Tulisan berikut merupakan review article
Dari Karya Adrian B Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan
Laut Sulawesi Abad XIX (Komunitas Bambu: 2009)
Adrian B Lapian merupakan ahli sejarah maritim yang hingga wafatnya pada
tahun 2011 menjadi seorang guru besar dan sejarawan di Universitas Indonesia
(UI) dan juga pernah menjadi Ahli Peneliti Utama LIPI tahun 1990-1994. Buku ini
merupakan disertasi doktoralnya dengan judul Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX
di Universitas Gajah Mada pada tahun 1987. Pada tahun 2009, dengan judul yang
sama buku ini kembali diterbitkan oleh penerbit Komunitas Bambu. Sebelum menekuni
sejarah ia pernah menjadi wartawan The Indonesian Observer pada tahun 1954-1957
serta juga pernah menjadi Kepala Seksi Sejarah Angkatan Laut dan Maritim Markas
Besar TNI Angkatan Laut tahun 1962 sampai 1965.
Sebagai ahli sejarah maritim, buku ini bukanlah satu-satunya karya
Adrian yang berbicara tentang lautan. Beberapa karya setelah disertasinya ialah
buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara
Abad ke 16 dan 17 pada tahun 2008. Selain itu pada tahun 2010 juga terbit For Better or Worse – Collected Essay on
Indonesian – Dutch Encounters.
Adrian B Lapian bisa dikatakan sebagai penggagas dari awal penulisan
sejarah maritim. Ia juga dikenal sebagai Nakhoda Pertama Sejarawan Maritim Asia
Tenggara yang digelari oleh sejarawan University Malaya, Shaharil Thalib.
Beberapa karya-karya tentang sejarah maritim pada beberapa waktu belakangan
tidak terlepas dari perannya yang mamulai untuk mendalami kajian ini. Adrian
mendalami kajian ini karena ia menganggap sejarah kawasan laut tidak kalah
penting dengan sejarah yang ada di daratan.
Didik Prajoko menyebutkan letak geografis kepulauan Indonesia yang
berada dalam jalur pelayaran dan perdagangan membuat wilayah ini menjadi tempat
persinggahan kapal-kapal asing. Salah satu tujuan mereka adalah wilayah timur
Indonesia seperti Maluku dan kawasan Nusa Tenggara. Untuk mencapai wilayah ini
para pelaut sering menggunakan jalur melalui Selat Malaka kemudian ke Selat
Karimata. Akan tetapi jalur melalui Laut Sulawesi juga bisa menjadi jalur
alternatif untuk mencapai wilayah-wilayah potensial rempah-rempah tersebut.
Pada abad XV hingga XIX menurut Didik kapal-kapal dagang asing yang
datang ke nusantara tidak ada ubahnya dengan kapal perang. Mereka membawa
perlengkapan perang yang canggih serta kapal yang sama sekali jauh di atas
kemampuan kapal-kapal tradisional yang ada di Nusantara. Dalam buku ini Adrian
menyebutkan kedatangan bangsa asing selanjutnya akan memberikan arah baru pada
sejarah kawasan Laut Sulawesi.
Adrian tidak menjelaskan secara langsung kepentingan dari kekuatan asing
yang ada di Laut Sulawesi. Ia hanya melihat keberadaan masyarakat lokal
berdasarkan catatan-catatan Belanda yang pernah melakukan kontak langsung
dengan mereka pada kisaran abad XIX. Hal ini barangkali karena kawasan Laut
Sulawesi yang menjadi jalur masuk bagi bangsa asing untuk menuju ke perairan
timur Nusantara. Terkait kepentingan untuk perdagangan, Supriyanto menyebutkan
Belanda dengan kongsi dagangnya yang dikenal dengan VOC sudah mulai menjelajahi
beberapa wilayah di Nusantara. Selain Belanda, Inggris juga mendatangi berbagai
pelabuhan guna melakukan perdagangan
dengan penduduk lokal dengan perusahaan dagangnya yang bernama East Indian
Company (EIC).
