Wednesday, December 4, 2019

,

Masjid Rao Rao, Bangunan Antik Peninggalan Awal Abad ke-20

Masjid Rao Rao Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (Syahrul R/2017)
Rasa penat akibat perjalanan sejauh lebih kurang 115 kilometer dari Kota Padang menuju Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat seolah menguap begitu saja ketika sampai pada sebuah masjid dengan arsitektur yang indah.
Di nagari Rao Rao Kecamatan Sungai Tarab, tepat  di sebelah kiri jalan dari arah Batusangkar, sebuah masjid kuno yang dibangun dengan material beton berdiri megah dengan ornamen-ornamen khas Timur Tengah dan Eropa.
Masjid Rao Rao, begitulah masjid yang telah berumur lebih dari seratus tahun ini biasa disebut oleh masyarakat, penamaannya sesuai dengan tempat dimana masjid tersebut didirikan, yakni nagari Rao Rao.
Memasuki pekarangan masjid, suasana seakan membawa setiap pengunjungnya ke masa masjid ini dibangun, yakni awal abad ke 20 masehi atau oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar disebutkan masjid ini mulai difungsikan pada tahun 1916, sebab arsitektur bangunannya yang begitu identik dengan gaya Eropa yang dipadukan dengan gaya Timur Tengah.
Ornamen yang terdapat pada bagian Pagar Teras Masjid (Syahrul R /2017)

Masjid Rao Rao dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat atas prakarsa dari salah seorang pemuka masyarakat yang ada saat itu, yakni Abdurrahman Datuak Maharajo Indo.
Selain itu ia menyebutkan, seiring dengan ekspansi kolonial Belanda ke pedalaman Minangkabau maka sedikit banyaknya berpengaruh pada bentuk arsitektur bangunan yang ada masa itu.
Salah satu bentuk pengaruh tersebut ialah Masjid Rao Rao mulai dibangun dengan menggunakan semen atau beton, sementara sejatinya masjid kuno Minangkabau dibangun dengan material kayu.
Lebih lanjut dijelaskannya masjid ini memiliki tiang sebanyak 24 buah yang menopang bangunan masjid, yang mana semua tiang tersebut merupakan sumbangan dari masing-masing penghulu yang ada di daerah tersebut sebagai wujud partisipasi mereka dalam pembangunan masjid.
Sementara itu terdapat empat tiang utama yang ada di tengah-tengah ruangan masjid, keempat tiang ini merupakan lambang dari keberadaan empat suku besar yang ada di daerah tersebut, yaitu Suku Patapang Kutianyia, Bendang Mandahiliang, Bodi Chaniago dan Koto Piliang.
Interior Bangunan Masjid dengan Empat Tiang Utama (Syahrul R/2017)

Atap masjid ini memiliki bentuk yang unik dibanding beberapa masjid lain yang ada di Minangkabau, pada puncak atap masjid ini terdapat menara yang di atasnya berada empat buah atap gonjong.
Empat buah atap gonjong ini menghadap ke segala penjuru mata angin dan keberadaannya merupakan salah satu bentuk pengaruh dari bentuk arsitektur tradisional Minangkabau, yaitu atap gonjong.
Selain itu, BPCB Batusangkar mencatat pada masjid ini setidaknya terdapat tiga langgam rupa bangunan yang kental dengan corak arsitektural dari tiga bangsa yaitu Melayu atau Minangkabau, Eropa (Italia dan Belanda), dan Timur Tengah (Persia).
Sentuhan Eropa terlihat dari keberadaan tiang-tiang yang berdiri kokoh pada bangunan masjid serta ditambah dengan marmer pada lantai yang memiliki bentuk unik.
Keunikan marmer masjid ini lantaran bahan yang digunakan merupakan produk asli Eropa yang sengaja di datangkan ke Rao Rao Tanah Datar.
Singkat cerita, pada tahun 1916 masjid ini belum memiliki lantai marmer, hal tersebut terjadi lantaran keterbatasan dana yang sebelumnya sudah digunakan untuk pembangunan masjid.
Guna mengatasi hal tersebut maka berangkatlah beberapa orang pemuka nagari Rao Rao ke Malaysia guna mencari perantau untuk memberikan sumbangan dana untuk pemasangan marmer.
Setelah didapatkan, maka marmer langsung di pesan ke Italia yang selanjutnya dikirimkan menggunakan kapal. Sebelum sampai di Teluk Bayur Padang, kapal tersebut sempat singgah di Selat Malaka.
Setelah sampai di Teluk Bayur, marmer tersebut kemudian dibawa dengan menggunakan kereta api hingga daerah Piladang, kemudian dari Piladang baru dilanjutkan dengan pedati menuju Nagari Rao Rao.
Selajutnya pada tiang yang terdapat di luar bangunan, tepatnya pada bagian teras terdapat pelengkung atau pola lengkung yang menghubungkan antara satu tiang dengan tiang lain, sehingga semakin memperlihatkan pengaruh Persia pada bangunannya.
Selain itu, ornamen yang terdapat pada dinding, tiang maupun pagar teras masjid semakin menambah kuat nuansa Persia pada bangunan tersebut.
Keunikan lain dari masjid ini adalah hampir seratus persen permukaan mimbarnya dilapisi dengan pecahan keramik atau porselen. Hal tersebut tentu memberikan sebuah bentuk yang unik dan menjadi ciri khas tersendiri bagi Masjid Rao Rao
Pecahan kaca yang ditempel pada mimbar tersebut merupakan pecahan kaca dari keramik dan porselen kepunyaan keluarga Haji Mutahhib yang pecah saat terjadinya gempa pada tahun 1926.
Foto Masjid Rao Rao dari  Sisi Utara Bangunan (Syahrul R/2017)

