Monday, July 18, 2016

Dinasti Mughal

Sejarah  Berdiri
Setelah kematian Iskandar Shah atau Iskandar Lodi pada tahun 1577 M, pemerintahan Dinasti Lodi selanjutnya dipegang oleh anaknya Ibrahim Lodi (Maidir Harun, 199: 2002). Ibrahim Lodi merupakan seorang yang ahli dalam bidang kemiliteran, akan tetapi memiliki kelemahan dalam bidang adrimistrasi pemerintahan. Sehingganya, selama masa pemerintahannya ia hanya sibuk memperkukuh kedudukannya dan menganggap dirinya orang yang mulia. Pada masa pemerintahannya, Dinasti Lodi menderita krisis yang berkepanjangan, apalagi hubungannya dengan pamannya Pangeran Alam Khan tidak baik. Dalam persengketaannya dengan Ibrahim Lodi, Pangeran Alam Khan yang waktu itu bekerja sama dengan Gubernur Lahore meminta bantuan kepada Zahiruddin Babur untuk menggulingkan kekuasaan Ibrahim Lodi.
Hal ini di sambut baik oleh Zahiruddin Babur yang memang sudah lama bertekad untuk menaklukkan kekuasaan Dinasti Lodi. Zahiruddin Babur adalah seorang keturunan Bangsa Mongol yang mempunyai garis keturunan langsung dari Jengis Khan penguasa Mongol. Ia adalah anak dari seorang penguasa Ferghana yang bernama Syekh Umar bin Abi Sa’id atau Umar Mirza. Dia mewarisi daeah Ferghana dari ayahnya ketika ia berumur 11 tahun.
Pada tahun 1525 M Zahiruddin Babur mulai bergerak menuju Punjab dan dapat menguasainya pada tahun itu juga. Pada tahun 1526 terjadi pertempuran antara pasukan Zahiruddin Babur melawan pasukan Ibrahim Lodi, pertempuran itu terjadi di Panipat sehingganya disebut dengan Perang Panipat I.  Pada pertempuran ini Ibrahim Lodi bersama puluhan pasukannya terbunuh.
Setelah mengalahkan Ibrahim Lodi, Zahiruddin Babur bersama pasukannya mulai bergerak memasuki Delhi. Pada tanggal 21 April 1526 M yang bertepatan dengan hari Jum’at dengan resmi berdirilah Kerajaan Mughal dengan Zahiruddin Babur sebagai penegak pemerintahannya.

Pemerintahan
Setelah wafatnya Babur, kekuasaan selanjtnya dipegang oleh Humayun, dalam pemerintahannya selama 9 tahun, ia banyak mendapat tantangan dalam memerintah, pada masanya banyak terjadi pemberontakan. Beberapa pemberontakan dapat dipadamkan akan tetapi ada juga pemberontakan yang akhirnya membuat Humayun harus melarikan diri ke Kandahar. Pada tahun 1555 akhirnya Humayun dapat kembali menduduki tahtanya setelah mengalahkan Sher Khan Shah (Badri Yatim: 2010, 148).
Politik pemerintahan Dinasti Mughal mengalami kemajuan yang amat pesat adalah sejak pemerintahan sultannya yang ketiga, yaitu Sultan Akbar. Akbar merupakan anak dari Humayun, dia merupakan seorang sultan yang militaris dalam memimpin. Pada masa pemerintahannya Mughal berhasil melakukan ekspansi wilayah kekuasaan. Dalam pemerintahannya, Akbar menerapkan politik sulakhul atau politik Universal, yakni semua rakyat dipamdang sama, tak ada pembedaan antara satu dan lainnya.
Kekuasaan di daerah-daerah dipegang oleh seorang sipah salar (kepala komandan), subdistrik dipegang oleh faujdar (komandan). Semua aspek pemerintahan mendapatkan bau kemiliteran,  mulai dari pusat hingga ke daerah. Semua pejabat yang memerintah juga diwajibkan untuk ikut latihan militer. Kekuatan kepemimpinan Dinasti Mughal hanya bertahan hingga tiga sultan setelahnya, yaitu Jehangir, Shah Jahan dan Aurangzeb. Setelah ini tidak ada lagi sultan yang memiliki kecakapan seperti mereka.
                                                                                               
Ekonomi
Kemajuan sektor perkonomian pada masa Dinasti Mughal ditunjang oleh sektor pertanian. Beberapa hasil pertanian yang menjadi unggulan pada masa itu adalah biji-bijian, kacang, sayur-sayuran, padi, rempah, tembakau, kapas dan lain-lain. Hasil pertanian ini tak hanya digunakan di dalam negeri, akan tetapi juga di ekspor ke wilayah Eropa, Afrika, Arabi, dan juga Asia Tenggara. Untuk meningkatkan produksi industri, Sultan Jehangir mengizinkan Belanda dan Inggris untuk mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian dan tekstil (Harun: 2002).

Kegamaan dan Ilmu Pengetahuan
 Selain sebagai seorang yang militan, Akbar juga dikenal sebagai seorang yang berhasil mempersatukan masyarakat Mughal dengan cara keagamaan. Munculnya paham Din Ilahi, hasil singkritisnya dari beberapa agama. Paham ini dapat di terima oleh semua kalangan agama, sehingganya penganut Hindu dan Budha juga ikut berpartisipasi dalam pemerintahannya (Bosworth: 1993). Akan tetapi paham Din Ilahi ini tak lagi diminati oleh sultan-sultan setelah Akbar, para ulama juga menolak paham ini.
Ilmu pengetahuan  pada masa Dinasti Mughal ini bisa dikatakan cukup berkembang,  pembahasan keilmuan yang paling marak di bahas adalah persoalan agama, seperti perihal Aqidah, Syariah dan juga Fiqh. Aurangzeb selain sebagai sultan, da juga dikenal sebagai seorang cendikiawan, dia juga menyusun sebuah buku tentang risalah hukum islam yang dinamainya Fattawa Alamgiri.
Pada abad 17, dalam bidang ilmu kedokteran juga muncul seorang ahli yang membukukan pemikirannya dengan judul karya Kedokteran Dara Sukuh. Karya ini merupakan ensiklopedi kedokteran terakhir dalam islam.  Pada abad 18 ilmu kedokteran terus berkembang, Muhammad Syah Arzani dari Shiraz membuat sebuah skala kedokteran. Perkembangan ilmu medis pada masa ioni merupakan sebuah cabang ilmu medis berbentuk filosofi medis dengan memakai pendekatan pada Allah (Sunanto: 2004)