Sejarah pendudukan asing di Nusantara tidak hanya terbatas pada Belanda
dan Inggris saja. Akan tetapi beberapa negara barat juga pernah mendatangi
wilayah ini. Terlepas dari hal tersebut, Adrian mencoba merekonstruksi sejarah
masyarakat lokal. Sebab perjalanan bangsa asing ke nusantara seringkali menemui
benturan dari masyarakat lokal. Untuk wilayah Lautan Sulawesi mereka sering
mengalami kontak fisik atau perselisihan dengan para penguasa laut.
***
Dalam penelitian ini, Adrian mencoba menjelaskan kehidupan masyarakat di
kawasan Laut Sulawesi. Sebagian sumber yang digunakan merupakan catatan perjalanan
dari Bangsa Eropa yang pernah mengunjungi wilayah ini. Dia mengindentifikasi
keberadaan dan aktivitas masyarakat lokal berdasarkan catatan-catatan tersebut
dan mengiterprestasikannya dalam bentuk wacana kritis. Sekali pun menggunakan
sumber-sumber asing akan tetapi Adrian mencoba melihat fakta dari sudut pandang
yang berbeda, dalam istilah lain ia melihat peristiwa yang dituliskan bangsa
Eropa dari sudut pandang masyarakat lokal, sehingga mengurangi kesan
Eropasentris.
Dalam Bab pertama buku ini Adrian menjabarkan beberapa poin berupa
pendahuluan yang selanjutnya menjadi acuan dari penelitian yang ia lakukan.
Tidak dapat dipungkiri sebenarnya bahwa sumber-sember sejarah terhadap kajian
ini didominasi oleh catatan Belanda yang datang ke Nusantara, khususnya daerah
Laut Sulawesi. Pada beberapa arsip Belanda ditemukan catatan-catatan yang
membahas tentang Bajak Laut, hal ini mengindikasikan intensitas mereka cukup
aktif sehingga Belanda akhirnya menuliskan mereka dalam catatan. Selain itu
Adrian juga melihat bahwa dari penelitian-penelitian sebelumnya belum ada yang
membahas secara khusus bagaimana kondisi masyarakat yang tersebar di kawasan
Laut Sulawesi ini pada abad ke 19.
Bab dua selanjutnya membahas tentang Laut Sulawesi. Adrian menjabarkan
bagian-bagian yang termasuk ke dalam wilayah tersebut serta kondisi fisik
lautan yang saat ini berada antara bagian utara Sulawesi, bagian timur
Kalimantan (saat ini Malaisya) dan bagian selatan Kepulauan Filipina. Selain
itu ia juga menceritakan kebiasaan masyarakat yang hidup di kawasan kepulauan
ini. Sebagai masyarakat yang hidup di kawasan kepulauan tentunya akan
menjadikan laut sebagai sumber kehidupan.
Terkait riwayat tentang kawasan ini ia menjelaskan bahwa wilayah lautan
Sulawesi sudah didiami semenjak puluhan ribu tahun tahun yang lalu. Akan tetapi
dokumen tentang keberadaan orang asing baru ditemukan pada masa setelahnya, hal
ini ada pada catatan utusan Tiongkok yakni Kangdai dan Zhuying pada abad ke III
masehi. Pada zaman Dinasti Ming (1368-1644) juga disebutkan bahwa kerajaan ini
sudah menjalin hubungan dagang dengan beberapa wilayah yang ada di kawasan Laut
Sulawesi. Di wilayah ini, tepatnya di daerah Sulu sudah ada kerajaan yang
menganut ajaran Islam. Pada periode selanjutnya dijelaskan bahwa wilayah laut
Sulawesi mulai terkenal dengan kedatangan Bangsa Eropa, terutama Spanyol.
Pada bab III Adrian menjelaskan
tentang orang laut. Pembahasan tentang orang laut ini mengerucut pada
keberadaan kelompok masyarakat yang kehidupannya tidak bisa lepas dari laut
yang dikenal dengan Orang Bajau. Mereka adalah sekolompok masyarakat yang
megantungkan kehidupan di laut, bahkan mereka terkenal sebagai orang yang
sangat jarang turun ke daratan. Kehidupan Orang Bajau tidak terlepas dari
kebiasaan melaut sebagai nelayan untuk kepentingan melanjutkan hidup.
