Tuesday, June 4, 2024

Pagadih, Nagari Eksotis di Belantara Bukit Barisan


Rumah Gadang di Nagari Pagadih (Syahrul R/2024)


Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang 20 menit, akhirnya minibus yang saya tumpangi berhenti di Palupuah. Kedatangan saya disambut Madrid, seorang kawan yang akan membawa saya menuju Pagadih, nagari yang berada cukup jauh dari jalan Lintas Sumatera tersebut. Sore itu, Jumat 25 Desember 2020, menggunakan sebuah sepeda motor matic, kami memulai perjalanan ke Pagadih, nagari yang pernah saya kunjungi beberapa tahun lalu.

 

Secara administratif, Pagadih merupakan nagari (desa adat) yang berada di Kecamatan Palupuah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Untuk mencapainya, terdapat dua alternatif jalan yang dapat dilalui. Pertama melalui Jalan Lintas Sumatera melewati Nagari Pasia Laweh Kecamatan Palupuah, dan kedua melalui Kecamatan Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota.

 

Sepanjang perjalanan, saya disuguhi pemandangan hamparan sawah yang menghijau hingga ke kaki bukit. Separo perjalanan, tepat di sisi kanan jalan di daerah Sungai Guntuang, sebuah air terjun bertingkat tiga tampak mencolok di tengah hijau pepohonan, membuat siapa pun yang melewatinya tertarik singgah untuk mengambil beberapa foto. Memasuki Nagari Pagadih, kami mulai menempuh jalan berbatu, belum seluruh jalan dilapisi aspal, proyek jalur alternatif yang direncanakan melewati daerah itu belum rampung.

 

Suasana Pagi di Nagari Pagadih (Syahrul R/2020)


Menjelang Maghrib, kami mulai bertemu dengan rumah pertama di Nagari Pagadih. Lampu-lampu mulai hidup dari teras dan rumah masyarakat. Suasana jelang malam di nagari tersebut diiringi suara azan yang sayup-sayup tertiup angin dan tingkahi suara serangga uwir-uwir. Madrid menghentikan motornya di sebuah rumah, kami disambut sejumlah orang, saya bersalaman dengan seorang pria berusia lebih dari 60 tahun, yang kemudian kami panggil Pak Tuo.

 

Selepas Shalat Maghrib, bersama seluruh anggota keluarga, kami menyantap hidangan makan malam yang sudah dihidangkan. Selepas makan, sembari melinting tembakau, barulah dimulai percakapan-percakapan kecil. Dari perkenalan singkat, saya ketahui bahwa Pak Tuo memiliki nama lengkap Syamsurijal Datuak Basa. gelar datuak yang disandang di belakang nama menjadi tanda bahwa beliau adalah penghulu suku atau tokoh adat yang dituakan di nagari tersebut.

 

Malam itu suasana begitu cair, disertai candaan, kami bercerita tentang pekerjaan yang saya lakoni, tentang Nagari Pgadih, mulai dari alam, masyarakat, tradisi hingga penggalan-penggalan sejarah yang masih lekat di ingatan beliau. Malam itu adalah kali pertama saya menjejakkan kaki di rumah tersebut dan juga berkenalan dengan Pak Tuo, akan tetapi ada rasa bahwa saya sudah berkenalan lama. Saya bahkan tidak merasa sebagai pendatang atau pun orang asing pada momen tersebut.

 

Barangkali, sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat untuk menyambut baik setiap tamu yang datang dengan niat baik, setidaknya itulah yang saya fikirkan ketika itu. Kebiasaan seperti ini saya fikir akan lazim ditemui pada perkampungan-perkampungan tradisional di Minangkabau. Maka tersesatlah di perkampungan orang Minang dan temukan keluarga baru.