Seni dan Arsitektur
Perkembangan seni sastra dan kepenyairan telah dimulai pada masa sultan Akbar, karena banyaknya para penyair yang diundang untuk datang ke istana. Beberapa penyair diberikan jabatan kepemimpinan dan diberikan sebuah tempat dimana mereka bisa latihan dan berkumpul, lengkap dengan peralatan musik modern seperti, gitar, biola, terompet dan rebana.
Perkembangan yang mencolok dalam bidang kesusasteraan adalah dengan munculnya seorang penyair dan sastrawan yang bernama Malik Muhammad Jayazi dengan judul karyanya Padmevad. Pada masa Aurangzeb juga muncul seeorang sejarawan yang bernama Abu Fadl dengan karyanya Akhbar Nama dan Aini Akhbari. Karangan ini memaparkan perihal kerajaan Mughal sesuai dengan figur pemimipinnya (Harun: 2002)
Kemajuan bidang seni yang dapat kita nikmati saat ini adalah bidang seni dan arsitektur. Pada masa Akbar, ia membangun istana Fatpur Sikri di daerah Sikri, Shah Jehan membangun mesjid raya Delhi. Selain itu karya arsitektur yang paling monumental itu  adalah sebuah makam yang dibangun oleh Shah Jehan untuk mengenang istrinya Mumtaz i Mahal yang wafata ketika melahirkan pada tahun 1531 M. Taj Mahal dibagun dengan marmer putih dengan warna serasi, bentuknya persegi empat dengan luas 100 x 100 m.

Keruntuhan 
A.       Faktor  Interen.
1.   Setelah Aurangzeb tidak ada lagi pemimpin yang cakap dan tangguh. Hanya mereka yang lemah saja, kehidupan mereka pun hanya berfoya-foya tanpa memikirkan masyarakat.
2. Muncul pemberontakan dari mayoritas Hindu dan lain-lain. Hal ini terjadi sebab Aurangzeb yang merusak berhala dan kuil-kuil mereka.
3.   Terganggunya perekonomian karena banyaknya pemberontakan yang terjadi.

B.       Faktor Ekseteren.
1.     Serangan dari Persia di bawah pimpinan Nadir Syah, sehingga Mughal harus membayar tiap tahunnya..
2.     Serangan dari bangsa Afghanistan di bawah pimpinan Ahmad Khan Durrani.
3.  Datangnya bangsa Inggris pada tahun 1858 M. Inggris masa itu sudah membawa peralatan persenjataan yang canggih. Ditambah pula dengan penerapan politik Devida It Impera terhadap masyarakat India yang Heterogen.



DAFTAR SUMBER
Bosworth, C.E. 1993. Dinasti-dinasti Islam. Bandung: Mizan.
Harun, Maidir, Firdaus. 2002. Sejarah Peradaban Islam. Padang: IAIN IB PRES
Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media.
Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Continue reading Dinasti Mughal

Tambo Sebagai Historiografi Tradisional Minangkabau

Dalam menggali sejarah Minangkabau terdapat dua rujukan yang biasa dipakai. Sumber pertama adalah sumber sejarah berupa peninggalan Arkeologi, seperti prasasti, menhir, artefak, dan lain-lain. Selain itu yang menjadi rujukan adalah sumber lisan maupun tulisan, salah satunya adalah tambo.
Tambo merupakan suatu warisan Kebudayaan Minangkabau berupa lisan yang disampaikan dengan cara bakaba. Tambo sendiri berasal dari bahasa sangskerta yaitu tambay atau tambe yang berarti ‘bermula’ (Navis: 1984). Berdasarkan penuturan Amir Sjarifoedin dalam bukunya yang dirujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tambo sama dengan sejarah, babad, hikayat kuno, uraian sejarah suatu daerah yang sering kali bercampur dengan dongeng.  Pada zaman dahulunya tambo memang disampaikan secara lisan melalui proses bakaba itu sendiri.

Asal-Usul Tambo.
Tambo yang kita ketahui saat ini dahulunya berasal dari penyampaian secara lisan atau oral. Dalam istilah Minangkabau, penyampaian secara lisan ini disebut dengan bakaba. Bakaba ialah salah satu sastra lisan Minangkabau yang disampaikan secara oral atau lisan yang berisikan tentang kisah-kisah atau kejadian masa lampau, biasanya disampaikan pada acara-acara tertentu, seperti upacara adat.
Tidak diketahui secara pasti kapan tradisi bakaba mulai diperkenalkan di tengah masyarakat. Mengingat tradisi bakaba ini berlangsung secara lisan maka diperkirakan tradisi ini  sudah ada sejak zaman Hindu/Budha dahulu. Karena pada masa Islam, masyarakat sudah mengenal tulisan.
Selanjutnya, setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, pengaruh kebudayaan Islam mulai masuk ke tengah masyarakat. Maka mulailah tambo yang disampaikan secara lisan itu dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Penulisan tambo pada masa itu dengan menggunakan Aksara Arab Melayu.
Tambo yang ditemukan di daerah Minangkabau ini diperkirakan ditulis pada abad 17 sampai 19. Sebagai sumber sejarah, sebenarnya tambo memiliki kekurangan persyaratan sebagai sumber yang otentik. Hal ini disebabkan karena di dalam tambo ada beberapa hal yang tidak disebutkan secara pasti, seperti penanggalan peristiwa, dan kapan peristiwa itu terjadi.
Sebagai warisan leluhur, tambo tetap tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Bahkan tetap tak bisa dipungkiri bahwa saat ini banyak penulis dan ahli sejarah yang tidak bisa melepaskan diri dari tambo. Di dalam tambo alur cerita memang tidak tersusun secara sistematis. Ia lebih pada semacam cerita mitos ataupun legenda dibandingkan dengan fakta sejarah, dan lebih cenderung pada karya sastra (Amir Sjarifoeddin:2011).
Jika kita kaji perihal keberadaan tambo, tiap-tiap daerah di Minangkabau memiliki tambo yan isinya menceritakan kaba akan asal-usul kampung mereka.

