Tuesday, June 4, 2024

Pagadih, Nagari Eksotis di Belantara Bukit Barisan


Rumah Gadang di Nagari Pagadih (Syahrul R/2024)


Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang 20 menit, akhirnya minibus yang saya tumpangi berhenti di Palupuah. Kedatangan saya disambut Madrid, seorang kawan yang akan membawa saya menuju Pagadih, nagari yang berada cukup jauh dari jalan Lintas Sumatera tersebut. Sore itu, Jumat 25 Desember 2020, menggunakan sebuah sepeda motor matic, kami memulai perjalanan ke Pagadih, nagari yang pernah saya kunjungi beberapa tahun lalu.

 

Secara administratif, Pagadih merupakan nagari (desa adat) yang berada di Kecamatan Palupuah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Untuk mencapainya, terdapat dua alternatif jalan yang dapat dilalui. Pertama melalui Jalan Lintas Sumatera melewati Nagari Pasia Laweh Kecamatan Palupuah, dan kedua melalui Kecamatan Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota.

 

Sepanjang perjalanan, saya disuguhi pemandangan hamparan sawah yang menghijau hingga ke kaki bukit. Separo perjalanan, tepat di sisi kanan jalan di daerah Sungai Guntuang, sebuah air terjun bertingkat tiga tampak mencolok di tengah hijau pepohonan, membuat siapa pun yang melewatinya tertarik singgah untuk mengambil beberapa foto. Memasuki Nagari Pagadih, kami mulai menempuh jalan berbatu, belum seluruh jalan dilapisi aspal, proyek jalur alternatif yang direncanakan melewati daerah itu belum rampung.

 

Suasana Pagi di Nagari Pagadih (Syahrul R/2020)


Menjelang Maghrib, kami mulai bertemu dengan rumah pertama di Nagari Pagadih. Lampu-lampu mulai hidup dari teras dan rumah masyarakat. Suasana jelang malam di nagari tersebut diiringi suara azan yang sayup-sayup tertiup angin dan tingkahi suara serangga uwir-uwir. Madrid menghentikan motornya di sebuah rumah, kami disambut sejumlah orang, saya bersalaman dengan seorang pria berusia lebih dari 60 tahun, yang kemudian kami panggil Pak Tuo.

 

Selepas Shalat Maghrib, bersama seluruh anggota keluarga, kami menyantap hidangan makan malam yang sudah dihidangkan. Selepas makan, sembari melinting tembakau, barulah dimulai percakapan-percakapan kecil. Dari perkenalan singkat, saya ketahui bahwa Pak Tuo memiliki nama lengkap Syamsurijal Datuak Basa. gelar datuak yang disandang di belakang nama menjadi tanda bahwa beliau adalah penghulu suku atau tokoh adat yang dituakan di nagari tersebut.

 

Malam itu suasana begitu cair, disertai candaan, kami bercerita tentang pekerjaan yang saya lakoni, tentang Nagari Pgadih, mulai dari alam, masyarakat, tradisi hingga penggalan-penggalan sejarah yang masih lekat di ingatan beliau. Malam itu adalah kali pertama saya menjejakkan kaki di rumah tersebut dan juga berkenalan dengan Pak Tuo, akan tetapi ada rasa bahwa saya sudah berkenalan lama. Saya bahkan tidak merasa sebagai pendatang atau pun orang asing pada momen tersebut.

 

Barangkali, sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat untuk menyambut baik setiap tamu yang datang dengan niat baik, setidaknya itulah yang saya fikirkan ketika itu. Kebiasaan seperti ini saya fikir akan lazim ditemui pada perkampungan-perkampungan tradisional di Minangkabau. Maka tersesatlah di perkampungan orang Minang dan temukan keluarga baru.


Pak Tuo Syamsurijal Datuak Basa (kanan) Bermain Talempong Pacik (Syahrul R/2020)

 

Pagi di Bukit Tontong

Esoknya, Sabtu pagi, saya memutuskan untuk naik ke Bukit Tontong. Salah satu bukit tertinggi di nagari itu yang memiliki hamparan pemandangan ke arah Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya Koto Tinggi, daerah yang menjadi bagian penting dari sejarah Indonesia. Sekitar pukul 06.30 WIB, saya dan Madrid ditemani oleh Ihsan, seorang anak Pagadih yang cukup mengenal hutan di daerah tersebut. Sekalipun sudah cukup kesiangan untuk tujuan mengambil foto, tapi tidak menyurutkan niat kami untuk melihat Pagadih dan Koto Tinggi dari ketinggian.

