliau berhasil menyatukan semua ulama yang datang dari berbagai kalangan baik itu kaum muda maupun kaum muda.
Dari sekian perjalanan beliau ke luar daerah dan luar negeri membuat beliau berfikir untuk tidak lagi membesar-besarkan urusan yang remeh, seperti tidak lagi memperkarakan perihal Ushalli, talkin atau kenduri di rumah orang kematian (Hamka, 166: 1982). Selain itu beliau juga mulai menggalang persatuan diantara para ulama yang ada, dengan cara menghilangkan penyebutan kaum tua dan kaum tua. Bahkan ketika ditanyakan beliau termasuk pada kaum apa, beliau menjawab bahwa beliau kaum menuntut kebenaran.
Pemikiran beliau tentang pembaharuan banyak berada dalam bidang pendidikan. Pemikiran-pemikiran beliau banyak disampaikan di lembaga-lembaga pendidikan dengan berbagai metode yang juga berbeda dari sistem yang telah ada sebelumnya.
Pembaharuan itu ada dalam bidang kurikulum pendidikan, yaitu dengan dimasukkannya beberapa pelajaran umum. Pendidikan dilakukan berdasarkan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat. Selaiin itu tafsir-tafsir juga mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Begitu juga dengan khutbah jum’at yang selanjutnya juga mulai menggunakan bahasa Indonesia (Mansoer, 180: 1970).

Kesimpulan
Abdul Karim merupakan seorang pemuda kelahiran Maninjau dari latar belakang keluarga yang taat agama. Ayahnya Syekh Muhammad Amrullah atau Tuanku Syekh Nan Tuo merupakan seorang ulama thariqat. Pendidikan dasar ditempuhnya di Minangkabau dengan beberapa orang ulama, termasuk ayahnya sendiri. Setelah merasa cukup, Ayahnya, Syekh Muhammad Amrullah menyuruh beliau untuk melanjutkan pendidikan ke Mekah.
Dari berbagai perjalanan yang telah dilakukan oleh, AKA mulai memperoleh banyak pengetahuan dan ide-ide yang kemudian mulai dikembangkan di kampung halamannya. Sekali pun bertentangan dengan ulama-ulama tua, akan tetapi lama-kelamaan beliau berusaha untuk menyatukan seluruh ulama yang ada di Minangkabau. Beliau merupakan seorang ulama yang terbilang anti dengan beberapa kebijakan Belanda. Pembaharuan beliau lainnya banyak berada dalam bidang pendidikan. Pembaharuan ini beliau mulai beliau terapkan di lembaga pendidikan. Salah satunya adalah di Thawalib Padang Panjang.
Menjelang wafatnya pada awal juni 1945, beliau telah banyak meninggalkan beberapa peninggalan yang akan dirasakan sepanjang masa. Dengan kecerdasannya beliau kita kenal dengan panggilan Inyiak Dotor (Inyiak Dr.). beliau juga mendapat anugerah gerar Doktor Honoris Kausa, sehingganya nama beliau banyak ditulis menjadi DR. H. Abdul Karim Amrullah.

Daftar Kepustakaan
Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang. Pusat Pengkajian Islam dan Minagkabau.
Daya, Burhanudin. 1990. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hamka. 1982. Ayahku. Jakarta: Umminda.
Mansoer, MD, dkk. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhatara.

Continue reading Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAKA) Sebagai Tokoh Pembaharuan di Minangkabau

Harimau Nan Salapan, Dewan Revolusi Pemurnian Agama Islam di Luhak Agam

Kepulangan tiga orang pemuda Minangkabau dari Timur Tengah pada awal abad ke-19 adalah awal atau titik tolak dimulainya gerakan pemurnian agama islam di Minangkabau. Ketiga orang itu adalah Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik. Mereka pulang membawa pemikiran baru yang diilhami dari gerakan wahabi yang terjadi di Timur Tengah kala itu.
Kondisi keagamaan masyarakat Minangkabau sekembalinya mereka ke Minangkabau berada dalam keadaan yang kritis. Sebab, segala kegiatan dan perbuatan masyarakat masa itu telah jauh dari ajaran islam yang semestinya. Bahkan banyak dari perbuatan mereka yang telah melanggar pantangan agama. Seperti, menghisap madat (opium), berjudi, menyabung ayam, memakai sutra bagi laki-laki, minum-minuman keras dan lain-lain.
Hal inilah yang nantinya menjadi pemicu munculnya gerakan dari kaum agama yang menamakan gerakan mereka gerakan paderi. Gerakan ini awalnya hanya berorientasi sebagai wadah untuk mengembalikan kemurnian ajaran islam yang telah diselewengkan oleh masyarakat Minangkabau. Akan tetapi lama-kelamaan gerakan ini mulai berubah menjadi gerakan radikal yang tak pandang bulu. Segala tindakan mereka selalu dilandasi dengan Al-Quran dan Sunnah, sehingga mereka merasa wajar melakukan tindak kekerasan dalam memurnikan kembali ajaran Islam.
Setiap gerakan yang dilakukan oleh kaum paderi tidak selalu mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Oleh sebab itu selalu muncul perlawanan dari Kaum Adat. Kaum Adat ialah mereka yang menjadi sasaran dari Kaum Paderi dalam melakukan pemurnian agama islam. Gerakan pederi ini dilakoni oleh para ulama yang ada di Luhak Agam dengan menamai diri meraka Harimau Nan Salapan yang pergerakannya banyak berorientasi di daerah Luhak Agam.

