Langit mulai diselimuti mendung ketika pompong yang merupakan
sebutan masyarakat Mentawai untuk sebuah sampan kecil berkapasitas tujuh orang
membelah Sungai Bat Oinan Puro.
Menyusuri Sungai Bat Oinan Puro
Di
kemudi, Nikodemus Sabulukkungan seorang pria paro baya tengah menuju lokasi
tempat pengolahan sagu di kawasan Dusun Puro, Desa Muara Siberut Kecamatan
Siberut Selatan, Mentawai Sumatera Barat.
Setelah
merapat, diantara pepohonan sagu yang menjulang ia mulai menatak sebuah pohon
sagu yang sudah tumbang. Dengan sebilah kapak, ia kemudian memisahkan antara
kulit dan isi pohon yang sebelumnya sudah dibagi menjadi potongan sepanjang
lebih kurang 70 sentimeter.
Gerimis
mulai turun ketika ia sibuk mempersiapkan sagu yang yang merupakan makanan
pokok masyarakat Mentawai untuk kemudian diparut menggunakan parutan
tradisional yang disebut dengan gagaji.
Setelah
selesai diparut menggunakan alat tradisonal gagaji, sagu tersebut kemudian
dibawa menuju dereat, sebuah alat pengolahan lainnya untuk kemudian dipisahkan
antara sari dan ampasnya.
Dereat
sendiri terdisi dari beberapa bagian, pada bagian paling atas terdapat sebuah
wadah bersegi empat tempat memeras sagu menggunakan air yang disebut
dengan karuk.
Menggunakan
timba dengan bahan pelepah sagu, Nikodemus menimba air ke dalam karuk agar sari
dari sagu ikut mengalir bersama air menuju ke saringan yang ada di bawahnya.
Tepat
di bawah saringan terdapat dedeibu, sebuah wadah berupa sampan kecil menampung
cucuran air disertai dengan sari dari parutan sagu yang sebelumnya sudah
diperas.
Sembari
tetap memeras sagu, ia menuturkan butuh waktu hingga dua jam agar sari pati
sagu dapat benar-benar berpisah dengan air perasan, setelahnya barulah
didapatkan sagu yang siap untuk dikonsumsi.
Nikodemus Sabulukkungan memisahkan antara kulit dan isi pohon sagu
Proses pemarutan isi pohon sagu mengunakan alat tradisional yang dikenal dengan sebutan gagaji
Mengumpulkan hasil parutan untuk selanjutnya dibawa ke dereat
Proses pemisahan pati dengan ampas sagu
Nikodemus memisahkan antara isi dan ampassagu pada alat pengolahan yang disebut dereat
Sagu
tersebut kemudian akan disimpan pada sebuah wadah yang terbuat dari daun sagu
berukuran panjang sekitar satu meter, dengan diameter sepanjang 25 sentimeter
yang disebut dengan tappri.
Vincent
Sabulukkungan yang kala itu ikut membantu Nikodemus mengolah sagu menyebutkan,
satu potongan sagu nantinya dapat mengisi penuh tappri untuk keperluan makan
selama satu satu bulan bagi sebuah keluarga kecil yang terdiri dari orang tua
dan satu anak.
Apabila
untuk keperluan sehari-hari maka pekerjaan mengolah sagu akan dilakukan oleh
anggota keluarga yang bersangkutan, sementara apabila sagu tersebut akan
dipergunakan untuk keperluan upacara adat, maka yang akan bekerja adalah kaum
laki-laki dari suku yang bersangkutan.
Menurutnya,
selama ini belum pernah ada orang Mentawai yang kelaparan dan kekurangan
makanan, sebab segala kebutuhan sudah disediakan oleh alam, seperti sagu yang
tumbuh subur dan melimpah ruah di sekitar mereka.
Bukannya
tidak pernah memakan nasi, Vincent menambahkan bahwa rata-rata orang Mentawai
sudah terbiasa mengkonsumsi sagu, bahkan bagi mereka sagu lebih tahan lama di
perut dari pada nasi.
Sementara
Nikodemus sibuk mengolah sagu, Agustinus Durai yang juga ikut dalam pengolahan
menambahkan, tidak semua sagu dapat diolah, ada batasan-batasan umur tertentu
agar sagu dapat ditebang untuk kemudian dijadikan tepung sagu.
Setidaknya
sagu harus berumur 17 tahun agar pohonnya benar-benar berisi untuk dapat
diolah, sebab pada umumnya batang sagu yang usianya di bawah batasan tersebut
belum terlalu berisi dan masih lunak untuk dapat diparut dan diolah.