Menyaksikan Masjid Rao Rao seolah melihat masa seratus tahun yang lalu, dimana masyarakat bergotong royong membangun sebuah sarana beribadah dengan bentuk berbeda dari yang lain.
Melalui masjid Rao Rao akan membuat siapa saja yang mengunjunginya bahwa nenek moyang orang Minangkabau memiliki selera yang tinggi terhadap rancangan sebuah bangunan, hal tersebut terlihat dari megahnya bangunan masjid yang berbeda dari bangunan lain yang dibangun semasa dengannya.
Keberadaan masjid ini sebagai salah satu bangunan cagar budaya hendaknya terus dijaga kelestariannya sehingga dapat disaksikan oleh generasi penerus kita untuk puluhan atau bahkan ratusan tahun yang akan datang.

Referensi:
Sudarman, Arsitektur Masjid Dari Masa ke Masa. Padang: IAIN IB Press, 2014.
_____________, Pengaruh Eropa Terhadap Arsitektur MasjidRao Rao Kabupaten Tanah Datar, dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya BPNB Padang, Vol 4 No. 1 Tahun 2018.

Artikel pernah diterbitkan di halaman Antara Sumbar dengan judul Kemegahan Arsitektur Masjid Rao Rao Tanah Datar
Continue reading Masjid Rao Rao, Bangunan Antik Peninggalan Awal Abad ke-20

Friday, September 14, 2018

,

Penenun Songket di Kaki Gunung Singgalang


“Saya belajar menenun secara otodidak, berawal dari melihat ibu yang juga seorang pengrajin songket,” tuturnya.

Puti Centia Wulan,seorang penenun asal Pandai Sikek sedang menyelesaikan sehelai tenunan menggunakan alat tenun berupa rangkaian kayu yang disebut dengan panta

Di tepi hamparan ladang sayuran, pada sebuah rumah, seorang wanita tengah sibuk menyusun benang emas diantara benang-benang lainnya, di atas sebuah rangkaian kayu yang dikenal masyarakat dengan panta.

Hawa dingin menyelimuti Pandai Sikek siang itu, sebuah nagari setingkat desa yang berada di kaki Gunung Singgalang Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Dihadapannya, suri yang merupakan sebutan pengrajin tenun untuk benang yang membentang di sepanjang panta diregangkan dengan sebilah kayu bernama sangka.

Sesekali dentangan kayu terdengar ketika wanita tersebut merapatkan benang emas yang sudah disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah motif.

Puti Centia Wulan, seorang wanita berumur 25 tahun duduk di ujung panta, tangannya meliuk-liuk diantara ratusan benang, di hadapannya lebih kurang sepanjang satu meter songket hampir selesai ditenun.

Semenjak beberapa hari yang lalu ia sudah sibuk mengerjakan sebuah selendang songket dengan ukuran lebar 50 sentimeter dan panjang dua meter.

“Saya belajar menenun secara otodidak, berawal dari melihat ibu yang juga seorang pengrajin songket,” tuturnya.

Menenun menurutnya merupakan keahlian yang biasa dimiliki oleh setiap perempuan di kawasan Pandai Sikek yang telah diwarisi secara turun temurun.

Tanpa melalui pelatihan khusus, Puti yang sudah mulai menenun semenjak tahun 2011 tersebut menyebutkan selama ini ia telah menerima upah untuk menenun dengan bahan disediakan oleh pengusaha songket yang ada di daerah tersebut.

Dari sekian banyak motif Songket Pandai Sikek, menurutnya yang paling rumit untuk dikerjakan adalah motif Pucuak Tari Bali, dikarenakan motifnya yang halus sehingga dituntut ketelitian ekstra saat mengerjakan.

 Penenun sedang mengerjakan tenunan berupa selendang songket

Sembari melanjutkan pekerjaannya, Puti menceritakan dalam satu bulan ia mampu menyelesaikan empat hingga lima helai songket dengan upah yang beragam.