Pak Tuo Syamsurijal Datuak Basa (kanan) Bermain Talempong Pacik (Syahrul R/2020)

 

Pagi di Bukit Tontong

Esoknya, Sabtu pagi, saya memutuskan untuk naik ke Bukit Tontong. Salah satu bukit tertinggi di nagari itu yang memiliki hamparan pemandangan ke arah Kabupaten Limapuluh Kota, tepatnya Koto Tinggi, daerah yang menjadi bagian penting dari sejarah Indonesia. Sekitar pukul 06.30 WIB, saya dan Madrid ditemani oleh Ihsan, seorang anak Pagadih yang cukup mengenal hutan di daerah tersebut. Sekalipun sudah cukup kesiangan untuk tujuan mengambil foto, tapi tidak menyurutkan niat kami untuk melihat Pagadih dan Koto Tinggi dari ketinggian.

 

Kabut tipis sudah mulai meninggalkan pucuk pepohonan di perkampungan itu, kami baru sampai separo jalan, hamparan hijau pepohonan, petak-petak sawah, serta rumah berkelompok-kelompok pada sejumlah titik menjadi pemandangan luar biasa pagi itu. Dari balik pebukitan, cahaya menyirami atap-atap rumah warga, asap yang mengepul dari dapur semakin terlihat putih terang diterpa sinar matahari pagi. Beberapa masyarakat mulai beraktifitas, melintas di sepanjang jalan berbatu yang membelah perkampungan.


Pemandangan Jorong Pagadih Mudiak dari Bukik Tontong (Syahrul R/2020)

 

Setelah mengambil sejumlah foto, kami melanjutkan perjalanan ke puncak bukit. Tanjakan menuju puncak Bukit Tontong cukup menguras energi, hanya saja hal tersebut terasa sirna setelah sampai di puncak. Seketika, mata akan dimanjakan oleh hamparan berlapis-lapis bukit yang membentang jauh hingga ke kaki langit. Pada beberapa titik, sejumlah rumah berdiri berkelompok, sawah yang bertingkat-tingkat, hingga ladang yang berada di pinggang-pinggang bukit. Koto Tinggi terlihat tidak kalah indah dari pada Pagadih.

 

Dari ketinggian Bukit Tontong, satu bangunan di daerah Koto Tinggi begitu mencuri perhatian, yaitu Bangunan Museum PDRI. Museum tersebut sengaja dibangun di daerah tersebut sebagai pengingat bahwa Koto Tinggi merupakan salah satu daerah yang menjadi lokasi penting pada masa mempertahankan kemerdekaan RI semasa Agresi Militer Belanda II dengan Mr. Syafroedin Prawiranegara sebagai tokoh sentralnya kala itu.


Tidak hanya pemandangan kampung dari ketinggian, atau pun hamparan pesawahan serta beberapa rumah gadang dengan atapnya yang runcing menjulang, Pagadih juga punya sebuah air terjun yang mempesona. Berada di belantara Bukit Barisan dan gugusan kars atau bukit kapur, menjadi salah satu alasan kenapa terdapat sejumlah goa atau ceruk di daerah ini. Salah satu goa yang cukup dikenal adalah Goa Tuanku Imam Bonjol, penamaan ini berkaitan dengan sosok Tuanku Imam Bonjol yang terkenal sebagai pejuang pada masa Perang Paderi di masa lalu.


Sejumlah Anak Nagari Pagadih (Syahrul R/2020)

 

Terlibat Tiga Peristiwa Bersejarah di Minangkabau 

Perbincangan saya bersama Pak Tuo Datuak Basa, diketahui bahwasanya Pagadih berawal dari adanya migrasi Masyarakat dari daerah Kamang. Rombongan masyarakat yang dipimpin oleh beberapa tokoh adat tersebut kemudian manaruko (membuka lahan) ke arah utara, tepatnya Pagadih saat ini.

 

Sebagaimana Minangkabau pada umunya, Minangkabau terlibat dalam tiga persitiwa besar, pertama Gerakan dan Perang Paderi pada awal abad ke-19 Masehi. Kedua adalah gerakan mempertahankan kemerdekaan RI pada masa Agresi Militer Belanda II yang dimulai dari akhir tahun 1948 yang dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Terakhir adalah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958.

