Tuesday, June 4, 2024

,

Anak Tambua Nagari Pagadih, dari Gelanggang ke Gelanggang


(Syahrul R/2020)

Langit terlihat cerah malam itu, sejumlah bintang timbul tenggelam di balik awan tipis yang bergerak pelan. Kerlip bintang begitu kentara dalam pekat malam, bohlam lampu lima watt bercahaya redup di teras-teras rumah. Dari kejauhan, dentuman gendang kulit bertalu-talu memecah sunyi.

 

Sebuah rumah di Jorong Pagadih Mudiak Nagari Pagadih Kecamatan Palupuah Kabupaten Agam Sumatera Barat malam itu begitu ramai. Puluhan pasang mata tertuju pada sejumlah anak yang asik menabuh tambua (alat musik tradisional Minang berupa gendang dari kulit). Dentuman gendang itu semarak di tengah tingkah tasa yang pukul menggunakan sepasang rotan.

 

Siang sebelumnya, sebuah pesta pernikahan baru dilangsungkan di rumah tersebut. Arak-arakan pengantin di jalanan kampung berbatu disemarakkan oleh Anak Tambua (pemain musik tambua). Seolah tidak puas sekedar ditemani dalam arak-arakan, malam itu Anak Tambua kembali unjuk kebolehan, dalam ritme yang mereka ciptakan sendiri, anak-anak usia sekolah itu pun ikut hanyut dalam alunan perkusi.

 

Sudah hampir tengah malam ketika dentuman terakhir bergema di langit Pagadih. Penonton bertepuk tangan, senyum sumringah terpancar dari wajah-wajah muda itu ketika mereka perlahan menurunkan tambua dari gendongan. Setelah menyantap hidangan yang disediakan tuan rumah, mereka bersiap kembali ke rumah masing-masing, esok masih ada alek (pesta) yang harus dimeriahkan.

 

"Stick tambua jangan sampai hilang!" Madrid, pria 27 tahun yang menjadi pelatih tambua kembali memperingati mereka, pasalnya, pada Sabtu 26 Desember 2020, masih ada pesta pernikahan lain yang harus dimeriahkan.

 

Esoknya, matahari sudah naik sepenggalah, hawa dingin perkampungan yang ada di belantara Bukit Barisan masih terasa di permukaan kulit. Api unggun kecil dihidupkan di halaman sebuah rumah, tidak jauh dari bangunan serba guna tempat alat-alat musik itu disimpan. Bukan manusia, unggun kecil itu dikelilingi sejumlah tambua yang pada malam sebelumnya ditabuh tanpa ampun.

 

Bukan tanpa sebab, kulit binatang yang menjadi sumber bunyi pada alat musik pukul itu perlu dipanaskan untuk kembali memiliki suara nyaring ketika ditabuh. Udara dingin dan lembab di daerah itu membuat kulit pada tambua jadi melempem. Sehingga menyangai dengan api menjadi salah satu pilihan untuk membuatnya kembali tegang dan bersuara nyaring.

 

Tidak kurang dari sepuluh orang anak sudah berkumpul pagi itu, mereka berebut memilih setelan yang akan digunakan untuk tampil. Sarawa Galembong, baju hitam, destar, serta ikat pinggang dari kain songket berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Setelah berpakaian, mereka mulai bertolak menuju rumah tempat anak daro jo marapulai (pengantin) diarak pagi itu.

 

Sebuah pesta pernikahan kembali semarak dengan iringan musik tradisional tambua. Sebelum berhenti, sebuah pertunjukan singkat pun ditampilkan, Azis, bocah kelas tiga sekolah dasar ikut unjuk kebolehan. Tangan kecilnya mahir mengayunkan stick ke permukaan tambua, sementara tubuhnya hanya dua kali tinggi tambua. Tingkah tasa, alunan pupuik sarunai (serunai) dan juga melodi talempong pacik menggema di perkampungan.

 

Tidak sampai di situ, esoknya adalah pertunjukan terakhir mereka di tahun 2020. Bukan lagi pesta perkawinan, alek yang lebih besar menunggu mereka, yakni perayaan khatam al-Quran. Salah satu perayaan besar dalam skala nagari di Minangkabau.

 

Minggu pagi di penghujung Bulan Desember, tambua kembali bertalu-talu di Nagari Pagadih. Arak-arakan menempuh jalanan berbatu, ratusan pasang mata tertuju pada barisan peserta khatam al-Quran yang kerap disebut angku haji serta anak tambua yang berada di barisan belakang. Sebelum berhenti, sebuah pertunjukan singkat kembali dipertontonkan, terik matahari tidak mengurangi semangat para anak tambua menyuguhkan hiburan kepada masyarakat yang berdiri mengelilingi mereka.

 

Sanggar Seni Sarasah Maimbau saat mengiringi perayaan khatam Al-Quran (Syahrul R/2020)

 

Membangkitkan Kesenian Tradisi

 

Belum lama ketika Madrid kembali ke kampung kelahiran orang tuanya itu, berbekal pengalaman semasa kuliah di unit kegiatan mahasiswa yang bergerak di bidang kesenian, ia mencoba menghidupkan kembali kesenian anak nagari. Terhitung semenjak Agustus 2020 ketika ia memulai itu semua, bersama sejumlah orang, ia mengumpulkan kembali anak-anak untuk diajak berlatih kesenian, mulai dari musik hingga tari.

 

Ihsan (15), seorang siswa SMP adalah salah satu anak yang tertarik untuk berlatih. Baginya, bermain musik tradisi menjadi salah satu hiburan dalam mengisi waktu luang. Berbeda dengan anak-anak seusianya di daerah lain, Ihsan bersama anak-anak yang besar di Pagadih tidak begitu akrab dengan games yang ada di gadget atau smastphone. Keterbatasan akses telekomunikasi ke daerah tersebut menjadi salah satu alasan mengapa interaksi sosial secara langsung menjadi hal biasa di Nagari Pagadih.

 

Tidak hanya Ihsan, Azis (9) adalah anak lain yang juga ikut bergabung dalam Sanggar Seni Sarasah Maimbau. Dapat dikatakan ia adalah anggota termuda yang ikut belajar untuk menabuh alat musik tradisi tersebut. Baginya, belajar tambua adalah hiburan dan juga permainan.

 

"Bang, latihan wak lai," ajak Azis kepada Madrid ketika saya baru menginjakkan kaki di nagari Pagadih. Ajakan untuk latihan itu disampaikannya secara berulang-ulang, sampai akhirnya Madrid beranjak dari duduknya.


Bagi Ihsan, Azis dan belasan anak lain, belajar tambua hingga tampil pada berbagai kegiatan di nagari menjadi sebuah prestasi tersendiri. Tidak ada embel-embel finasial di sini, sebab pada setiap penampilan mereka hanya dibayar seadanya, tergantung kemampuan dari pihak yang mengundang.


"Sebagian uang tersebut disimpan sebagai kas, sebagian lainnya dipakai untuk membakar ikan bersama anak-anak sanggar," ujar Madrid.

Penampilan Sanggar Seni Sarah Maimbau (Syahrul R/2020)



*Artikel ini pernah dipublikasikan di halaman cerano.id pada Januari 2021


0 comments:

Post a Comment

Komennya harap yang Sopan ^_^