Macam-macam Dan Isi Tambo.
1.      Macam-macam tambo.
Tambo memiliki arti penting bagi masyarakat Minangkabau. Oleh sebab itu masayarakat membagi tambo ke dalam dua bentuk atau jenis, yaitu:  Pertama adalah Tambo Alam Minangkabau, yang mengisahkan perihal asal-usul nenek moyang serta dibangunnya Kerajaan Minangkabau. Kedua adalah Tambo Adat, yang menceritakan adat atau sistem dan aturan pemerintahan Minangkabau pada masa dahulu (Navis:1984)
Namun demikian, tambo yang banyak kita temui dalam bentuk tertulis, menggabungkan kedua jenis tambo ini. Biasanya pada awal tambo akan dikisahkan sejarah asal usul hingga terbentuknya alam Minangkabau dan kemudian dilanjutkan dengan kisah bagaimana adat dan bagaimana aturannya dibuat. Sekaligus menceritakan tentang adat itu sendiri.

2.      Isi Tambo.
Merujuk pada pengertian tambo menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas, ditambah dengan penuturan Drs. Irhash A Shamad, M.Hum (Tambo Sebagai Sumber Penelitian Sejarah, 2009) yang dikutip oleh Amir Sjarifoedin Tj.A, bahwa tambo adalah salah satu bentuk ekspresi atas kesadaran masyarakat Minangkabau terhadap masa lalu mereka. Tambo berisikan tentang seluk beluk kebudayaan  dan adat serta asal usul masyarakat Minangkabau.  Dalam tambo terkandung “Narasi-narasi kesejarahan” yang ditujukan untuk berbagai kepentingan, sebagai ekspresi atas kondisi sosial pada waktu dimana tambo itu dibuat. Pengisahannya tidak berbeda dengan tradisi-tradisi lisan lainnya, terutama kandungan cerita yang sukar dipertanggun- jawabkan kebenarannya, karena sering bercampur dengan hal-hal yang tidak empiris. Kisah-kisah yang dipaparkan pada umumnya tidak terlalu menghiraukan kebenaran apa yang disampaikan serta sering tidak kronologis (anakronis).
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa isi tambo tidak semua bersifat empiris atau nyata, dan bahkan beberapa bagian isi tambo lebih cenderung tidak masuk akal atau bertentangan dengan akal sehat. Ditambah lagi penyampaiannya tidak secara runtut atau berkesinambungan. Meskipun demikian, tambo tetap memiliki tempat yang penting sebagai warisan leluhur Minangkabau yang memuat cerita masyarakat Minangkabau dahulunya.
Dikisahkan dahulu bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Sri Maharajo Dirajo anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di Benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di Benua Cina.
Sri Maharaja Diraja datang ke Minangkabau, atau yang disebut dengan Pulau Paco (Pulau Perca), lengkap dengan  pengiring, isteri-isterinya dan disertai juga oleh Cati Bilang Pandai. Selain itu, ikut pula pada rombongan itu Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan dan Anjing Mualim. Lalu pada perkembangannya, masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang Luhak Tanah Datar, Harimau Campo untuk lambang  Luhak Agam dan Kambing Hutan sebagai lambang Luhak Limo Puluah Kota.
Diceritakan pula sasudah gunuang manyentak naiak jo lauik menyentak turun (gunung menyentak naik dan laut menyentak turun) dibangunlah sebuah nagari yang diberi nama Pariangan. Dan lama kelamaan wilyahnya berkembang dari lereng gunung itu, seiring pula dengan perkembangan penduduknya. Dari sinilah, asal usul berkembangnya nagari-nagari di Minangkabau.
Diceritakan dalam tambo bahwa Sri Maharajo Dirajo mempunyai seorang penasihat yang bernama Cati Bilang Pandai. Sri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharjo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumangguangan, pendiri sistem keselarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Sri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga orang anak, yaitu: Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai pendiri keselarasan Bodi Chaniago.
 Datuk Katumangguangan melanjutkan pemerintahan ayahnya yang berpusat di Pariangan Padang Panjang, yang kemudian mengalihkannya ke daerah Bungo Satangkai di Sungai Tarab sekarang dan menguasai wilayah sampai ke daerah Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung.
Selain kisah asal usul masyarakat Minangkabau serta adat istiadat, dalam tambo juga terdapat bagian-bagian yang mengemukakan tentang hukum serta ajaran-ajaran moral. Pada tambo yang telah ditulis (setelah masuknya pengaruh Islam), pemaparan tentang hukum serta ajaran moral itu selalu dikaitkan dengan hukum islam serta ajaran-ajaran moral yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis nabi Muhammad SAW.
Uraian penjabaran ini selalu dibarengi dengan  adat istiadat yang telah dikembangkan oleh peletak dasar adat Minangkabau. Pada bagian ini terlihat jelas posisi agama dalam adat Minangkabau, seperti pepatah yang berbunyi Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, syarak mangato adaik mamakai  (Adat Berdasarkan Syariat dan Syariat berdasarkan Al-Quran, Syariat yang menerangkan dan agama yang menerapkan).

Kedudukan Tambo Sebagai Historiografi Minangkabau.

Dalam penetapan tambo sebagai sumber penulisan sejarah masyarakat Minangkabau, setidaknya dibutuhkan beberapa pertimbangan (Amir Sjarifoedin:2011)
1.      Memandang tambo sebagai salah satu bentuk tradisi peninggalan dari sebuah ekspresi kultural kehidupan masyarakat pada suatu waktu tertentu. Karena itu,  untuk menggali informasi kesejarahan yang terdapat di dalamnya diperlukan kekuatan interprestasi. Teristimewa dalam menangkap fenomena sosial, sesuai dengan aspek jiwa zaman (zeitgeist) yang melatar-belakangi lahirnya tambo itu sendiri.
2.      Melakukan berbagai analisis perbandingan dengan sumber-sumber peninggalan dan sumber-sumber tertulis lainnya, seperti tradisi-tradisi kesenian yang se-zaman, kesaksian-kesaksian dan pencatatan sumber-sumber asing yang relevan, tentunya sejauh sumber itu relevan serta mendukung interprestasi tersebut.