Keberadaan orang-orang Bajau menyebar hampir ke seluruh perairan di Nusantara. Di Wilayah Aceh terdapat tempat
yang bernama Labuhan Bajau dan di kawasan perairan Sulawesi juga ada sebuah
tempat yang bernama Labuan Bajo. Terkait perbedaan sebutan antara Bajo dan
Bajau tidak terlepas dari sebutan orang terhadap mereka, karena orang Bajo
menyebut diri mereka sebagai ‘Orang Sama’. Keberadaan mereka terlacak pada
beberapa daerah seperti Kepulauan Anambas, Kepulauan Sulu, serta wilayah
perairan Sulawesi.
Adrian menjelaskan sangat kecil kemungkinan bagi Orang Laut menjadi Bajak
Laut. Hal ini karena kebiasaan hidup mereka tidak ada yang mengindikasikan ke
arah tersebut. Orang Laut mencari harta hanya seperlunya, kehidupan mereka di
perahu yang relatif kecil tidak mengindikasikan mereka akan membutuhkan budak,
ditambah pula Orang Laut dikenal sebagai orang yang pemalu dan seringkali menghindari
kontak dengan orang luar. Sementara karakteristik Bajak Laut adalah kebalikan
dari mereka. Akan tetapi di kemudian hari masyarakat Bajau ada yang beralih
sebagai Bajak Laut karena berbagai faktor, di antaranya karena adanya
perlawanan terhadap pendatang yang masuk ke wilayah mereka, bagi yang menderita
kekalahan selanjutnya akan berada di bawah kekuasaan pihak yang menang. Hal inilah
yang kemudian menjadikan mereka Bajak Laut atau lebih tepatnya menjadi bawahan
dari Bajak Laut.
Bab IV selanjutnya membahas tentang Bajak Laut. Bajak Laut yang
disebutkan disini di antaranya merujuk pada masyarakat Bajau yang kemudian
beralih menjadi perompak, atau Bajak Laut. Ada beberapa Bajak Laut yang
tersebut di kawasan ini, di antaranya adalah Bajak Laut Papua, Bajak Laut
Tobelo, Bajak Laut Moro serta lanun. Keberadaan mereka sebagai Bajak Laut tidak
terlepas dari arti bajak laut itu sendiri, yaitu menyerang pihak lain di tengah
laut kemudian menjarah harta benda serta manusianya yang kemudian dijadikan
sebagai budak.
Sementara itu lanun adalah kelompok yang mendiami daerah Sulu seperti
Tausug dan Samal. Selain itu di kawasan Filipina Selatan ini juga dikenal orang
Mangindano yang juga diartikan sebagai bajak laut. Pada abad XIX juga muncul
Bajak Laut yang dikenal dengan sebutan Balangingi, sebutan ini mengacu pada
nama sebuah pulau dari gugusan Samales daerah Sulu.
Pada bab V pada buku ini Adrian menjelaskan tentang Raja Laut yang ada
pada sistem pemerintahan kerajaan atau kesultanan yang ada di kawasan Laut
Sulawesi. Raja Laut adalah sebuah jabatan yang dipercayakan kepada kerabat raja
atau sultan untuk mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan laut.
Beberapa hal yang diurusnya adalah masalah pelayaran, perdagangan, serta
kekuatan armada laut yang ada di wilayah kekuasaannya. Selain Raja Laut, pada
beberapa daerah lainnya juga dikenal istilah Kapitan Laut dengan fungsi yang
sama.
Akan tetapi tidak sedikit pula wilayah yang tetap memiliki Raja Laut hanya
sebagai formalitas. Salah satunya adalah di Bacan, masyarakat yang ada tidak
memungkinkan untuk menyusun sebuah kekuatan laut, akan tetapi keberadaan Raja
Laut tetap dipertahankan sebagai sebuah jabatan formalitas belaka. Raja Laut
ini ada pada setiap kerajaan maritim yang ada di kawasan laut Sulawesi seperti
di Sulu, Maguindanao, Sulawesi bagian Utara, Kalimantan Utara Bagian Barat
serta wilayah Maluku Utara.