 

Kabut tipis sudah mulai meninggalkan pucuk pepohonan di perkampungan itu, kami baru sampai separo jalan, hamparan hijau pepohonan, petak-petak sawah, serta rumah berkelompok-kelompok pada sejumlah titik menjadi pemandangan luar biasa pagi itu. Dari balik pebukitan, cahaya menyirami atap-atap rumah warga, asap yang mengepul dari dapur semakin terlihat putih terang diterpa sinar matahari pagi. Beberapa masyarakat mulai beraktifitas, melintas di sepanjang jalan berbatu yang membelah perkampungan.


Pemandangan Jorong Pagadih Mudiak dari Bukik Tontong (Syahrul R/2020)

 

Setelah mengambil sejumlah foto, kami melanjutkan perjalanan ke puncak bukit. Tanjakan menuju puncak Bukit Tontong cukup menguras energi, hanya saja hal tersebut terasa sirna setelah sampai di puncak. Seketika, mata akan dimanjakan oleh hamparan berlapis-lapis bukit yang membentang jauh hingga ke kaki langit. Pada beberapa titik, sejumlah rumah berdiri berkelompok, sawah yang bertingkat-tingkat, hingga ladang yang berada di pinggang-pinggang bukit. Koto Tinggi terlihat tidak kalah indah dari pada Pagadih.

 

Dari ketinggian Bukit Tontong, satu bangunan di daerah Koto Tinggi begitu mencuri perhatian, yaitu Bangunan Museum PDRI. Museum tersebut sengaja dibangun di daerah tersebut sebagai pengingat bahwa Koto Tinggi merupakan salah satu daerah yang menjadi lokasi penting pada masa mempertahankan kemerdekaan RI semasa Agresi Militer Belanda II dengan Mr. Syafroedin Prawiranegara sebagai tokoh sentralnya kala itu.


Tidak hanya pemandangan kampung dari ketinggian, atau pun hamparan pesawahan serta beberapa rumah gadang dengan atapnya yang runcing menjulang, Pagadih juga punya sebuah air terjun yang mempesona. Berada di belantara Bukit Barisan dan gugusan kars atau bukit kapur, menjadi salah satu alasan kenapa terdapat sejumlah goa atau ceruk di daerah ini. Salah satu goa yang cukup dikenal adalah Goa Tuanku Imam Bonjol, penamaan ini berkaitan dengan sosok Tuanku Imam Bonjol yang terkenal sebagai pejuang pada masa Perang Paderi di masa lalu.


Sejumlah Anak Nagari Pagadih (Syahrul R/2020)

 

Terlibat Tiga Peristiwa Bersejarah di Minangkabau 

Perbincangan saya bersama Pak Tuo Datuak Basa, diketahui bahwasanya Pagadih berawal dari adanya migrasi Masyarakat dari daerah Kamang. Rombongan masyarakat yang dipimpin oleh beberapa tokoh adat tersebut kemudian manaruko (membuka lahan) ke arah utara, tepatnya Pagadih saat ini.

 

Sebagaimana Minangkabau pada umunya, Minangkabau terlibat dalam tiga persitiwa besar, pertama Gerakan dan Perang Paderi pada awal abad ke-19 Masehi. Kedua adalah gerakan mempertahankan kemerdekaan RI pada masa Agresi Militer Belanda II yang dimulai dari akhir tahun 1948 yang dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Terakhir adalah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958.

 

Pada kunjungan ke Pagadih, saya sempat berbincang dengan salah seorang masyarakat yang memiliki sejumlah naskah kuno, Ujang Karitiang. Ia memiliki sejumlah naskah, dua diantaranya adalah naskah tambo alam Minangkabau yang ditulis dengan aksara Arab Melayu dan satu lainnya adalah naskah tentang Perang Paderi. Sayangnya, pada kunjungan tersebut saya belum berkesempatan melihat naskah secara langsung.

 

Selain itu, keberadaan Goa Imam Bonjol setidaknya menjadi salah satu bukti yang tidak dapat diabaikan terkait peristiwa Paderi di masa lalu. Sekalipun tidak ditemukan artefak, setidaknya penamaan goa tersebut berkaitan dengan memori kolektif yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

 

Terkait Peristiwa PDRI, Ujang Karitiang menuturkan bahwa terdapat beberapa tinggalan yang saat ini ada di nagari tersebut. Dua benda yang dipercaya sebagai benda yang dulunya adalah benda-benda yang digunakan oleh Mr. Syafroeddin adalah sebuah teropong dan tongkat.