Daftar Sumber

MS, Edison, 2010. Tambo Minangkabau Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia.
Navis, AA, 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Pers.
Sjarifoeddin, Amir, 2011. Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Gria Media.
Fakultas Ushuluddin UIN Gunung Djati Bandung. Analisis Historiografi Tambo Minangkabau. http://www.fu.uinsgd.ac.id/site/detail/artikel/analisis-historiografi-tambo-minangkabau (Akses pada 02 Juni 2013, pukul 20.05)


Continue reading Tambo Sebagai Historiografi Tradisional Minangkabau

Sunday, June 12, 2016

Tradisi Manyiriah di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang

Pola kehidupan masyarakat Minangkabau yang berkelompok semenjak awalnya membawa mereka kepada suatu sistem yang melahirkan pola-pola tersendiri dalam masyarakatnya. Hingga saat ini mereka diatur oleh oleh tatanan adat yang telah mereka anut semenjak dahulu kala. Terdapat beberapa pengklasifikasian adat menurut masyarakat Minangkabau, yaitu: Adat nan sabana adat, Adat nan diadatkan, Adat nan teradat dan Adat istiadat (Sjarifoeddin Tj. A, 476: 2011).
Dari keempat pengklasifikasian di atas, Adat Istiadat merupakan aturan adat yang dibuat dengan kesepakatan Niniak Mamak dalam suatu nagari (Sjarifoeddin Tj. A, 476: 2011). Jadi setiap aturan yang ada dalam suatu nagari belum tentu ada pada nagari lain di Minangkabau. Hal ini tergantung pada peraturan dan kebutuhan dari nagari itu sendiri. Adat Istiadat juga dikenal dengan istilah adat salingka nagari.
Salah satu contoh dari adat istiadat atau adat salingka nagari adalah tradasi manyiriah yang umumnya ada di daerah Luhak Agam. Dalam hal ini penulis melakukan fokus penelitian di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten  Agam. Dalam penelitian ini penulis akan melihat perubahan yang terjadi pada tiap-tiap unsur yang ada dalam tradisi manyiriah sebelum dan setelah tahun 1970-an.

Tradisi Manyiriah
1.      Pengertian.
Jika dikembalikan ke dalam bahasa Indonesia, manyiriah disebut juga dengan menyirih dengan kata dasarnya sirih. Apabila ditambah dengan me- pada bahasa Indonesia ataupun imbuhan ma-  dalam bahasa minang, maka kata benda ini akan berubah menjadi kata kerja. Jadi secara keseluruhan istilah menyirih dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan mengunyah sirih. Tradisi mengunyah sirih sebenarnya merupakan tradisi yang kerap dilakukan oleh segenap kaum wanita dahulunya.
Di Minangkabau, khususnya di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, manyiriah tidak hanya sebuah kebiasaan wanita. Akan tetapi manyiriah juga merupakan sebuah cara yang digunakan untuk mengundang masyarakat dalam sebuah acara. Dengan kata lain manyiriah merupakan pengganti undangan seperti yang kita kenal pada saat sekarang ini.

2.      Tentang Manyiriah.
Tradisi manyiriah ini digunakan untuk mengundang masyarakat dalam kaegiatan pesta, seperti pesta pernikahan, akikah (mangarek rambuik/turun mandi) serta pada pesta peresmian gelar seorang datuak. Pekerjaan ini dilakukan oleh anak muda yang ada di selingkungan suku yang mengadakan pesta. Dalam penerapannya, salah seorang yang pergi mesti kemenakan dalam suku orang yang memiliki hajat.
Orang-orang yang pergi menyiriah biasa disebut dengan tukang imbau. Mereka akan membawa siriah langkok yang terdiri dari daun sirih, gambir, pinang dan sadah. Benda-benda ini merupakan undangan bagi kaum wanita. Sedangkangkan bagi kaum pria, benda yang dibawa sebagai lambang dari sebuah undangan adalah rokok.
Pada saat mengundang itu tukang imbau tidak hanya sekedar memberikan siriah dan rokok tadi. Akan tetapi ada kata-kata yang mesti diucapkannya, yaitu “kami dilapeh inyiak datuak ......... maimbau apak, ibuk, ipa, bisan, karik, kabia, sarato saisi rumah nanko untuak pai baralek ka rumah etek ............ pado hari ...........” Artinya “kami dilepas oleh inyiak datuak ........... mengundang bapak, ibuk, ipar, besan, karib, kerabat serta seluruh penghuni rumah ini untuk dapat hadir ke rumah ibuk ......... pada hari .........., kata-kata ini diucapkan ketika mengundang kaum perempuan dan laki-laki yang ada di luar suku orang yang punya hajat atau alek.
Terdapat perbedaan dalam memanggil urang sumando dan ipar dari sipangka (orang yang punya hajat). Mereka tidak diundang oleh tukang imbau dengan membawa siriah dan rokok. Akan tetapi untuk orang sumando akan diundang oleh mamak dari sipangka, sedangkan ipar akan diundang oleh etek dari sipangka. Dalam undangan akan dikatakan secara langsung tanpa meninggalkan siriah dan rokok.

3.      Tradisi Manyiriah sebelum tahun 1980-an.
Tradisi manyiriah pada era sebelum tahun 1980-an bisa dikatakan masih kental dengan keasliannya. Hal ini dapat kita lihat dari segi pakaian, benda-benda yang digunakan dan tata cara pelaksanaannya.
a.    Pakaian.
Pakaian yang digunakan oleh laki-laki dalam manyiriah adalah celana dasar, baju kemeja, peci hitam dan sarung yang dillitkan di pundak. Sedangkan untuk wanita menggunakan baju kuruang dengan jilbab. Hal ini menyiratkan islam sudah mengakar dalam tradisi masyarakat, sebagai sebuah keterikatan antara adat dan syarak, seperti mamangan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Hasanuddin, 42: 2013).

b.        Benda-benda yang digunakan.
Dalam manyiriah, untuk wanita tukang imbau membawa siriah langkok yang terdiri dari daun sirih, pinang, sadah dan gambir. Sedangkan untuk pria tukang imbau membawa rokok daun enau yang terdiri dari daun enau dan santo (tembakau). Bagi wanita yang ingin manyiriah (mengunyah sirih) , maka si tukang imbau akan langsung meramukannya untuk nantinya dikunyah oleh orang yang meminta.

c.         Tata cara pelaksanaan.
Pada era sebelum 80-an, orang yang menjadi tukang imbau adalah sepasang laki-laki dan sepasang perempuan. Dalam pelaksanaanya nati, laki-laki hanya bertugas untuk mengundang kaum laki-laki dan kaum perempuan hanya bertugas untuk mengundang kaum perempuan saja. Sebelum berangkat, mereka dilepas oleh orang-orang tua yang ada di rumah sialek tersebut.