Untuk menyelesaikan sebuah selendang songket bermotif tabur dengan ukuran panjang dua meter dan lebar 50 atau 30 sentimeter, ia menerima upah sebanyak Rp300.000 rupiah  dengan lama pengerjaan selama lima hari.

Apabila selendang tersebut dipenuhi oleh benang emas atau yang biasa dikenal dengan istilah balapak, maka upah per helainya adalah Rp400.000 rupiah.

Sementara untuk songket dengan ukuran lebih besar, maka dapat menghabiskan waktu hingga sepuluh hari. Bahkan untuk songket berbahan sutera bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Puti menambahkan, upah tersebut diterima untuk pengerjaan songket dengan bahan katun, apabila menggunakan bahan sutera maka upahnya bisa mencapai Rp600.000 rupiah.

“Penghasilan sebagai pengrajin songket selama ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta untuk biaya sekolah anak,” ujarnya

Salah seorang pengusaha Songket Pandai Sikek  yang telah merintis usaha semenjak tahun 1985, Erma Yulnita mengatakan, untuk songket yang dipasarkannya, ia memiliki pengrajin sendiri yang saat ini berjumlah lebih kurang 250 orang.

Para pengarajin tersebut merupakan perempuan-perempuan di Nagari Pandai Sikek yang sejak dahulu sudah terkenal sebagai penenun songket.

Karena sudah ada sejak lama, maka motif-motif yang ada pada tenun songket merupakan motif klasik yang begitu identik dengan Minangkabau.

Setidaknya terdapat lebih dari 350 motif klasik, akan tetapi yang sering kali diproduksi adalah motif Itiak Pulang Patang, Saik Ajik, Lapiak Ampek, Pucuak Rabuang, Kunang-kunang dan lain sebagainya.

Salah satu hasil jadi Songket Pandai Sikek

Ia menyebutkan hingga saat ini songket masih memiliki daya tarik bagi wisatawan yang datang berkunjung ke Sumbar, terutama ke Pandai Sikek.

Dari seluruh wisatawan yang berbelanja songket kepadanya, 80 persen diantaranya adalah wisatawan lokal yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Selain pengunjung yang datang berbelanja langsung, ia juga melayani pesanan ke beberapa daerah seperti Jakarta, Kalimantan, Lampung, Sulawesi serta beberapa daerah lainnya.

Keunikan motif Songket Pandai Sikek menjadi salah satu alasan bagi para wisatawan untuk menjadikannya sebagai cindera mata dari Sumbar.

Tak hanya wisatawan dalam negeri, Erma menuturkan bahkan wisatawan manca negara juga sangat tertarik dengan songket, selain berbelanja ketika berkunjung, ia juga sudah pernah mengirimkan songket ke luar negeri.

Menurutnya, sekalipun tidak serutin pengiriman di dalam negeri, akan tetapi permintaan dari luar negeri tetap ada dan cukup tinggi, seperti dari Amerika, Australia dan Jepang.

Harga yang ditawarkan pun beragam, mulai dari yang termurah seharga Rp1.500.000 rupiah hingga yang paling mahal seharga Rp15 juta rupiah, tergantung dari bahan yang digunakan.

“Untuk bahan dari sutera maka akan dihargai sebesar Rp15 juta, sementara songket termurah dimulai dari harga Rp1.500.000 rupiah terbuat dengan bahan katun,” katanya.

Sekalipun demikian, kadangkala pihaknya cukup mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, terutama benang emas yang harus didatangkan dari luar negeri, yaitu India dan Jepang.

Apabila kondisi dolar tidak stabil maka Erma akan kesulitan mendapatkan bahan tersebut, sehingga berdampak pada produksi, seperti beberapa waktu lalu sempat terhenti selama satu bulan lantaran ketiadaaan bahan.

Pada pertengahan Ramadhan lalu, ia menyebutkan pasokan benang emas sempat terputus, sementara permintaan songket tinggi, sehingga mau tidak mau produksi tidak dapat dilakukan.


Selain benang emas yang harus didatangkan dari luar negeri, bahan lain yang dibutuhkan adalah katun dan sutera, kedua bahan ini lebih mudah didapatkan karena tersedia di dalam negeri.

Penenun menguntai benang emas sebagai motif diantara benang katun

Selain itu, Puti Centia Wulan mengatakan menenun merupakan keahlian yang harus tetap dipelajari oleh setiap perempuan Minang terutama Pandai Sikek, sebab dengan keahlian tersebut setiap generasi muda dapat ikut melestarikan tradisi.

“Suatu saat nanti pun saya akan mengajarkan anak saya tentang tata cara menenun, sebab keahlian ini sudah dilestarikan secara turun temurun,” tutup Puti seraya menyelesaikan tenunannya.


Artikel ini pernah dimuat pada halaman Antara Sumbar.