Awal terbentuknya Harimau Nan Salapan.
Sebelum mulai terbentuknya gerakan paderi, sebenarnya gerakan pemurnian agama islam telah terlebih dahulu dilakukan oleh Tuanku Nan Tuo, seorang ulama termahsyur yang ada di daerah Ampek Angkek. Salah seorang murid beliau yang sangat gigih dalam pemurnian agama islam adalah Tuanku Nan Renceh. Dia adalah seorang ulama yang berasal dari daerah Kamang. Dalam gerakannya, Tuanku Nan Renceh cenderung bersikap keras.
Tuanku Nan Renceh sering mengajak Tuanku Nan Tuo untuk bergabung dengannya dalam memurnikan kembali ajaran islam. Akan tetapi beliau selalu menolak ajakan tersebut. Karena beliau sangat tidak setuju dengan gerakan yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceh yang bersifat keras atau radikal.
Adanya tawaran dari Tuanku Nan Renceh kepada Tuanku Nan Tuo dikarenakan beliau merupakan sosok yang termahsyur dan disegani oleh masyarakat, terutama di wilayah Agam. Dalam pergerakannya, Tuanku Nan Renceh membutuhkan seorang sosok yang akan menjadi tokoh di kalangan masyarakat. Hal ini berhubungan dengan masa yang akan didapatkan jika Tuanku Nan Tuo bergabung bersamanya (Amir Sjarifoedin: 2011)
Tokoh lain yang se-ide dengan Tuanku Nan Renceh adalah Haji Miskin. Beliau memulai gerakan di kampungnya sendiri, yaitu di daerah Pandai Sikek. Pada gerakan yang dilakukannya di Pandai Sikek, Haji Miskin ditentang oleh masyarakat. Untuk menghindari amukan dari masyarakat Pandai Sikek, maka Haji Miskin pindah ke daerah Koto Laweh. Di Koto Laweh, Haji Miskin bertemu dengan Tuanku Mansiangan Mudo, seorang ulama yang ayahnya Tuanku Mansiangan Tuo merupakan murid dari Syekh Burhanuddin Ulakkan. Selanjutnya, Haji Miskin mulai bergabung bersama Tuanku Nan Renceh yang ada di Kamang.
Karena gagal membujuk Tuanku Nan Tuo ikut dalam gerakannya, akhirnya melalui Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh berhasil mengajak Tuanku Mansiangan untuk ikut dalam gerakannya. Tuanku Mansiangan dikenal sebagai seorang ulama yang juga banyak disegani oleh masyarakat. Oleh sebab itu beliau diposisikan sebagai Imam Besar.
Pada tahun 1803, Tuanku Nan Renceh melakukan perkumpulan dengan beberapa orang ulama di Luhak Agam dan masyarakat Kamang. Dalam pertemuan itu Tuanku Nan Renceh mengumukan bahwa akan dimulainya Gerakan Paderi. Pada waktu itu pula dibentuklah Dewan Harimau Nan Salapan dengan Tuanku Nan Renceh sebagai penggagasnya, dibantu dengan tujuh orang ulama yang datang dari beberapa wilayah di Luhak Agam (Marjani Martamin: 1984)
Kedelapan Tuanku yang menjadi anggota Harimau Nan Salapan adalah:
  1. Tuanku Nan Renceh di Kamang.
  2. Tuanku di Kubu Sanang.
  3. Tuanku di Padang Lawas.
  4. Tuanku di Padang Luar.
  5. Tuanku di Galuang.
  6. Tuanku di Koto Amabalau.
  7. Tuanku di Lubuk Aur.
  8. Tuanku Haji Miskin.