4.      Tradisi Manyiriah setelah tahun 1980-an hingga sekarang.
Tradisi manyiriah pada era setelah tahun 1980-an sudah mulai bergeser dari keasliannya. Hal ini dapat kita lihat dari segi pakaian, benda-benda yang digunakan dan tata cara pelaksanaannya.
a.         Pakaian.
Pakaian yang digunakan oleh laki-laki dalam manyiriah pada masa ini adalah menggunakan celana dasar, baju kemeja, peci hitam dan sarung yang dillitkan di pundak. Sedangkan untuk wanita tidak ada lagi yang yang menggunakan baju kuruang mereka telah beralih pada pakaian yang berkembang sesuai dengan zaman, seperti kebaya. Hal ini bisa dimengerti selama tidak melanggar tahap kesopanan.

b.        Benda-benda yang digunakan.
Pada masa ini tetap siriah langkok tetap digunakan, akan tetapi yang ditinggalkan di rumah orang yang diundang tidak lagi sirih yang sudah diramu dengan kawanannya (sadah, pinang dan gambir), yang ditinggalkan hanya selembar sirih sebagai tanda. Untuk kaum pria, pada masa ini tidak lagi menggunakan rokok yang terbuat dari daun enau dan tembakau. Akan tetapi telah beralih kepada rokok kretek yang telah jadi, tanpa harus menggulungnya terlebih dahulu.

c.         Tata cara pelaksanaan.
Pada tahun-tahun setelah masa 80-an hingga sekarang, dari tata cara pelaksanaan manyiriah ada sedikit perubahan. Jika pada masa sebelum tahun 80-an perjalanan antara laki-laki dan perempuan dipisah dalam manyiriah. Maka pada masa ini manyiriah dilakukan secara berpasangan oleh tukang imbau tersebut.

Kesimpulan.
Setidaknya telah terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam dalam perantaraan tahun 1980-an pada tradisi manyiriah yang ada di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Perubahan itu terjadi dalam aspek gaya berpakaian, benda-benda yang digunakan dalam manyiriah dan tata cara manyiriah dari sendiri. Hal ini dikarenakan perkembangan zaman ke arah yang lebih maju serta fungsi dari beberapa benda yang digunakan untuk manyiriah tersebut.




Daftar Sumber

Buku
Hasanuddin, 2013. Adat dan Syarak Sumber Inspirasi dan Rujukan Dialektika Minangkabau. Padang: PSIKM Unand.
Navis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press.
Sjarifoedin Tj. A, Amir. 2011. Minangkabau dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Gria Media Prima. 
Wawancara:
Y. Datuak Tungga -71 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)
Sanijar -74 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)
Rosmanidar – 68 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)

Continue reading Tradisi Manyiriah di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang Kamang

Thursday, June 9, 2016

,

Menelusuri Jejak Megalitikum di Nagari Maek

Zaman Megalitikum (zaman batu besar) adalah zaman pra-sejarah dimana masyarakat telah mampu membuat dan mengembangkan kebudayaan yang terbuat dari batu besar. Pada zaman ini masyarakat sudah mengenal kepercayaan, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang mereka.
Di Minangkabau sendiri, tradisi Megalitikum dapat kita temui dalam bentuk menhir di Kenagarian Maek, Kecamatan Bukit barisan, Kabupaten Lima Puluh Kota, yang dapat ditempuh lebih kurang satu jam perjalanan dari pusat Kota Payakumbuh dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Menhir yang ada di Kenagarian Maek ini diperkirakan telah ada sejak 2400 tahun SM, yang mengindikasikan bahwa menhir ini termasuk kepada zaman Megalith Tua. Di nagari Maek ini terdapat banyak Menhir yang tersebar pada beberapa titik, salah satunya adalah di kawasan Bawah Parik, yang biasa dikenal dengan Menhir Bawah Parik.
Terdapat beberapa keunikan dari menhir yang ada di daerah ini, diataranya adalah dari bentuk dari menhir itu sendiri. Semua menhir yang ada di kawasan ini umumnya memiliki tampuk pada bagian atas yang kesemuanya mengarah ke Gunung Sago. Masyarakat dahulu mempercayai bahwa arwah yang telah dikubur di bawah menhir tersebut akan bolak-balik dari Gunung Sago dan kembali ke menhir.
Keunikan lainnya adalah ukiran-ukiran yang terdapat pada beberapa menhir. Pada menhir yang diukir dan memiliki ukuran besar merupakan makam pemimpin atau orang yang mempunyai kekuasaan. Sedangkan menhir yang berukuran kecil tidak memiliki ukiran diperkirakan makam orang biasa.
Ukiran-ukiran yang ada pada menhir itu diantaranya adalah jenis ukiran kaluak pakusaik kalamai, dan pucuak rabuang. Ukiran-ukiran tersebut ada yang diukir pada dua buah sisi menhir dan ada pula yang diukir disekelilingnya. Ukiran-ukiran tersebut diukir dengan cara yang unik sehingga memberikan nilai estetika tersendiri bagi menhir tersebut.
Dari semua keunikan yang ditemui pada situs ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau zaman Megalitikum (batu besar) sudah mengenal sistem pemerintahan dalam kelompok mereka. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan dari ukuran dan ukiran yang ada pada tiap-tiap menhir. Dilihat dari ukiran yang ada, mengindikasikan bahwa masyarakat sudah mengenal kesenian.
Continue reading Menelusuri Jejak Megalitikum di Nagari Maek

Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAKA) Sebagai Tokoh Pembaharuan di Minangkabau

Dalam perjalanannya, Minangkabau telah melalui zaman-zaman yang berbeda hingga akhirnya sampai pada zaman modern. Di ujung zaman penjajahan Belanda atau di akhir abad ke-19, di Minangkabau mulai bermunculan para tokoh-tokoh intelektual. Kehadiran para tokoh ini kemudian memunculkan pergolakan intelektual antara mereka yang membawa pemikiran baru dengan mereka yang masih mengamalkan pemikiran lama.
Perbedaan pemikiran dari para kaum intelektual yang biasanya berasal dari kalangan ulama ini kerap dikenal dengan istilah kaum muda dan kaum tua. Kaum tua adalah para tokoh yang masih mengamalkan segala sesuatu berdasarkan pengajaran dari guru dan nenek moyang mereka. Sedangkan kaum muda, selain penentang dari kaum tua mereka juga merupakan pembawa pemikiran modern tentang islam. Pembaharuan yang dibawa oleh para kaum muda secara tidak langsung merupakan pengaruh dari pergolakan pemikiran yang terjadi di Timur Tengah kala itu.
Salah seorang tokoh dari kaum muda yang begitu berpengaruh Minangkabau masa itu ialah Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Pemuda yang merupakan anak dari seorang ulama thariqat terpandang di Minangkabau. Anaknya kelak juga menjadi seorang ulama yang termasyhur di akhir abad ke-20.
Beberapa pemikiran beliau begitu berpengaruh dalam pergolakan intelektual islam di Minangkabau. Semua pemikiran beliau mulai berkembang di Minangkabau setelah kembalinya beliau dari Timur Tengah dalam Rangka menuntut ilmu.

