(Syahrul R/2020) |
Langit terlihat cerah malam itu, sejumlah
bintang timbul tenggelam di balik awan tipis yang bergerak pelan. Kerlip
bintang begitu kentara dalam pekat malam, bohlam lampu lima watt bercahaya
redup di teras-teras rumah. Dari kejauhan, dentuman gendang kulit bertalu-talu
memecah sunyi.
Sebuah rumah di Jorong Pagadih Mudiak
Nagari Pagadih Kecamatan Palupuah Kabupaten Agam Sumatera Barat malam itu
begitu ramai. Puluhan pasang mata tertuju pada sejumlah anak yang asik menabuh
tambua (alat musik tradisional Minang berupa gendang dari kulit). Dentuman
gendang itu semarak di tengah tingkah
tasa yang pukul menggunakan sepasang rotan.
Siang sebelumnya, sebuah pesta pernikahan baru
dilangsungkan di rumah tersebut. Arak-arakan pengantin di jalanan kampung
berbatu disemarakkan oleh Anak Tambua (pemain musik tambua). Seolah tidak puas
sekedar ditemani dalam arak-arakan, malam itu Anak Tambua kembali unjuk
kebolehan, dalam ritme yang mereka ciptakan sendiri, anak-anak usia sekolah itu
pun ikut hanyut dalam alunan perkusi.
Sudah hampir tengah malam ketika dentuman
terakhir bergema di langit Pagadih. Penonton bertepuk tangan, senyum sumringah
terpancar dari wajah-wajah muda itu ketika mereka perlahan menurunkan tambua
dari gendongan. Setelah menyantap hidangan yang disediakan tuan rumah, mereka
bersiap kembali ke rumah masing-masing, esok masih ada alek (pesta) yang harus dimeriahkan.
"Stick tambua jangan sampai
hilang!" Madrid, pria 27 tahun yang menjadi pelatih tambua kembali
memperingati mereka, pasalnya, pada Sabtu 26 Desember 2020, masih ada pesta
pernikahan lain yang harus dimeriahkan.
Esoknya, matahari sudah naik sepenggalah,
hawa dingin perkampungan yang ada di belantara Bukit Barisan masih terasa di
permukaan kulit. Api unggun kecil dihidupkan di halaman sebuah rumah, tidak
jauh dari bangunan serba guna tempat alat-alat musik itu disimpan. Bukan
manusia, unggun kecil itu dikelilingi sejumlah tambua yang pada malam
sebelumnya ditabuh tanpa ampun.
Bukan tanpa sebab, kulit binatang yang
menjadi sumber bunyi pada alat musik pukul itu perlu dipanaskan untuk kembali
memiliki suara nyaring ketika ditabuh. Udara dingin dan lembab di daerah itu membuat
kulit pada tambua jadi melempem. Sehingga menyangai dengan api menjadi salah
satu pilihan untuk membuatnya kembali tegang dan bersuara nyaring.
Tidak kurang dari sepuluh orang anak sudah
berkumpul pagi itu, mereka berebut memilih setelan yang akan digunakan untuk
tampil. Sarawa Galembong, baju hitam, destar, serta ikat pinggang dari kain
songket berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Setelah berpakaian, mereka
mulai bertolak menuju rumah tempat anak
daro jo marapulai (pengantin) diarak pagi itu.
Sebuah pesta pernikahan kembali semarak
dengan iringan musik tradisional tambua. Sebelum berhenti, sebuah pertunjukan
singkat pun ditampilkan, Azis, bocah kelas tiga sekolah dasar ikut unjuk
kebolehan. Tangan kecilnya mahir mengayunkan stick ke permukaan tambua, sementara
tubuhnya hanya dua kali tinggi tambua. Tingkah tasa, alunan pupuik sarunai
(serunai) dan juga melodi talempong pacik menggema di perkampungan.
Tidak sampai di situ, esoknya adalah
pertunjukan terakhir mereka di tahun 2020. Bukan lagi pesta perkawinan, alek
yang lebih besar menunggu mereka, yakni perayaan khatam al-Quran. Salah satu
perayaan besar dalam skala nagari di Minangkabau.
Minggu pagi di penghujung Bulan Desember,
tambua kembali bertalu-talu di Nagari Pagadih. Arak-arakan menempuh jalanan
berbatu, ratusan pasang mata tertuju pada barisan peserta khatam al-Quran yang
kerap disebut angku haji serta anak
tambua yang berada di barisan belakang. Sebelum berhenti, sebuah pertunjukan
singkat kembali dipertontonkan, terik matahari tidak mengurangi semangat para
anak tambua menyuguhkan hiburan kepada masyarakat yang berdiri mengelilingi
mereka.
Sanggar Seni Sarasah Maimbau saat mengiringi perayaan khatam Al-Quran (Syahrul R/2020) |
Membangkitkan Kesenian Tradisi
Belum lama ketika Madrid kembali ke kampung
kelahiran orang tuanya itu, berbekal pengalaman semasa kuliah di unit kegiatan
mahasiswa yang bergerak di bidang kesenian, ia mencoba menghidupkan kembali
kesenian anak nagari. Terhitung semenjak Agustus 2020 ketika ia memulai itu
semua, bersama sejumlah orang, ia mengumpulkan kembali anak-anak untuk diajak
berlatih kesenian, mulai dari musik hingga tari.
Ihsan (15), seorang siswa SMP adalah salah
satu anak yang tertarik untuk berlatih. Baginya, bermain musik tradisi menjadi
salah satu hiburan dalam mengisi waktu luang. Berbeda dengan anak-anak
seusianya di daerah lain, Ihsan bersama anak-anak yang besar di Pagadih tidak
begitu akrab dengan games yang ada di gadget atau smastphone. Keterbatasan
akses telekomunikasi ke daerah tersebut menjadi salah satu alasan mengapa
interaksi sosial secara langsung menjadi hal biasa di Nagari Pagadih.
Tidak hanya Ihsan, Azis (9) adalah anak
lain yang juga ikut bergabung dalam Sanggar Seni Sarasah Maimbau. Dapat
dikatakan ia adalah anggota termuda yang ikut belajar untuk menabuh alat musik
tradisi tersebut. Baginya, belajar tambua adalah hiburan dan juga permainan.
"Bang,
latihan wak lai," ajak Azis kepada Madrid ketika saya baru menginjakkan
kaki di nagari Pagadih. Ajakan untuk latihan itu disampaikannya secara
berulang-ulang, sampai akhirnya Madrid beranjak dari duduknya.
Bagi Ihsan, Azis dan belasan anak lain, belajar tambua hingga tampil pada berbagai kegiatan di nagari menjadi sebuah prestasi tersendiri. Tidak ada embel-embel finasial di sini, sebab pada setiap penampilan mereka hanya dibayar seadanya, tergantung kemampuan dari pihak yang mengundang.
"Sebagian uang tersebut disimpan sebagai kas, sebagian lainnya dipakai untuk membakar ikan bersama anak-anak sanggar," ujar Madrid.
Penampilan Sanggar Seni Sarah Maimbau (Syahrul R/2020) |
0 comments:
Post a Comment
Komennya harap yang Sopan ^_^