 

Pada kunjungan ke Pagadih, saya sempat berbincang dengan salah seorang masyarakat yang memiliki sejumlah naskah kuno, Ujang Karitiang. Ia memiliki sejumlah naskah, dua diantaranya adalah naskah tambo alam Minangkabau yang ditulis dengan aksara Arab Melayu dan satu lainnya adalah naskah tentang Perang Paderi. Sayangnya, pada kunjungan tersebut saya belum berkesempatan melihat naskah secara langsung.

 

Selain itu, keberadaan Goa Imam Bonjol setidaknya menjadi salah satu bukti yang tidak dapat diabaikan terkait peristiwa Paderi di masa lalu. Sekalipun tidak ditemukan artefak, setidaknya penamaan goa tersebut berkaitan dengan memori kolektif yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

 

Terkait Peristiwa PDRI, Ujang Karitiang menuturkan bahwa terdapat beberapa tinggalan yang saat ini ada di nagari tersebut. Dua benda yang dipercaya sebagai benda yang dulunya adalah benda-benda yang digunakan oleh Mr. Syafroeddin adalah sebuah teropong dan tongkat.

 

Selain itu, Bukit Tontong juga menjadi bagian dari peristiwa tersebut. Berdasarkan tuturan masyarakat, sejarah penamaan Bukit Tontong berkaitan dengan Peristiwa PDRI, dimana bukit tersebut merupakan lokasi untuk mengintai pergerakan Belanda. Ketika Belanda terpantau akan memasuki perkampungan, maka dari bukit tersebut akan dikirim sinyal peringatan dengan menggunakan kentongan dengan bunyi 'tong tong tong tong'.

 

Begitu juga dengan PRRI, atau bagi masyarakat lokal dikenal dengan sebutan Peri Peri. Pagadih juga menjadi salah satu daerah yang tidak luput dari peristiwa tersebut. Penggalan-penggalan peristiwa tersebut masih teringat oleh beberapa masyarakat yang sudah berumur di Pagadih. Salah satunya pernah saya dengar dari almarhum Antan (kakek) Madrid, ketika berkunjung beberapa tahun lalu.


(Syahrul R/2020)


Pagadih adalah salah satu dari banyak desa yang memiliki banyak daya tarik di Minangkabau. Selain menyajikan lanskap alam yang memanjakan mata, aktifitas dan keramahan masyarakat menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan. Tidak hanya itu, beberapa peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di daerah ini menjadi nilai tambah untuk menjadikan Pagadih sebagai sebuah nagari nan eksotis.****



*Artikel ini pernah dipublikasikan di halaman cerano.id pada Januari 2021


Continue reading Pagadih, Nagari Eksotis di Belantara Bukit Barisan
,

Anak Tambua Nagari Pagadih, dari Gelanggang ke Gelanggang


(Syahrul R/2020)

Langit terlihat cerah malam itu, sejumlah bintang timbul tenggelam di balik awan tipis yang bergerak pelan. Kerlip bintang begitu kentara dalam pekat malam, bohlam lampu lima watt bercahaya redup di teras-teras rumah. Dari kejauhan, dentuman gendang kulit bertalu-talu memecah sunyi.

 

Sebuah rumah di Jorong Pagadih Mudiak Nagari Pagadih Kecamatan Palupuah Kabupaten Agam Sumatera Barat malam itu begitu ramai. Puluhan pasang mata tertuju pada sejumlah anak yang asik menabuh tambua (alat musik tradisional Minang berupa gendang dari kulit). Dentuman gendang itu semarak di tengah tingkah tasa yang pukul menggunakan sepasang rotan.

 

Siang sebelumnya, sebuah pesta pernikahan baru dilangsungkan di rumah tersebut. Arak-arakan pengantin di jalanan kampung berbatu disemarakkan oleh Anak Tambua (pemain musik tambua). Seolah tidak puas sekedar ditemani dalam arak-arakan, malam itu Anak Tambua kembali unjuk kebolehan, dalam ritme yang mereka ciptakan sendiri, anak-anak usia sekolah itu pun ikut hanyut dalam alunan perkusi.

