Masjid Rao Rao Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (Syahrul R/2017) |
Rasa penat akibat perjalanan sejauh lebih kurang 115
kilometer dari Kota Padang menuju Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat seolah
menguap begitu saja ketika sampai pada sebuah masjid dengan arsitektur yang
indah.
Di nagari Rao Rao Kecamatan Sungai Tarab, tepat di sebelah kiri jalan dari arah Batusangkar,
sebuah masjid kuno yang dibangun dengan material beton berdiri megah dengan
ornamen-ornamen khas Timur Tengah dan Eropa.
Masjid Rao Rao, begitulah masjid yang telah berumur lebih
dari seratus tahun ini biasa disebut oleh masyarakat, penamaannya sesuai dengan
tempat dimana masjid tersebut didirikan, yakni nagari Rao Rao.
Memasuki pekarangan masjid, suasana seakan membawa setiap
pengunjungnya ke masa masjid ini dibangun, yakni awal abad ke 20 masehi atau
oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar disebutkan masjid ini
mulai difungsikan pada tahun 1916, sebab arsitektur bangunannya yang begitu
identik dengan gaya Eropa yang dipadukan dengan gaya Timur Tengah.
Ornamen yang terdapat pada bagian Pagar Teras Masjid (Syahrul R /2017) |
Masjid Rao Rao dibangun secara bergotong royong oleh
masyarakat atas prakarsa dari salah seorang pemuka masyarakat yang ada saat
itu, yakni Abdurrahman Datuak Maharajo Indo.
Selain itu ia menyebutkan, seiring dengan ekspansi
kolonial Belanda ke pedalaman Minangkabau maka sedikit banyaknya berpengaruh
pada bentuk arsitektur bangunan yang ada masa itu.
Salah satu bentuk pengaruh tersebut ialah Masjid Rao Rao
mulai dibangun dengan menggunakan semen atau beton, sementara sejatinya masjid
kuno Minangkabau dibangun dengan material kayu.
Lebih lanjut dijelaskannya masjid ini memiliki tiang
sebanyak 24 buah yang menopang bangunan masjid, yang mana semua tiang tersebut
merupakan sumbangan dari masing-masing penghulu yang ada di daerah tersebut
sebagai wujud partisipasi mereka dalam pembangunan masjid.
Sementara itu terdapat empat tiang utama yang ada di
tengah-tengah ruangan masjid, keempat tiang ini merupakan lambang dari
keberadaan empat suku besar yang ada di daerah tersebut, yaitu Suku Patapang
Kutianyia, Bendang Mandahiliang, Bodi Chaniago dan Koto Piliang.
Interior Bangunan Masjid dengan Empat Tiang Utama (Syahrul R/2017) |
Atap masjid ini memiliki bentuk yang unik dibanding beberapa masjid lain yang ada di Minangkabau, pada puncak atap masjid ini terdapat menara yang di atasnya berada empat buah atap gonjong.
Empat buah atap gonjong ini menghadap ke segala penjuru
mata angin dan keberadaannya merupakan salah satu bentuk pengaruh dari bentuk
arsitektur tradisional Minangkabau, yaitu atap gonjong.
Selain itu, BPCB Batusangkar mencatat pada masjid ini
setidaknya terdapat tiga langgam rupa bangunan yang kental
dengan corak arsitektural dari tiga bangsa yaitu Melayu atau Minangkabau,
Eropa (Italia dan Belanda), dan Timur Tengah (Persia).
Sentuhan Eropa terlihat dari keberadaan tiang-tiang yang
berdiri kokoh pada bangunan masjid serta ditambah dengan marmer pada lantai
yang memiliki bentuk unik.
Keunikan marmer masjid ini lantaran bahan yang digunakan
merupakan produk asli Eropa yang sengaja di datangkan ke Rao Rao Tanah Datar.
Singkat cerita, pada tahun 1916 masjid ini belum memiliki
lantai marmer, hal tersebut terjadi lantaran keterbatasan dana yang sebelumnya
sudah digunakan untuk pembangunan masjid.
Guna mengatasi hal tersebut maka berangkatlah beberapa
orang pemuka nagari Rao Rao ke Malaysia guna mencari perantau untuk memberikan
sumbangan dana untuk pemasangan marmer.
Setelah didapatkan, maka marmer langsung di pesan ke
Italia yang selanjutnya dikirimkan menggunakan kapal. Sebelum sampai di Teluk Bayur
Padang, kapal tersebut sempat singgah di Selat Malaka.
Setelah sampai di Teluk Bayur, marmer tersebut kemudian
dibawa dengan menggunakan kereta api hingga daerah Piladang, kemudian dari
Piladang baru dilanjutkan dengan pedati menuju Nagari Rao Rao.
Selajutnya pada tiang yang terdapat di luar bangunan,
tepatnya pada bagian teras terdapat pelengkung atau pola lengkung yang
menghubungkan antara satu tiang dengan tiang lain, sehingga semakin
memperlihatkan pengaruh Persia pada bangunannya.
Selain itu, ornamen yang terdapat pada dinding, tiang
maupun pagar teras masjid semakin menambah kuat nuansa Persia pada bangunan
tersebut.
Keunikan lain dari masjid ini adalah hampir seratus
persen permukaan mimbarnya dilapisi dengan pecahan keramik atau porselen. Hal tersebut
tentu memberikan sebuah bentuk yang unik dan menjadi ciri khas tersendiri bagi
Masjid Rao Rao
Pecahan kaca yang ditempel pada mimbar tersebut merupakan
pecahan kaca dari keramik dan porselen kepunyaan keluarga Haji Mutahhib yang pecah saat terjadinya gempa pada tahun 1926.
Foto Masjid Rao Rao dari Sisi Utara Bangunan (Syahrul R/2017) |
Menyaksikan Masjid Rao Rao seolah melihat masa seratus tahun yang lalu, dimana masyarakat bergotong royong membangun sebuah sarana beribadah dengan bentuk berbeda dari yang lain.
Melalui masjid Rao Rao akan membuat siapa saja yang
mengunjunginya bahwa nenek moyang orang Minangkabau memiliki selera yang tinggi
terhadap rancangan sebuah bangunan, hal tersebut terlihat dari megahnya
bangunan masjid yang berbeda dari bangunan lain yang dibangun semasa dengannya.
Keberadaan masjid ini sebagai salah satu bangunan cagar
budaya hendaknya terus dijaga kelestariannya sehingga dapat disaksikan oleh
generasi penerus kita untuk puluhan atau bahkan ratusan tahun yang akan datang.
Referensi:
Sudarman, Arsitektur Masjid Dari Masa ke Masa. Padang:
IAIN IB Press, 2014.
Syahrul Rahmat. Masjid Rao-Rao Kabupaten Tanah DatarSumatera Barat (Akulturasi Budaya Dalam Arsitektur Masjid Pada Awal Abad XX). Tesis
Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang, 2018.
_____________, Pengaruh Eropa Terhadap Arsitektur MasjidRao Rao Kabupaten Tanah Datar, dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya BPNB
Padang, Vol
4 No. 1 Tahun 2018.
0 comments:
Post a Comment
Komennya harap yang Sopan ^_^