Gerakan Harimau Nan Salapan.
Setelah berdirinya Dewan Harimau Nan Salapan pada tahun 1803, yang ditandai dengan berkumpulnya beberapa olang ulama di Kamang, maka dimulailah penyusunan rencana untuk menghabisi praktek bid’ah yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Untuk dapat melakukan pembersihan, kaum Paderi harus bisa merebut kekuasaan dari tangan para penghulu yang menjadi pemimpin masyarakat masa itu. Satu-satunya jalan untuk melakukan semua rencana tersebut adalah dengan cara kekerasan. Sebab, kaum adat tidak akan rela dan secara gampang menyerah pada kaum paderi.
Desas-desus tentang pembentukan Dewan Harimau Nan Salapan serta rencana yang telah disusun mulai terdengar ke luar daerah Kamang. Untuk menguji sejauh mana kesanggupan kaum paderi untuk berbuat kekerasan, maka para penghulu yang ada di daerah Bukik Batabuah (Lereng Gunung Merapi) sengaja melakukan semua hal yang yang sangat ditentang oleh kaum Paderi, seperti: judi, sabung ayam serta minum-minuman keras.
Hal ini sangat memancing kemarahan dari Kaum Paderi. Dengan segala perlengkapan yang ada, bergeraklah mereka ke daerah Bukik Batabuah untuk merealissasikan rencana yang telah mereka susun. Sesampainya disana, pertempuran tak dapat lagi dielakkan. Dalam pertempuran tersebut banyak korban yang berjatuhan di kedua belah pihak. Dengan dimulainya pertempuran di Bukik Batabuah, maka mulailah terjadi berbagai pertempuran hampir disemua daerah di Luhak Agam (Mardjani Martamin: 1984).
Dalam waktu yang lebih kurang satu tahun, Harimau Nan Salapan berhasil menguasai beberapa wilayah agam, seperti Matur, Canduang, Koto Lawas, Pandai Sikek (daerah lereng Gunung Merapi dan Singgalang), Bukit Pua (ujung utara lembah Agam), Padang Tarab dan Guguk, dengan Kamang sebagai pangkalan atau basis pertahanan (Amir Sjarifoedin: 2011).
Di daerah yang telah dikuasai, dibentuk pemerintahan agama dengan Tuanku Iman dan Tuanku Kadi, ulama pemimpin gerakan paderi setempat sebagai pimpinan. Mereka bertugas memberikan penerangan dan bimbingan tentang pembaharuan agama yang sedang dilakukan. Peraturan-peraturan baru diterapkan, seperti mengenakan pakaian putih, membotakkan kepala serta memelihara jenggot. Hal ini berfungsi sebagai tanda atau pembeda antara seorang pengikut pembaharuan dan pembeda dengan mereka yang belum menganut Paham Wahabi (Mansoer: 1970)
Penguasaan wilayah Agam dalam waktu yang relatif singkat oleh Gerakan Paderi yang dilakukan oleh Harimau Nan Salapan, dikarenakan wilayah Agam dikenal sebagai wilayah tempat bermukimnya ulama-ulama ternama, seperti Tuanku Nan Tuo dan Tuanku Mansiangan. Di sini peran penghulu sangat tipis, bahkan terkesan terhimpit oleh peran ulama (Amir Sjarifoeddin: 2011).

Kesimpulan
Gerakan Revolusi Harimau Nan Salapan ini didalangi oleh Tuanku Nan Renceh yang berada di Kamang. Gerakan ini merupakan gerakan yang bersifat radikal atau dilakukan dengan cara yang keras. Tuanku Nan Tuo sebagai seorang tokoh ulama di daerah Ampek Angkek sangat menentang gerakan ini. Sebab beliau beranggapan islam tak mesti disebarkan dengan jalan kekerasan.
Tuanku Nan Renceh menjadikan daerah Kamang sebagai basis pertahanan gerakannya. Hal ini dikarenakan kondisi beliau yang berasal dari Kamang dan awal dari pembentukan Dewan Harimau Nan Salapan juga di daerah Kamang. Dalam menguasai daerah Agam, mereka tidak membutuhkan waktu yang lama, terbukti dengan waktu lebih kurang setahun, beberapa wilayah yang ada di Luhak Agam berhasil mereka kuasai.
Mereka yang tergabung dalam Dewan Harimau Nan Salapan ini adalah: Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Padang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galuang, Tuanku di Koto Amabalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh sebagai otak pergerakannya. Tuanku Mansiangan diposisikan sebagai ketua Dewan atau organisator, akan tetapi beliau lebih menjadi seorang fasilitator yang nantinya berfungsi sebagai pendukung gerakan mereka.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minagkabau (PPIM)
Mansoer, M.D. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhatara.
Martamin, Mardjani. 1984. Tuanku Imam Bonjol. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jendral Sejarah dan Nilai Tradisional.
Sjarifoedin Tj. A, Amir. 2011. Minangkabau dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Griya Media Prima.
Yunus, Yulizal, Dkk. 2008. Beberapa Ulama di Sumatra Barat. Padang: Pemerintah Provinsi Sumatra Barat Dinas Parisata Seni dan Budaya UPTD Musium Adityawarman.
Wikipedia Indonesia. Perang Paderi
Continue reading Harimau Nan Salapan, Dewan Revolusi Pemurnian Agama Islam di Luhak Agam