Biografi Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
  1. Kelahiran.
Abdul Karim Amrullah (AKA) atau yang biasa kita kenal dengan panggilan Inyiak Dotor merupakan anak ke tiga dari pasangan Syekh Muhammad Amrullah dengan istrinya yang bernama Tarwasa. Beliau dilahirkan pada hari Ahad tanggal 17 Shaffar 1926 H yang bertepatan dengan tanggal 10 February 1879 Masehi. Tempat yang pertama kali menjadi saksi dari kelahiran beliau adalah sebuah kampung kecil di pinggiran Danau Maninjau, yaitu di Kepala Kabun Jorong Betung Panjang Nagari Sungai Batang Maninjau Agam (Hamka, 53: 1982).

  1. Riwayat Pendidikan.
Hamka dalam bukunya yang berjudul Ayahku menjelaskan satu bagaimana proses perjalanan AKA dalam menuntut ilmu. Mulai dari wilayah Minangkabau sampai nantinya ke Mekah. Di buku tersebut jelas disebutkan bahwa orang yang pertama kali menjadi guru beliau adalah Tuanku Haji Hud dan Tuanku Fakih Samnun. Kala AKA yang berumur 10 tahun diantar sendiri oleh pamannya yang bernama H. Abdussamad ke Dusun Sibalantai Tarusan, Painan.
Setelah setahun menuntut ilmu di Painan, beliau kembali ke Maninjau. Di maninjau beliau belajar menulis huruf Arab kepada Adam anak Tuanku Said. Di usia 13 tahun, beliau melanjutkan pelajaran Nahwu Sharaf kepada ayah beliau sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan belajar kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Disini beliau sampai menamatkan kitab Minhajut Thalibin karangan Imam Nawawi dan Tafsir Jalalein.
Sekembalinya beliau dari Sungai Rotan, Muhammad Amrullah (ayahnya) menyuruh beliau untuk melanjtkan pendidikan ke Mekah. Maka pada tanggal 1894 berlayarlah beliau menuju Mekah.di sana beliau berguru kepada beberapa ulama termahsyur, diantaranya: Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, Syekh Taher Jalaludin, Syekh Abdullah Jamidin, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Sa’id Yaman, dll.
Pada usia 23 tahun beliau kembali lagi ke Minangkabau. Kedatangan beliau membawa hawa baru bagi dunia keislaman. Tidak berapa lama beliau di rumah beliau diangkat menjadi Tuanku Syekh Nan Mudo, sedangkan ayahnya menjadi Tuanku Syekh Nan Tuo. Di sini beliau dinikahkan dengan seorang perempuan yang bernama Raihanah dan beroleh dua orang anak. Saat beliau kembali ke Mekah, Raihanah dan anak laki-lakinya meninggal dunia.
Sekembalinya beliau ke kampung, beliau langsung dinikahkan kembali dengan adik dari Raihanah yang bernama Shafiyah dan beroleh seorang anak laki-laki yang beliau namai Abdul Malik. Beliau pada akhirnya menutup usia pada hari sabtu tanggal 2 Juni 1945.

Pemikiran Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
Kondisi dunia islam ketika AKA menuntut ilmu di Mekah adalah sedang gencar-gencarnya dengan gerakan modernisme. Gerakan ini berawal dari buah pemik iran dari Jamaluddin Al-Afghani dan kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Abduh. Mengingat gencarnya gerakan ini, maka tidak diragukan lagi jika gerakan ini cepat menyebar ke berbagai daerah yang ada, termasuk pula Mekah.
Sekembalinya AKA dari Mekah, begitu banyak perubahan yang beliau bawa. Ketika kepulangan beliau yang pertama, beliau mulai menampakkan ketidaksukaannya kepada budaya keislaman masyarakat Minangkabau yang telah banyak jauh dari islam. Dari beberapa bid’ah dan khurafat yang dibantah, banyak para lebai masa itu yang merasa tersinggung dan sakit hati. Akan tetapi mereka tetap merasa segan terhadap ayah dari AKA.
Selain itu, beliau juga dikenal dengan seorang yang menentang tharikat, sekali pun ayahnya seorang ulama tharikat. Hal ini ditanggapi baik oleh ayahnya, karena beliau jugalah yang telah mengusulkan anaknya untuk berguru ke Mekah.
Lain dari pada itu, Pembaharuan yang beliau bawa mampu menumbuhkan semangat nasionalisme bagi seluruh ulama di Minangkabau. Hal ini terbukti ketika berkembangnya isu akan diterapkannya sistem Guru Ordonansi pada tahun 1928, yang mana sistem ini melarang para guru mengajarkan perihal agama di sekolah (Hamka, 166: 1982). Setelah diadakan pertemuan, akhirnya pidato beliau berhasil menyatukan semua ulama yang datang dari berbagai kalangan baik itu kaum muda maupun kaum muda.
Dari sekian perjalanan beliau ke luar daerah dan luar negeri membuat beliau berfikir untuk tidak lagi membesar-besarkan urusan yang remeh, seperti tidak lagi memperkarakan perihal Ushalli, talkin atau kenduri di rumah orang kematian (Hamka, 166: 1982). Selain itu beliau juga mulai menggalang persatuan diantara para ulama yang ada, dengan cara menghilangkan penyebutan kaum tua dan kaum tua. Bahkan ketika ditanyakan beliau termasuk pada kaum apa, beliau menjawab bahwa beliau kaum menuntut kebenaran.
Pemikiran beliau tentang pembaharuan banyak berada dalam bidang pendidikan. Pemikiran-pemikiran beliau banyak disampaikan di lembaga-lembaga pendidikan dengan berbagai metode yang juga berbeda dari sistem yang telah ada sebelumnya.
Pembaharuan itu ada dalam bidang kurikulum pendidikan, yaitu dengan dimasukkannya beberapa pelajaran umum. Pendidikan dilakukan berdasarkan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat. Selaiin itu tafsir-tafsir juga mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Begitu juga dengan khutbah jum’at yang selanjutnya juga mulai menggunakan bahasa Indonesia (Mansoer, 180: 1970).