 

Sudah hampir tengah malam ketika dentuman terakhir bergema di langit Pagadih. Penonton bertepuk tangan, senyum sumringah terpancar dari wajah-wajah muda itu ketika mereka perlahan menurunkan tambua dari gendongan. Setelah menyantap hidangan yang disediakan tuan rumah, mereka bersiap kembali ke rumah masing-masing, esok masih ada alek (pesta) yang harus dimeriahkan.

 

"Stick tambua jangan sampai hilang!" Madrid, pria 27 tahun yang menjadi pelatih tambua kembali memperingati mereka, pasalnya, pada Sabtu 26 Desember 2020, masih ada pesta pernikahan lain yang harus dimeriahkan.

 

Esoknya, matahari sudah naik sepenggalah, hawa dingin perkampungan yang ada di belantara Bukit Barisan masih terasa di permukaan kulit. Api unggun kecil dihidupkan di halaman sebuah rumah, tidak jauh dari bangunan serba guna tempat alat-alat musik itu disimpan. Bukan manusia, unggun kecil itu dikelilingi sejumlah tambua yang pada malam sebelumnya ditabuh tanpa ampun.

 

Bukan tanpa sebab, kulit binatang yang menjadi sumber bunyi pada alat musik pukul itu perlu dipanaskan untuk kembali memiliki suara nyaring ketika ditabuh. Udara dingin dan lembab di daerah itu membuat kulit pada tambua jadi melempem. Sehingga menyangai dengan api menjadi salah satu pilihan untuk membuatnya kembali tegang dan bersuara nyaring.

 

Tidak kurang dari sepuluh orang anak sudah berkumpul pagi itu, mereka berebut memilih setelan yang akan digunakan untuk tampil. Sarawa Galembong, baju hitam, destar, serta ikat pinggang dari kain songket berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Setelah berpakaian, mereka mulai bertolak menuju rumah tempat anak daro jo marapulai (pengantin) diarak pagi itu.

 

Sebuah pesta pernikahan kembali semarak dengan iringan musik tradisional tambua. Sebelum berhenti, sebuah pertunjukan singkat pun ditampilkan, Azis, bocah kelas tiga sekolah dasar ikut unjuk kebolehan. Tangan kecilnya mahir mengayunkan stick ke permukaan tambua, sementara tubuhnya hanya dua kali tinggi tambua. Tingkah tasa, alunan pupuik sarunai (serunai) dan juga melodi talempong pacik menggema di perkampungan.

 

Tidak sampai di situ, esoknya adalah pertunjukan terakhir mereka di tahun 2020. Bukan lagi pesta perkawinan, alek yang lebih besar menunggu mereka, yakni perayaan khatam al-Quran. Salah satu perayaan besar dalam skala nagari di Minangkabau.

 

Minggu pagi di penghujung Bulan Desember, tambua kembali bertalu-talu di Nagari Pagadih. Arak-arakan menempuh jalanan berbatu, ratusan pasang mata tertuju pada barisan peserta khatam al-Quran yang kerap disebut angku haji serta anak tambua yang berada di barisan belakang. Sebelum berhenti, sebuah pertunjukan singkat kembali dipertontonkan, terik matahari tidak mengurangi semangat para anak tambua menyuguhkan hiburan kepada masyarakat yang berdiri mengelilingi mereka.

 

Sanggar Seni Sarasah Maimbau saat mengiringi perayaan khatam Al-Quran (Syahrul R/2020)

 

Membangkitkan Kesenian Tradisi

 

Belum lama ketika Madrid kembali ke kampung kelahiran orang tuanya itu, berbekal pengalaman semasa kuliah di unit kegiatan mahasiswa yang bergerak di bidang kesenian, ia mencoba menghidupkan kembali kesenian anak nagari. Terhitung semenjak Agustus 2020 ketika ia memulai itu semua, bersama sejumlah orang, ia mengumpulkan kembali anak-anak untuk diajak berlatih kesenian, mulai dari musik hingga tari.