Continue reading Penenun Songket di Kaki Gunung Singgalang

Friday, August 10, 2018

Saatnya Napi Tipikor Ikut Membangun Negeri

Pekerja di Lubang Suro, Sawahlunto

"Selain barang mewah, para napi juga kedapatan menyimpan uang mencapai ratusan juta rupiah, kata Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami melakukan sidak di Lapas Sukamiskin, Minggu (22/7) malam. (Detik.com)"



Kehidupan di penjara barangkali akan memberikan gambaran yang horor lagi sadis bagi setiap orang yang mendengarnya. Betapa tidak, pada film Sengsara Membawa Nikmat yang mulai ditayangkan oleh TVRI pada tahun 1991, kehidupan penjara tidaklah begitu indah. Sandy Nayoan yang saat itu memainkan tokoh Midun terpaksa harus mendekam di penjara lantaran perselisihannya dengan Kacak (tokoh antagonis dalam cerita tersebut). Ketika berada di penjara, Midun menerima intimidasi dan bahkan terpaksa harus terlibat perkelahian dengan tawanan lain.

Dalam film The Shawshank Redemption (1994) karakter Andy Dufresne pun tak dapat menjalankan hukuman dengan baik. Bogs yang menjadi pimpinan gang The Sisters, penguasa di Shawshank tak henti-hentinya mengintimidasi Andy dengan tindak kekerasan. Bahkan pada salah satu tindak kekerasan yang diterimanya dari pimpinan gang tersebut, Andy malah berakhir di rumah sakit.
Akan tetapi hal tersebut merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam film, sangat berbeda dengan apa yang pemberitaan yang beredar di media masa belakangan ini. Pada pemberitaan tersebut, beberapa oknum narapidana menjalani kehidupannya dengan bahagia di balik jeruji besi. Kehidupan tersebut tentunya ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang cukup baik, bahkan lebih baik dari pada fasilitas kos-kosan mahasiswa yang sedang mempersiapkan diri untuk membangun bangsa.

Pada sidak yang dilakukan oleh Dirjen PAS Kemenkumham ke Lapas Sukamiskin Jawa Barat beberapa waktu lalu, beberapa temuan berhasil menohok ulu hati jajaran anak kos yang tersebar di seluruh Indonesia. Dua truk barang mewah berhasil disita, mulai dari dispenser, televisi, kulkas, pendingin ruangan, pemanas nasi dan bahkan uang hingga ratusan juta rupiah. Sangat berbanding terbalik dengan fasilitas anak kos yang harus rela tidur berpanas-panasan, numpang masak nasi di ricecooker teman sebelah hingga nonton tv di warung pinggir jalan.

Tak lepas dari situ, bahkan sempat-sempatnya lapas tersebut menyediakan saung. Saung guys, bayangin, sauung, kayak temapt pikni aja. Barangkali kehidupan di penjara harus dinetralisir dengan nyantai di saung tiap pagi dan sore, sambil menikmati seduhan arabica ditemani sepiring biskuit dengan ditemani alunan musik jazz. Ah, bahagianya.

Kalau cuaca panas tinggal ambil batu es untuk kemudian dicampur ke dalam gelas berisi minuman penambah energi. Kalau bosan tinggal hidupin televisi dan menonton sinetron dan berbagai tayangan konyol, tentu saja sambil ngemil kacang polong yang sebelumnya sudah diselundupkan. Kalau cemilannya habis tinggal pesen, kan duitnya juga udah diselundupin.

Sekalipun demikian, sangat disayangkan mereka yang mendekam dan terlena dengan fasilitas tersebut tidak dapat berkontribusi untuk bangsa. Dari lubuk hati yang paling dalam, lebih dalam dari pada cinta remaja-remaja alay kepada idola kpop, narapidana tipikor tersebut hendaknya diberikan kesempatan berbakti untuk negeri. Tak usah muluk-muluk, cukup beri mereka peluang untuk membangun, ya, benar-benar membangun.

Program Nawacita Presiden Jokowi saat ini sebenarnya menjadi peluang bagi mereka untuk ikut membangun bangsa. Pembangunan jembatan dan jalan gencar dilakukan diberbagai daerah pelosok Indonesia. Dalam hal ini, kontribusi mereka tentu saja bukan sebagai pihak yang memegang tender atau pun yang mengatur lalu lintas keuangan proyek, melainkan menjadi pekerja, takutnya kebiasaan menyimpan sebagian duit proyek akan kembali kambuh.

Sebagaimana yang pernah dipraktikan oleh Belanda di kawasan Hindia selama masa kolonialisasinya, para narapidana dipaksa untuk bekerja. Kerja, kerja, kerja dan kerja. Hasil kerja paksa tersebut tentu saja memberikan keuntungan yang banyak bagi mereka.