Pada perkembangannya dalam rentang abad XVI hingga XIX posisi Raja Laut
lokal mulai tergantikan oleh kekuasaan asing yang mencoba untuk mengambil alih
kekuasaan laut di kawasan ini. Perlengkapan perang dengan kapal yang mendukung
untuk perperangan membuat keberadaan Raja Laut mulai terdesak. Beberapa
kekuatan tersebut diawali oleh Spanyol kemudian dilanjutkan oleh Belanda dan
Inggris. Belakangan juga datang beberapa kekuatan lain seperti dari Perancis
dan Austria, Jerman dan Amerika Serikat.
Keberadaan Raja Laut asing ini pulalah yang kemudian mulai mengahabisi
Bajak Laut. Pada catatan Belanda disebutkan bahwa mereka sering berhadapan
dengan para Bajak Laut. Bahkan tidak jarang pula mereka melakukan pengejaran
terhadap kelompok-kelompok Bajak Laut yang tersebar di kawasan ini.
***
Kesimpulan yang diambil oleh Adrian dari penelitian ini adalah masyarakat
yang ada di kawasan Laut Sulawesi dapat dibagi pada tiga kelompok. Ketiga
kelompok ini adalah Orang Laut, Bajak Laut dan Raja Laut. Dari segi organisasi,
Orang Laut adalah kelompok yang masih berada pada tingkatan awal. Kepentingan
mereka hanya untuk bertahan hidup dengan bergantung pada lautan. Pada suatu
ketika mereka akan bekerjasama dengan dua kelompok lainnya, yaitu Bajak Laut
atau Raja Laut. Tergantung kekuatan mana yang lebih berkuasa.
Sementara itu Bajak Laut adalah sebuah kelompok yang organisasinya sudah
cukup mapan. Mereka menjarah serta merampok siapa saja yang melintas di wilayah
kekuasaannya. Para Bajak Laut yang ada di kawasan ini sering kali berbenturan
dengan Raja Laut, akan tetapi di kemudian hari keberadaan mereka mulai berangsur
hilang ketika munculnya kekuatan asing dengan persenjataan dan kapal yang lebih
canggih. Di wilayah Selatan Filipina terdapat sedikit perbedaan, sebab Spanyol
maupun Belanda sering berhadapan dengan pasukan laut Bangsa Moro, sehingga
Belanda mencatat mereka sebagai Bajak Laut.
Sementara itu Raja Laut merupakan posisi bagi seorang yang memegang
kekuasaan penuh terhadap laut. Mereka berasal dari kerajaan-kerajaan lokal yang
tersebar di seluruh perairan Laut Sulawesi. Dalam perkembangannya posisi Raja
Laut lokal mulai terdesak dan bahkan kehilangan taji dengan kedatangan bangsa
asing yang datang dengan kekuatan yang lebih besar dan canggih, hingga kemudian
mereka menguasai laut di kawasan ini.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Asnan, Gusti “Sejarah Perkembangan Nama Teluk Tomini di
Pulau Sulawesi” Jurnal IKAHIMSI, Edisi 1, No. 2, 2011.
Nur, Mhd “Diaspora Orang-orang Bugis Makassar Di
Surabaya Abad XV-XX” Jurnal IKAHIMSI, Edisi 1, No. 2, 2011.
Poelinggomang,
Edward L “Padewakang dan Pinisi: KAJIAN
Kemaritiman Sulawesi Selatan” Jurnal IKAHIMSI, Edisi 1, No. 2, 2011.
Pradjoko, Didik
dan Friska Indah Kartika. Pelayaran dan
Perdagangan Kawasan Laut Sawu Abad ke 18 Awal Abad ke 20. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra, 2014.
Pradadimara,
Diaz “Kejayaan Budaya Maritim Di Pantai
Utara Jawa dan Refleksi Membangun Indonesia Sebagai Negara Bahari: Menyambung
Mata Rantai Yang Putus” Jurnal IKAHIMSI, Edisi 1, No. 2, 2011.
Sairin, Mohammad
“Budaya Maritim Dan Permasalahan
Pendidikan: Studi Kasus Indramayu” Jurnal IKAHIMSI, Edisi 1, No. 2, 2011.
Supriyanto. Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan
Palembang 1824-1864. Yogyakarta: Ombak, 2013.
0 comments:
Post a Comment
Komennya harap yang Sopan ^_^