Kesimpulan
Abdul Karim merupakan seorang pemuda kelahiran Maninjau dari latar belakang keluarga yang taat agama. Ayahnya Syekh Muhammad Amrullah atau Tuanku Syekh Nan Tuo merupakan seorang ulama thariqat. Pendidikan dasar ditempuhnya di Minangkabau dengan beberapa orang ulama, termasuk ayahnya sendiri. Setelah merasa cukup, Ayahnya, Syekh Muhammad Amrullah menyuruh beliau untuk melanjutkan pendidikan ke Mekah.
Dari berbagai perjalanan yang telah dilakukan oleh, AKA mulai memperoleh banyak pengetahuan dan ide-ide yang kemudian mulai dikembangkan di kampung halamannya. Sekali pun bertentangan dengan ulama-ulama tua, akan tetapi lama-kelamaan beliau berusaha untuk menyatukan seluruh ulama yang ada di Minangkabau. Beliau merupakan seorang ulama yang terbilang anti dengan beberapa kebijakan Belanda. Pembaharuan beliau lainnya banyak berada dalam bidang pendidikan. Pembaharuan ini beliau mulai beliau terapkan di lembaga pendidikan. Salah satunya adalah di Thawalib Padang Panjang.
Menjelang wafatnya pada awal juni 1945, beliau telah banyak meninggalkan beberapa peninggalan yang akan dirasakan sepanjang masa. Dengan kecerdasannya beliau kita kenal dengan panggilan Inyiak Dotor (Inyiak Dr.). beliau juga mendapat anugerah gerar Doktor Honoris Kausa, sehingganya nama beliau banyak ditulis menjadi DR. H. Abdul Karim Amrullah.

Daftar Kepustakaan
Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang. Pusat Pengkajian Islam dan Minagkabau.
Daya, Burhanudin. 1990. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hamka. 1982. Ayahku. Jakarta: Umminda.
Mansoer, MD, dkk. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhatara.

Continue reading Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAKA) Sebagai Tokoh Pembaharuan di Minangkabau

Harimau Nan Salapan, Dewan Revolusi Pemurnian Agama Islam di Luhak Agam

Kepulangan tiga orang pemuda Minangkabau dari Timur Tengah pada awal abad ke-19 adalah awal atau titik tolak dimulainya gerakan pemurnian agama islam di Minangkabau. Ketiga orang itu adalah Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik. Mereka pulang membawa pemikiran baru yang diilhami dari gerakan wahabi yang terjadi di Timur Tengah kala itu.
Kondisi keagamaan masyarakat Minangkabau sekembalinya mereka ke Minangkabau berada dalam keadaan yang kritis. Sebab, segala kegiatan dan perbuatan masyarakat masa itu telah jauh dari ajaran islam yang semestinya. Bahkan banyak dari perbuatan mereka yang telah melanggar pantangan agama. Seperti, menghisap madat (opium), berjudi, menyabung ayam, memakai sutra bagi laki-laki, minum-minuman keras dan lain-lain.
Hal inilah yang nantinya menjadi pemicu munculnya gerakan dari kaum agama yang menamakan gerakan mereka gerakan paderi. Gerakan ini awalnya hanya berorientasi sebagai wadah untuk mengembalikan kemurnian ajaran islam yang telah diselewengkan oleh masyarakat Minangkabau. Akan tetapi lama-kelamaan gerakan ini mulai berubah menjadi gerakan radikal yang tak pandang bulu. Segala tindakan mereka selalu dilandasi dengan Al-Quran dan Sunnah, sehingga mereka merasa wajar melakukan tindak kekerasan dalam memurnikan kembali ajaran Islam.
Setiap gerakan yang dilakukan oleh kaum paderi tidak selalu mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Oleh sebab itu selalu muncul perlawanan dari Kaum Adat. Kaum Adat ialah mereka yang menjadi sasaran dari Kaum Paderi dalam melakukan pemurnian agama islam. Gerakan pederi ini dilakoni oleh para ulama yang ada di Luhak Agam dengan menamai diri meraka Harimau Nan Salapan yang pergerakannya banyak berorientasi di daerah Luhak Agam.

Awal terbentuknya Harimau Nan Salapan.
Sebelum mulai terbentuknya gerakan paderi, sebenarnya gerakan pemurnian agama islam telah terlebih dahulu dilakukan oleh Tuanku Nan Tuo, seorang ulama termahsyur yang ada di daerah Ampek Angkek. Salah seorang murid beliau yang sangat gigih dalam pemurnian agama islam adalah Tuanku Nan Renceh. Dia adalah seorang ulama yang berasal dari daerah Kamang. Dalam gerakannya, Tuanku Nan Renceh cenderung bersikap keras.
Tuanku Nan Renceh sering mengajak Tuanku Nan Tuo untuk bergabung dengannya dalam memurnikan kembali ajaran islam. Akan tetapi beliau selalu menolak ajakan tersebut. Karena beliau sangat tidak setuju dengan gerakan yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceh yang bersifat keras atau radikal.
Adanya tawaran dari Tuanku Nan Renceh kepada Tuanku Nan Tuo dikarenakan beliau merupakan sosok yang termahsyur dan disegani oleh masyarakat, terutama di wilayah Agam. Dalam pergerakannya, Tuanku Nan Renceh membutuhkan seorang sosok yang akan menjadi tokoh di kalangan masyarakat. Hal ini berhubungan dengan masa yang akan didapatkan jika Tuanku Nan Tuo bergabung bersamanya (Amir Sjarifoedin: 2011)
Tokoh lain yang se-ide dengan Tuanku Nan Renceh adalah Haji Miskin. Beliau memulai gerakan di kampungnya sendiri, yaitu di daerah Pandai Sikek. Pada gerakan yang dilakukannya di Pandai Sikek, Haji Miskin ditentang oleh masyarakat. Untuk menghindari amukan dari masyarakat Pandai Sikek, maka Haji Miskin pindah ke daerah Koto Laweh. Di Koto Laweh, Haji Miskin bertemu dengan Tuanku Mansiangan Mudo, seorang ulama yang ayahnya Tuanku Mansiangan Tuo merupakan murid dari Syekh Burhanuddin Ulakkan. Selanjutnya, Haji Miskin mulai bergabung bersama Tuanku Nan Renceh yang ada di Kamang.
Karena gagal membujuk Tuanku Nan Tuo ikut dalam gerakannya, akhirnya melalui Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh berhasil mengajak Tuanku Mansiangan untuk ikut dalam gerakannya. Tuanku Mansiangan dikenal sebagai seorang ulama yang juga banyak disegani oleh masyarakat. Oleh sebab itu beliau diposisikan sebagai Imam Besar.
Pada tahun 1803, Tuanku Nan Renceh melakukan perkumpulan dengan beberapa orang ulama di Luhak Agam dan masyarakat Kamang. Dalam pertemuan itu Tuanku Nan Renceh mengumukan bahwa akan dimulainya Gerakan Paderi. Pada waktu itu pula dibentuklah Dewan Harimau Nan Salapan dengan Tuanku Nan Renceh sebagai penggagasnya, dibantu dengan tujuh orang ulama yang datang dari beberapa wilayah di Luhak Agam (Marjani Martamin: 1984)
Kedelapan Tuanku yang menjadi anggota Harimau Nan Salapan adalah:
  1. Tuanku Nan Renceh di Kamang.
  2. Tuanku di Kubu Sanang.
  3. Tuanku di Padang Lawas.
  4. Tuanku di Padang Luar.
  5. Tuanku di Galuang.
  6. Tuanku di Koto Amabalau.
  7. Tuanku di Lubuk Aur.
  8. Tuanku Haji Miskin.