Pada masa-masa tersebut, para narapidana kerja paksa dikirim ke berbagai daerah di Hindia untuk membantu mereka dalam mengerjakan proyek-proyek besar. Mereka
 menjalani kerja paksa di luar daerah dengan bekerja pada proyek-proyek, seperti tambang batu bara di Sawahlunto (Ombilin), proyek pembuatan jalan di Sumatera Tengah, Aceh, Tapanuli, Ambon, Sulawesi, Bali, dan berbagai daerah lainnya.

Tidak hanya itu, saat terjadi peperangan antara pihak Belanda melawan pribumi, keberadaan tahanan juga menjadi keuntungan tersendiri bagi mereka. Sebagai contoh, pada perang Sabil yang terjadi antara Belanda melawan Aceh, mereka dimanfaatkan sebagai pemikul perbekalan serta peluru.

Nah, seandainya hal tersebut juga terfikir oleh pemerintah saat ini, bukan dengan niat untuk berlaku kejam, akan tetapi lebih kepada niat untuk menfasilitasi narapidana tipikor tersebut untuk membaktikan diri kepada bangsa. Alangkah bermanfaatnya jika anggaran yang digunakan untuk mengupah para pekerja dalam membangun fasilitas publik di negeri ini dapat diirit. Sebab para terpidana tersebut pasti ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat, memberikan kontribusi kepada negara yang mereka cintai ini.

Bahkan mereka juga sangat potensial untuk dikirim ke luar negeri menjadi sukeralawan. Membantu petugas perdamaian sebagi juru masak pada kamp-kamp prajurit, bahkan mereka juga berkesempatan untuk membantu negara-negara miskin untuk bisa hidup layak dan sehat. Semoga Allah memberikan pahala yang besar bagi mereka nantinya dan yang paling penting adalah semua itu dilakukan secara sukarela alias graaaaatis tis tis tis tis, tanpa bayaran.

Seandainya hal tersebut dapat terealisasi, masih ada beberapa hal yang menarik untuk terus diikuti, yaitu Drama Papa. Pada kegiatan yang harusnya bertema Napi Tipikor Berbakti Untuk Bangsa tersebut, Papa tetap menjadi pemeran utama yang tidak boleh luput dari perhatian. Papa yang telah memulai debutnya pada Drama Minta Saham, Drama Tiang Listrik, Drama Benjolan Bakpao hingga terakhir Drama Sel Pinjaman, dapat dipastikan akan memainkan drama baru.
*
Continue reading Saatnya Napi Tipikor Ikut Membangun Negeri

Thursday, June 7, 2018

,

Menengok Pengolahan Sagu di Bumi Sikerei

Langit mulai diselimuti mendung ketika pompong yang merupakan sebutan masyarakat Mentawai untuk sebuah sampan kecil berkapasitas tujuh orang membelah Sungai Bat Oinan Puro.

Menyusuri Sungai Bat Oinan Puro

Di kemudi, Nikodemus Sabulukkungan seorang pria paro baya tengah menuju lokasi tempat pengolahan sagu di kawasan Dusun Puro, Desa Muara Siberut Kecamatan Siberut Selatan, Mentawai Sumatera Barat.

Setelah merapat, diantara pepohonan sagu yang menjulang ia mulai menatak sebuah pohon sagu yang sudah tumbang. Dengan sebilah kapak, ia kemudian memisahkan antara kulit dan isi pohon yang sebelumnya sudah dibagi menjadi potongan sepanjang lebih kurang 70 sentimeter.

Gerimis mulai turun ketika ia sibuk mempersiapkan sagu yang yang merupakan makanan pokok masyarakat Mentawai untuk kemudian diparut menggunakan parutan tradisional yang disebut dengan gagaji.

Setelah selesai diparut menggunakan alat tradisonal gagaji, sagu tersebut kemudian dibawa menuju dereat, sebuah alat pengolahan lainnya untuk kemudian dipisahkan antara sari dan ampasnya.

Dereat sendiri terdisi dari beberapa bagian, pada bagian paling atas terdapat sebuah wadah bersegi empat tempat memeras sagu menggunakan air yang disebut dengan  karuk.

Menggunakan timba dengan bahan pelepah sagu, Nikodemus menimba air ke dalam karuk agar sari dari sagu ikut mengalir bersama air menuju ke saringan yang ada di bawahnya.

Tepat di bawah saringan terdapat dedeibu, sebuah wadah berupa sampan kecil menampung cucuran air disertai dengan sari dari parutan sagu yang sebelumnya sudah diperas.

Sembari tetap memeras sagu, ia menuturkan butuh waktu hingga dua jam agar sari pati sagu dapat benar-benar berpisah dengan air perasan, setelahnya barulah didapatkan sagu yang siap untuk dikonsumsi.