 

Selain itu, Bukit Tontong juga menjadi bagian dari peristiwa tersebut. Berdasarkan tuturan masyarakat, sejarah penamaan Bukit Tontong berkaitan dengan Peristiwa PDRI, dimana bukit tersebut merupakan lokasi untuk mengintai pergerakan Belanda. Ketika Belanda terpantau akan memasuki perkampungan, maka dari bukit tersebut akan dikirim sinyal peringatan dengan menggunakan kentongan dengan bunyi 'tong tong tong tong'.

 

Begitu juga dengan PRRI, atau bagi masyarakat lokal dikenal dengan sebutan Peri Peri. Pagadih juga menjadi salah satu daerah yang tidak luput dari peristiwa tersebut. Penggalan-penggalan peristiwa tersebut masih teringat oleh beberapa masyarakat yang sudah berumur di Pagadih. Salah satunya pernah saya dengar dari almarhum Antan (kakek) Madrid, ketika berkunjung beberapa tahun lalu.


(Syahrul R/2020)


Pagadih adalah salah satu dari banyak desa yang memiliki banyak daya tarik di Minangkabau. Selain menyajikan lanskap alam yang memanjakan mata, aktifitas dan keramahan masyarakat menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan. Tidak hanya itu, beberapa peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di daerah ini menjadi nilai tambah untuk menjadikan Pagadih sebagai sebuah nagari nan eksotis.****



*Artikel ini pernah dipublikasikan di halaman cerano.id pada Januari 2021


Continue reading Pagadih, Nagari Eksotis di Belantara Bukit Barisan
,

Anak Tambua Nagari Pagadih, dari Gelanggang ke Gelanggang


(Syahrul R/2020)

Langit terlihat cerah malam itu, sejumlah bintang timbul tenggelam di balik awan tipis yang bergerak pelan. Kerlip bintang begitu kentara dalam pekat malam, bohlam lampu lima watt bercahaya redup di teras-teras rumah. Dari kejauhan, dentuman gendang kulit bertalu-talu memecah sunyi.

 

Sebuah rumah di Jorong Pagadih Mudiak Nagari Pagadih Kecamatan Palupuah Kabupaten Agam Sumatera Barat malam itu begitu ramai. Puluhan pasang mata tertuju pada sejumlah anak yang asik menabuh tambua (alat musik tradisional Minang berupa gendang dari kulit). Dentuman gendang itu semarak di tengah tingkah tasa yang pukul menggunakan sepasang rotan.

 

Siang sebelumnya, sebuah pesta pernikahan baru dilangsungkan di rumah tersebut. Arak-arakan pengantin di jalanan kampung berbatu disemarakkan oleh Anak Tambua (pemain musik tambua). Seolah tidak puas sekedar ditemani dalam arak-arakan, malam itu Anak Tambua kembali unjuk kebolehan, dalam ritme yang mereka ciptakan sendiri, anak-anak usia sekolah itu pun ikut hanyut dalam alunan perkusi.

 

Sudah hampir tengah malam ketika dentuman terakhir bergema di langit Pagadih. Penonton bertepuk tangan, senyum sumringah terpancar dari wajah-wajah muda itu ketika mereka perlahan menurunkan tambua dari gendongan. Setelah menyantap hidangan yang disediakan tuan rumah, mereka bersiap kembali ke rumah masing-masing, esok masih ada alek (pesta) yang harus dimeriahkan.

 

"Stick tambua jangan sampai hilang!" Madrid, pria 27 tahun yang menjadi pelatih tambua kembali memperingati mereka, pasalnya, pada Sabtu 26 Desember 2020, masih ada pesta pernikahan lain yang harus dimeriahkan.

 

Esoknya, matahari sudah naik sepenggalah, hawa dingin perkampungan yang ada di belantara Bukit Barisan masih terasa di permukaan kulit. Api unggun kecil dihidupkan di halaman sebuah rumah, tidak jauh dari bangunan serba guna tempat alat-alat musik itu disimpan. Bukan manusia, unggun kecil itu dikelilingi sejumlah tambua yang pada malam sebelumnya ditabuh tanpa ampun.

 

Bukan tanpa sebab, kulit binatang yang menjadi sumber bunyi pada alat musik pukul itu perlu dipanaskan untuk kembali memiliki suara nyaring ketika ditabuh. Udara dingin dan lembab di daerah itu membuat kulit pada tambua jadi melempem. Sehingga menyangai dengan api menjadi salah satu pilihan untuk membuatnya kembali tegang dan bersuara nyaring.