 

Ihsan (15), seorang siswa SMP adalah salah satu anak yang tertarik untuk berlatih. Baginya, bermain musik tradisi menjadi salah satu hiburan dalam mengisi waktu luang. Berbeda dengan anak-anak seusianya di daerah lain, Ihsan bersama anak-anak yang besar di Pagadih tidak begitu akrab dengan games yang ada di gadget atau smastphone. Keterbatasan akses telekomunikasi ke daerah tersebut menjadi salah satu alasan mengapa interaksi sosial secara langsung menjadi hal biasa di Nagari Pagadih.

 

Tidak hanya Ihsan, Azis (9) adalah anak lain yang juga ikut bergabung dalam Sanggar Seni Sarasah Maimbau. Dapat dikatakan ia adalah anggota termuda yang ikut belajar untuk menabuh alat musik tradisi tersebut. Baginya, belajar tambua adalah hiburan dan juga permainan.

 

"Bang, latihan wak lai," ajak Azis kepada Madrid ketika saya baru menginjakkan kaki di nagari Pagadih. Ajakan untuk latihan itu disampaikannya secara berulang-ulang, sampai akhirnya Madrid beranjak dari duduknya.


Bagi Ihsan, Azis dan belasan anak lain, belajar tambua hingga tampil pada berbagai kegiatan di nagari menjadi sebuah prestasi tersendiri. Tidak ada embel-embel finasial di sini, sebab pada setiap penampilan mereka hanya dibayar seadanya, tergantung kemampuan dari pihak yang mengundang.


"Sebagian uang tersebut disimpan sebagai kas, sebagian lainnya dipakai untuk membakar ikan bersama anak-anak sanggar," ujar Madrid.

Penampilan Sanggar Seni Sarah Maimbau (Syahrul R/2020)



*Artikel ini pernah dipublikasikan di halaman cerano.id pada Januari 2021


Continue reading Anak Tambua Nagari Pagadih, dari Gelanggang ke Gelanggang

Wednesday, December 4, 2019

,

Masjid Rao Rao, Bangunan Antik Peninggalan Awal Abad ke-20

Masjid Rao Rao Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (Syahrul R/2017)
Rasa penat akibat perjalanan sejauh lebih kurang 115 kilometer dari Kota Padang menuju Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat seolah menguap begitu saja ketika sampai pada sebuah masjid dengan arsitektur yang indah.
Di nagari Rao Rao Kecamatan Sungai Tarab, tepat  di sebelah kiri jalan dari arah Batusangkar, sebuah masjid kuno yang dibangun dengan material beton berdiri megah dengan ornamen-ornamen khas Timur Tengah dan Eropa.
Masjid Rao Rao, begitulah masjid yang telah berumur lebih dari seratus tahun ini biasa disebut oleh masyarakat, penamaannya sesuai dengan tempat dimana masjid tersebut didirikan, yakni nagari Rao Rao.
Memasuki pekarangan masjid, suasana seakan membawa setiap pengunjungnya ke masa masjid ini dibangun, yakni awal abad ke 20 masehi atau oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar disebutkan masjid ini mulai difungsikan pada tahun 1916, sebab arsitektur bangunannya yang begitu identik dengan gaya Eropa yang dipadukan dengan gaya Timur Tengah.
Ornamen yang terdapat pada bagian Pagar Teras Masjid (Syahrul R /2017)