Nikodemus Sabulukkungan memisahkan antara kulit dan isi pohon sagu

Proses pemarutan isi pohon sagu mengunakan alat tradisional yang dikenal dengan sebutan gagaji

Mengumpulkan hasil parutan untuk selanjutnya dibawa ke dereat

Proses pemisahan pati dengan ampas sagu

Nikodemus memisahkan antara isi dan ampassagu pada alat pengolahan yang disebut dereat


Sagu tersebut kemudian akan disimpan pada sebuah wadah yang terbuat dari daun sagu berukuran panjang sekitar satu meter, dengan diameter sepanjang 25 sentimeter yang disebut dengan tappri.

Vincent Sabulukkungan yang kala itu ikut membantu Nikodemus mengolah sagu menyebutkan, satu potongan sagu nantinya dapat mengisi penuh tappri untuk keperluan makan selama satu satu bulan bagi sebuah keluarga kecil yang terdiri dari orang tua dan satu anak.

Apabila untuk keperluan sehari-hari maka pekerjaan mengolah sagu akan dilakukan oleh anggota keluarga yang bersangkutan, sementara apabila sagu tersebut akan dipergunakan untuk keperluan upacara adat, maka yang akan bekerja adalah kaum laki-laki dari suku yang bersangkutan.

Menurutnya, selama ini belum pernah ada orang Mentawai yang kelaparan dan kekurangan makanan, sebab segala kebutuhan sudah disediakan oleh alam, seperti sagu yang tumbuh subur dan melimpah ruah di sekitar mereka.

Bukannya tidak pernah memakan nasi, Vincent menambahkan bahwa rata-rata orang Mentawai sudah terbiasa mengkonsumsi sagu, bahkan bagi mereka sagu lebih tahan lama di perut dari pada nasi.

Sementara Nikodemus sibuk mengolah sagu, Agustinus Durai yang juga ikut dalam pengolahan menambahkan, tidak semua sagu dapat diolah, ada batasan-batasan umur tertentu agar sagu dapat ditebang untuk kemudian dijadikan tepung sagu.

Setidaknya sagu harus berumur 17 tahun agar pohonnya benar-benar berisi untuk dapat diolah, sebab pada umumnya batang sagu yang usianya di bawah batasan tersebut belum terlalu berisi dan masih lunak untuk dapat diparut dan diolah.

Ia menuturkan, setelah pohon sagu pada sebuah kawasan mulai berkurang, maka secara otomatis masyarakat akan langsung menanam penggantinya sehinga persedian sagu akan selalu ada untuk menunjang kehidupan masyarakat.

Nikodemus hampir selesai memeras parutan sagu ketika Agustinus menyebutkan bahwa sagu yang sudah diolah dapat bertahan dengan pengawetan alami.

Sagu yang sudah disimpan di dalam tappri dan direndam dalam air dapat bertahan hingga satu tahun, sehingga masyarakat tidak perlu pusing memikirkan persediaan makanan.

Agustinus menekankan bahwa kehidupan masyarakat Mentawai sangat bergantung pada alam, apabila alam mulai rusak dan tumbuhan sagu mulai menipis maka masyarakat akan mulai kesulitan untuk mendapatkan bahan makanan.

Untuk dapat dikonsumsi, sagu yang sudah diolah menjadi tepung harus dimasak terlebih dahulu dan dimasaknya juga memanfaatkan hasil alam.



Memasak Sagu

Seusai mengolah sagu, Nikodemus, Agustinus dan Vincent kembali mengarahkan pompong miliknya kembali menuju Uma Sabulukkungan, Rumah adat khas mentawai kepunyaan suku Sabulukkungan.

Di dapur, tepat pada bagian belakang uma, beberpa orang wanita sibuk menyiapkan beberapa bahan yang akan diolah. Selain sagu, di sekitar perapian atau tungku beberapa batang bambu yang sudah dipotong-potong disandarkan untuk nantinya digunakan sebagai wadah dalam memasak sagu.

Sembari menghaluskan tepung sagu yang akan dimasak, Lidiana Sabulukkungan, wanita yang tepat berumur setengah abad itu menceritakan bahwa hingga saat ini masyarakat Mentawai masih memasak sagu menggunakan cara yang tradisional, yaitu memanggang sagu di dalam bambu.

Setelah mulai halus, Lidia kemudian memasukkan sagu ke dalam potongan-potongan bambu untuk kemudian disangai di sekitar api yang sudah dinyalakannya di dalam tungku.

Tidak kurang dari 15 batang bambu berisi sagu berjejer menghadap api, ketika satu sisi bambu mulai berubah warna, maka Lidia akan segera memutarnya sehingga panas api dapat memasak sagu secara merata. Sagu yang dimasak dengan cara ini disebut dengan sagu kaobbuk,

30 menit berlalu ketika seluruh bagian bambu mulai berubah warna kehitaman yang menandakan sagu mulai masak sempurna, sambil mengganti sagu yang sudah masak tersebut dengan sagu lainnya, ia menyebutkan bahwa sagu tidak hanya dapat diolah dengan cara tesebut.