Ia
menuturkan, setelah pohon sagu pada sebuah kawasan mulai berkurang, maka secara
otomatis masyarakat akan langsung menanam penggantinya sehinga persedian sagu
akan selalu ada untuk menunjang kehidupan masyarakat.
Nikodemus
hampir selesai memeras parutan sagu ketika Agustinus menyebutkan bahwa sagu
yang sudah diolah dapat bertahan dengan pengawetan alami.
Sagu
yang sudah disimpan di dalam tappri dan direndam dalam air dapat bertahan
hingga satu tahun, sehingga masyarakat tidak perlu pusing memikirkan persediaan
makanan.
Agustinus
menekankan bahwa kehidupan masyarakat Mentawai sangat bergantung pada alam,
apabila alam mulai rusak dan tumbuhan sagu mulai menipis maka masyarakat akan
mulai kesulitan untuk mendapatkan bahan makanan.
Untuk
dapat dikonsumsi, sagu yang sudah diolah menjadi tepung harus dimasak terlebih
dahulu dan dimasaknya juga memanfaatkan hasil alam.
Memasak
Sagu
Seusai
mengolah sagu, Nikodemus, Agustinus dan Vincent kembali mengarahkan pompong
miliknya kembali menuju Uma Sabulukkungan, Rumah adat khas mentawai kepunyaan
suku Sabulukkungan.
Di
dapur, tepat pada bagian belakang uma, beberpa orang wanita sibuk menyiapkan
beberapa bahan yang akan diolah. Selain sagu, di sekitar perapian atau tungku
beberapa batang bambu yang sudah dipotong-potong disandarkan untuk nantinya
digunakan sebagai wadah dalam memasak sagu.
Sembari
menghaluskan tepung sagu yang akan dimasak, Lidiana Sabulukkungan, wanita yang
tepat berumur setengah abad itu menceritakan bahwa hingga saat ini masyarakat
Mentawai masih memasak sagu menggunakan cara yang tradisional, yaitu memanggang
sagu di dalam bambu.
Setelah
mulai halus, Lidia kemudian memasukkan sagu ke dalam potongan-potongan bambu
untuk kemudian disangai di sekitar api yang sudah dinyalakannya di dalam
tungku.
Tidak
kurang dari 15 batang bambu berisi sagu berjejer menghadap api, ketika satu
sisi bambu mulai berubah warna, maka Lidia akan segera memutarnya sehingga
panas api dapat memasak sagu secara merata. Sagu yang dimasak dengan cara ini
disebut dengan sagu kaobbuk,
30
menit berlalu ketika seluruh bagian bambu mulai berubah warna kehitaman yang
menandakan sagu mulai masak sempurna, sambil mengganti sagu yang sudah masak
tersebut dengan sagu lainnya, ia menyebutkan bahwa sagu tidak hanya dapat
diolah dengan cara tesebut.
Sagu
kapurut, tidak jauh berbeda dengan sagu kaobbuk, sagu ini tetap dimasak dengan
cara dipanggang, akan tetapi tidak lagi menggunakan bambu melainkan daun sagu.
lebih
lanjut wanita yang sudah mulai berumur tersebut menjelaskan bahwa dalam memasak
sagu api yang digunakan tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh terlalu
kecil.
Jika
api yang digunakan terlalu besar maka sagu tidak akan matang dengan sempurna,
hanya bagian luarnya saja, sementara bagian dalamnya masih mentah, selain itu
jika api yang digunakan terlalu besar sagu juga bisa berubah rasa menjadi
pahit.
Tidak
terlalu sulit dan tidak terlalu gampang, begitulah Lidia menjelaskan bagaimana
cara memasak sagu. Untuk menambah cita rasa, sagu yang dimasak bisa saja
ditambah dengan menggunakan parutan kelapa atau gula.
Lidia
kemudian mencicipi sagu kapurut yang sudah matang, setelah dua kunyahan dia
bergumam bahwa sagu yang sudah masak ini nanti akan lebih nikmat jika dikonsumsi
dengan campuran ikan atau pun sayur-sayuran yang diambil dari ladang.
"Kami
belum pernah merasa kekurangan bahan makanan, sebab apa yang kami konsumsi
sudah disediakan oleh alam," tambahnya sembari melahap sagu yang telah
dimasaknya itu.
Lidiana Sabulukkungan menghaluskan sagu sebelum dimasak
Proses pemanggangangan sagu
Artikel ini pernah dimuat pada halaman Antara Sumbar.