 

Tidak kurang dari sepuluh orang anak sudah berkumpul pagi itu, mereka berebut memilih setelan yang akan digunakan untuk tampil. Sarawa Galembong, baju hitam, destar, serta ikat pinggang dari kain songket berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Setelah berpakaian, mereka mulai bertolak menuju rumah tempat anak daro jo marapulai (pengantin) diarak pagi itu.

 

Sebuah pesta pernikahan kembali semarak dengan iringan musik tradisional tambua. Sebelum berhenti, sebuah pertunjukan singkat pun ditampilkan, Azis, bocah kelas tiga sekolah dasar ikut unjuk kebolehan. Tangan kecilnya mahir mengayunkan stick ke permukaan tambua, sementara tubuhnya hanya dua kali tinggi tambua. Tingkah tasa, alunan pupuik sarunai (serunai) dan juga melodi talempong pacik menggema di perkampungan.

 

Tidak sampai di situ, esoknya adalah pertunjukan terakhir mereka di tahun 2020. Bukan lagi pesta perkawinan, alek yang lebih besar menunggu mereka, yakni perayaan khatam al-Quran. Salah satu perayaan besar dalam skala nagari di Minangkabau.

 

Minggu pagi di penghujung Bulan Desember, tambua kembali bertalu-talu di Nagari Pagadih. Arak-arakan menempuh jalanan berbatu, ratusan pasang mata tertuju pada barisan peserta khatam al-Quran yang kerap disebut angku haji serta anak tambua yang berada di barisan belakang. Sebelum berhenti, sebuah pertunjukan singkat kembali dipertontonkan, terik matahari tidak mengurangi semangat para anak tambua menyuguhkan hiburan kepada masyarakat yang berdiri mengelilingi mereka.

 

Sanggar Seni Sarasah Maimbau saat mengiringi perayaan khatam Al-Quran (Syahrul R/2020)

 

Membangkitkan Kesenian Tradisi

 

Belum lama ketika Madrid kembali ke kampung kelahiran orang tuanya itu, berbekal pengalaman semasa kuliah di unit kegiatan mahasiswa yang bergerak di bidang kesenian, ia mencoba menghidupkan kembali kesenian anak nagari. Terhitung semenjak Agustus 2020 ketika ia memulai itu semua, bersama sejumlah orang, ia mengumpulkan kembali anak-anak untuk diajak berlatih kesenian, mulai dari musik hingga tari.

 

Ihsan (15), seorang siswa SMP adalah salah satu anak yang tertarik untuk berlatih. Baginya, bermain musik tradisi menjadi salah satu hiburan dalam mengisi waktu luang. Berbeda dengan anak-anak seusianya di daerah lain, Ihsan bersama anak-anak yang besar di Pagadih tidak begitu akrab dengan games yang ada di gadget atau smastphone. Keterbatasan akses telekomunikasi ke daerah tersebut menjadi salah satu alasan mengapa interaksi sosial secara langsung menjadi hal biasa di Nagari Pagadih.

 

Tidak hanya Ihsan, Azis (9) adalah anak lain yang juga ikut bergabung dalam Sanggar Seni Sarasah Maimbau. Dapat dikatakan ia adalah anggota termuda yang ikut belajar untuk menabuh alat musik tradisi tersebut. Baginya, belajar tambua adalah hiburan dan juga permainan.

 

"Bang, latihan wak lai," ajak Azis kepada Madrid ketika saya baru menginjakkan kaki di nagari Pagadih. Ajakan untuk latihan itu disampaikannya secara berulang-ulang, sampai akhirnya Madrid beranjak dari duduknya.


Bagi Ihsan, Azis dan belasan anak lain, belajar tambua hingga tampil pada berbagai kegiatan di nagari menjadi sebuah prestasi tersendiri. Tidak ada embel-embel finasial di sini, sebab pada setiap penampilan mereka hanya dibayar seadanya, tergantung kemampuan dari pihak yang mengundang.


"Sebagian uang tersebut disimpan sebagai kas, sebagian lainnya dipakai untuk membakar ikan bersama anak-anak sanggar," ujar Madrid.

Penampilan Sanggar Seni Sarah Maimbau (Syahrul R/2020)



*Artikel ini pernah dipublikasikan di halaman cerano.id pada Januari 2021


Continue reading Anak Tambua Nagari Pagadih, dari Gelanggang ke Gelanggang