Sagu kapurut, tidak jauh berbeda dengan sagu kaobbuk, sagu ini tetap dimasak dengan cara dipanggang, akan tetapi tidak lagi menggunakan bambu melainkan daun sagu.

lebih lanjut wanita yang sudah mulai berumur tersebut menjelaskan bahwa dalam memasak sagu api yang digunakan tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh terlalu kecil.

Jika api yang digunakan terlalu besar maka sagu tidak akan matang dengan sempurna, hanya bagian luarnya saja, sementara bagian dalamnya masih mentah, selain itu jika api yang digunakan terlalu besar sagu juga bisa berubah rasa menjadi pahit.

Tidak terlalu sulit dan tidak terlalu gampang, begitulah Lidia menjelaskan bagaimana cara memasak sagu. Untuk menambah cita rasa, sagu yang dimasak bisa saja ditambah dengan menggunakan parutan kelapa atau gula.

Lidia kemudian mencicipi sagu kapurut yang sudah matang, setelah dua kunyahan dia bergumam bahwa sagu yang sudah masak ini nanti akan lebih nikmat jika dikonsumsi dengan campuran ikan atau pun sayur-sayuran yang diambil dari ladang.

"Kami belum pernah merasa kekurangan bahan makanan, sebab apa yang kami konsumsi sudah disediakan oleh alam," tambahnya sembari melahap sagu yang telah dimasaknya itu.

Lidiana Sabulukkungan menghaluskan sagu sebelum dimasak

Proses pemanggangangan sagu


Artikel ini pernah dimuat pada halaman Antara Sumbar.
Continue reading Menengok Pengolahan Sagu di Bumi Sikerei

Saturday, August 19, 2017

,

RUMAH GADANG BALAI NAN DUO SEBAGAI SIMBOL KEJAYAAN SUTAN CHEDOH

Berbicara tentang arsitektur tradisional Minangkabau, rumah gadang merupakan istilah yang tidak asing lagi. Rumah gadang atau juga biasa dikenal dengan sebutan rumah adat ini merupakan salah satu simbol dari masyarakat Minangkabau. Dalam arti lebih luas, rumah gadang tidak hanya berfungsi sebagai sebuah hunian, akan tetapi juga merupakan wadah dari suatu kaum dalam melaksanakan kegiatan yang bersifat adat.
Minangkabau dikenal sebagai etnis yang di dalamnya juga terdapat suku-suku (clan). Hal ini berdampak pada status kepemilikan rumah gadang yang jatuh ke tangan keluarga saparuik (satu garis keturunan) di bawah pimpinan seorang datuk. Sistem matrilinial yang dianut masyarakat Minangkabau menjadikan perempuan sebagai kunci penting dari keberadaan rumah gadang. Akan tetapi hal ini juga tidak menyingkirkan kaum laki-laki, dalam pemanfaatannya, rumah gadang juga dijadikan sebagai tempat menjalankan prosesi adat seperti penganugerahan sako (gelar).
Terdapat beberapa jenis rumah gadang yang ada di Minangkabau, AA Navis membaginya berdasarkan wilayah, untuk wilayah Luhak Tanah Data rumah gadangnya bernama Sitinjau Lauik, Luhak Agam bernama Rumah Gadang Surambi Papek dan di Luhak Limo Puluah bernama Rumah Gadang Rajo Babandiang. Selain itu juga ada tipe rumah gadang lain seperti Garudo Manyusuan Anak dan Gajah Maharam. Akan tetapi, dari segi wilayah Navis tidak menyebutkan tipe rumah gadang yang ada di wilayah pesisiran Minangkabau, yaitu tipe rumah gadang Kajang Padati.
 Dari sekian banyak rumah gadang yang tersebar di wilayah Minangkabau, salah satu rumah gadang yang masih dapat dinikmati kemegahannya adalah Rumah Gadang Balai Nan Duo dengan nomor inventaris 07/BCB-TB/A/03/2007. Rumah gadang ini berlokasi di kel. Balai Nan Duo Koto Nan IV, kec. Payakumbuh Barat kota Payakumbuh. Tidak begitu sulit untuk mencapai lokasi ini, selain berada di kawasan perkotaan, rumah gadang ini hanya berjarak lebih kurang 20 meter dari jalan utama kota Payakumbuh.