Gerakan Harimau Nan Salapan.
Setelah berdirinya Dewan Harimau Nan Salapan pada tahun 1803, yang ditandai dengan berkumpulnya beberapa olang ulama di Kamang, maka dimulailah penyusunan rencana untuk menghabisi praktek bid’ah yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Untuk dapat melakukan pembersihan, kaum Paderi harus bisa merebut kekuasaan dari tangan para penghulu yang menjadi pemimpin masyarakat masa itu. Satu-satunya jalan untuk melakukan semua rencana tersebut adalah dengan cara kekerasan. Sebab, kaum adat tidak akan rela dan secara gampang menyerah pada kaum paderi.
Desas-desus tentang pembentukan Dewan Harimau Nan Salapan serta rencana yang telah disusun mulai terdengar ke luar daerah Kamang. Untuk menguji sejauh mana kesanggupan kaum paderi untuk berbuat kekerasan, maka para penghulu yang ada di daerah Bukik Batabuah (Lereng Gunung Merapi) sengaja melakukan semua hal yang yang sangat ditentang oleh kaum Paderi, seperti: judi, sabung ayam serta minum-minuman keras.
Hal ini sangat memancing kemarahan dari Kaum Paderi. Dengan segala perlengkapan yang ada, bergeraklah mereka ke daerah Bukik Batabuah untuk merealissasikan rencana yang telah mereka susun. Sesampainya disana, pertempuran tak dapat lagi dielakkan. Dalam pertempuran tersebut banyak korban yang berjatuhan di kedua belah pihak. Dengan dimulainya pertempuran di Bukik Batabuah, maka mulailah terjadi berbagai pertempuran hampir disemua daerah di Luhak Agam (Mardjani Martamin: 1984).
Dalam waktu yang lebih kurang satu tahun, Harimau Nan Salapan berhasil menguasai beberapa wilayah agam, seperti Matur, Canduang, Koto Lawas, Pandai Sikek (daerah lereng Gunung Merapi dan Singgalang), Bukit Pua (ujung utara lembah Agam), Padang Tarab dan Guguk, dengan Kamang sebagai pangkalan atau basis pertahanan (Amir Sjarifoedin: 2011).
Di daerah yang telah dikuasai, dibentuk pemerintahan agama dengan Tuanku Iman dan Tuanku Kadi, ulama pemimpin gerakan paderi setempat sebagai pimpinan. Mereka bertugas memberikan penerangan dan bimbingan tentang pembaharuan agama yang sedang dilakukan. Peraturan-peraturan baru diterapkan, seperti mengenakan pakaian putih, membotakkan kepala serta memelihara jenggot. Hal ini berfungsi sebagai tanda atau pembeda antara seorang pengikut pembaharuan dan pembeda dengan mereka yang belum menganut Paham Wahabi (Mansoer: 1970)
Penguasaan wilayah Agam dalam waktu yang relatif singkat oleh Gerakan Paderi yang dilakukan oleh Harimau Nan Salapan, dikarenakan wilayah Agam dikenal sebagai wilayah tempat bermukimnya ulama-ulama ternama, seperti Tuanku Nan Tuo dan Tuanku Mansiangan. Di sini peran penghulu sangat tipis, bahkan terkesan terhimpit oleh peran ulama (Amir Sjarifoeddin: 2011).

Kesimpulan
Gerakan Revolusi Harimau Nan Salapan ini didalangi oleh Tuanku Nan Renceh yang berada di Kamang. Gerakan ini merupakan gerakan yang bersifat radikal atau dilakukan dengan cara yang keras. Tuanku Nan Tuo sebagai seorang tokoh ulama di daerah Ampek Angkek sangat menentang gerakan ini. Sebab beliau beranggapan islam tak mesti disebarkan dengan jalan kekerasan.
Tuanku Nan Renceh menjadikan daerah Kamang sebagai basis pertahanan gerakannya. Hal ini dikarenakan kondisi beliau yang berasal dari Kamang dan awal dari pembentukan Dewan Harimau Nan Salapan juga di daerah Kamang. Dalam menguasai daerah Agam, mereka tidak membutuhkan waktu yang lama, terbukti dengan waktu lebih kurang setahun, beberapa wilayah yang ada di Luhak Agam berhasil mereka kuasai.
Mereka yang tergabung dalam Dewan Harimau Nan Salapan ini adalah: Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Padang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galuang, Tuanku di Koto Amabalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh sebagai otak pergerakannya. Tuanku Mansiangan diposisikan sebagai ketua Dewan atau organisator, akan tetapi beliau lebih menjadi seorang fasilitator yang nantinya berfungsi sebagai pendukung gerakan mereka.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minagkabau (PPIM)
Mansoer, M.D. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhatara.
Martamin, Mardjani. 1984. Tuanku Imam Bonjol. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jendral Sejarah dan Nilai Tradisional.
Sjarifoedin Tj. A, Amir. 2011. Minangkabau dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Griya Media Prima.
Yunus, Yulizal, Dkk. 2008. Beberapa Ulama di Sumatra Barat. Padang: Pemerintah Provinsi Sumatra Barat Dinas Parisata Seni dan Budaya UPTD Musium Adityawarman.
Wikipedia Indonesia. Perang Paderi
Continue reading Harimau Nan Salapan, Dewan Revolusi Pemurnian Agama Islam di Luhak Agam