     Rumah Gadang Balai Nan Duo

Tidak ditemukan tanggal pasti dari pendirian bangunan ini, akan tetapi Muslim Syam menulis bahwa pendirian rumah gadang ini beriringan dengan pendirian Masjid Godang Balai Nan Duo. Rumah gadang didirikan pada hari kamis dan masjid didirikan pada hari jumat minggu depannya. Baqir Zein mengungkapkan bahwa Masjid Godang didirikan pada tahun 1840. Merujuk pada hal ini dapat dikatakan bahwa rumah gadang ini didirikan pada tahun 1840.
Keberadaan Rumah Gadang Balai Nan Duo tidak terlepas dari peran dari Sutan Chedoh yang saat itu menjabat sebagai regent Payakumbuh. Pengangkatannya sebagai regent dituliskan Rusli Amran berkenaan dengan kesediannya membantu Belanda dalam melawan kaum Paderi. Selain sebagai regent, Sutan Chedoh juga merupakan seorang Penghulu Andiko (biasa) di Nagari Koto Nan Ompek. Ia memiliki nama kecil Chedoh dan bergelar Datuk Mangkuto Simarajo dari suku Koto. Sedangkan nama sultan didapatnya sebagai sebuah penghargaan dari Belanda terhadap jasa-jasanya (Muslim Syam, 43: 1984).
Sekali pun telah melalui beberapa kali proses pemugaran, hingga sekarang bentuk bangunan masih mempertahankan bentuk asli. Bahan yang digunakan ada arsitekturnya adalah kayu yang digabungkan menggunakan pasak, kecuali tangga yang terbuat dari batu dilapis semen. Rumah gadang ini bertipe Gajah Maharam dan menjadi rumah gadang terbesar di wilayah Payakumbuh. Dalam kebiasaan, pendirian rumah gadang haruslah melalui mufakat dan bentuknya disesuaikan dengan kedudukan penghulu tersebut dalam adat Minangkabau. Hal ini disebabkan rumah gadang merupakan simbol kebesaran dari sebuah kaum.
Dalam pembangunannya, dikenal pula istilah Tukang Tiga Belas, yaitu ahli pertukangan yang diambil dari nagari-nagari di kabupaten Lima Puluh Kota dan Payakumbuh. Pada rumah gadang ini terdapat tiang sebanyak 50 buah yang merupakan perlambangan dari Luhak Limo Puluah. Sedangkan ruangnya berjumlah 9 dan ditambah dengan satu ruangan dapur.
Amir B menyebutkan bahwa bangunan rumah gadang ini mempunyai mahligai dan anjung peranginan, seperti yang pernah ditempati raja Pagaruyung, dipergunakan untuk tempat menyulam dan berangin-angin, terutama bagi putri-putri raja, seperti pepatah yang berbunyi:
Anjuang batingkek baalun-alun
Tampek manyuri manarawang
Paranginan puti di sinan
Limpapeh rumah nan gadang
Baajuang pangka jo ujuang

Selanjutnya, Amir menulis bahwa rumah gadang ini memiliki lima gonjong dan ditambah dengan dua gonjong anjung mahligai, sehingga total gonjongnya adalah tujuh buah. Sementara lazimnya jumlah gonjong rumah gadang tipe Gajah Maharam adalah delapan buah.

Anjuang Paranginan

Selain itu juga terdapat ruang pedapuran yang ada di sebelah kanan dengan atap sedikit lebih rendah dan bagian badan dinding berbeda dengan bangunan utama. Sedangkan lazimnya ruang dapur harusnya terletak di belakang bangunan utama. Selain itu, di halaman rumah gadang ini juga terdapat sebuah rangkiang atau lumbung seperti rumah gadang lainnya.

Rangkiang di Halaman Rumah Gadang

Tidaklah berlebihan pula rasanya jika Muslim Syam memiliki kesimpulan bahwasanya Rumah Gadang Balai Nan Duo ini bukan hanya sebatas rumah gadang biasa. Akan tetapi juga merupakan rumah gadang yang menjadi simbol kekuasaan dari Sutan Chedoh. Fungsi rumah gadang ini pada masanya lebih kepada sebagai tempat mengendalikan roda pemerintahan oleh Sutan Chedoh.
Selain itu, bentuk rumah gadang yang seperti ini bukanlah bentuk lazim dari rumah gadang seorang penghulu andiko seperti Sutan Chedoh. Sebab untuk pembangunannya butuh biaya yang begitu besar. Mengingat posisi Sutan Chedoh yang juga seorang regent dengan gaji yang cukup besar maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pembangunan rumah gadang ini dibiayai olehnya sendiri. Sebagai tinggalan yang bersifat living monumen, setidaknya bangunan rumah gadang ini masih menyajikan kemegahannya sebagai bukti kejayaan sang pemilik di masa lalu.


Tangga, pintu masuk dan Anjung Paranginan

Makam Sutan Chedoh


Daftar Kepustakaan

Amir B. Minangkabau, Manusia dan Kebudayaan. Padang: FKPS IKIP, 1980
Amran, Rusli. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press, 1984.
Syam, Muslim. Masjid Gadang Koto Nan Empat. Skripsi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Imam Bonjol, 1984.
Zein, Abdul Baqir. Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani, 1999.





Continue reading RUMAH GADANG BALAI NAN DUO SEBAGAI SIMBOL KEJAYAAN SUTAN CHEDOH