Masjid Rao Rao dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat atas prakarsa dari salah seorang pemuka masyarakat yang ada saat itu, yakni Abdurrahman Datuak Maharajo Indo.
Selain itu ia menyebutkan, seiring dengan ekspansi kolonial Belanda ke pedalaman Minangkabau maka sedikit banyaknya berpengaruh pada bentuk arsitektur bangunan yang ada masa itu.
Salah satu bentuk pengaruh tersebut ialah Masjid Rao Rao mulai dibangun dengan menggunakan semen atau beton, sementara sejatinya masjid kuno Minangkabau dibangun dengan material kayu.
Lebih lanjut dijelaskannya masjid ini memiliki tiang sebanyak 24 buah yang menopang bangunan masjid, yang mana semua tiang tersebut merupakan sumbangan dari masing-masing penghulu yang ada di daerah tersebut sebagai wujud partisipasi mereka dalam pembangunan masjid.
Sementara itu terdapat empat tiang utama yang ada di tengah-tengah ruangan masjid, keempat tiang ini merupakan lambang dari keberadaan empat suku besar yang ada di daerah tersebut, yaitu Suku Patapang Kutianyia, Bendang Mandahiliang, Bodi Chaniago dan Koto Piliang.
Interior Bangunan Masjid dengan Empat Tiang Utama (Syahrul R/2017)

Atap masjid ini memiliki bentuk yang unik dibanding beberapa masjid lain yang ada di Minangkabau, pada puncak atap masjid ini terdapat menara yang di atasnya berada empat buah atap gonjong.
Empat buah atap gonjong ini menghadap ke segala penjuru mata angin dan keberadaannya merupakan salah satu bentuk pengaruh dari bentuk arsitektur tradisional Minangkabau, yaitu atap gonjong.
Selain itu, BPCB Batusangkar mencatat pada masjid ini setidaknya terdapat tiga langgam rupa bangunan yang kental dengan corak arsitektural dari tiga bangsa yaitu Melayu atau Minangkabau, Eropa (Italia dan Belanda), dan Timur Tengah (Persia).
Sentuhan Eropa terlihat dari keberadaan tiang-tiang yang berdiri kokoh pada bangunan masjid serta ditambah dengan marmer pada lantai yang memiliki bentuk unik.
Keunikan marmer masjid ini lantaran bahan yang digunakan merupakan produk asli Eropa yang sengaja di datangkan ke Rao Rao Tanah Datar.
Singkat cerita, pada tahun 1916 masjid ini belum memiliki lantai marmer, hal tersebut terjadi lantaran keterbatasan dana yang sebelumnya sudah digunakan untuk pembangunan masjid.
Guna mengatasi hal tersebut maka berangkatlah beberapa orang pemuka nagari Rao Rao ke Malaysia guna mencari perantau untuk memberikan sumbangan dana untuk pemasangan marmer.
Setelah didapatkan, maka marmer langsung di pesan ke Italia yang selanjutnya dikirimkan menggunakan kapal. Sebelum sampai di Teluk Bayur Padang, kapal tersebut sempat singgah di Selat Malaka.
Setelah sampai di Teluk Bayur, marmer tersebut kemudian dibawa dengan menggunakan kereta api hingga daerah Piladang, kemudian dari Piladang baru dilanjutkan dengan pedati menuju Nagari Rao Rao.
Selajutnya pada tiang yang terdapat di luar bangunan, tepatnya pada bagian teras terdapat pelengkung atau pola lengkung yang menghubungkan antara satu tiang dengan tiang lain, sehingga semakin memperlihatkan pengaruh Persia pada bangunannya.
Selain itu, ornamen yang terdapat pada dinding, tiang maupun pagar teras masjid semakin menambah kuat nuansa Persia pada bangunan tersebut.
Keunikan lain dari masjid ini adalah hampir seratus persen permukaan mimbarnya dilapisi dengan pecahan keramik atau porselen. Hal tersebut tentu memberikan sebuah bentuk yang unik dan menjadi ciri khas tersendiri bagi Masjid Rao Rao
Pecahan kaca yang ditempel pada mimbar tersebut merupakan pecahan kaca dari keramik dan porselen kepunyaan keluarga Haji Mutahhib yang pecah saat terjadinya gempa pada tahun 1926.
Foto Masjid Rao Rao dari  Sisi Utara Bangunan (Syahrul R/2017)

Menyaksikan Masjid Rao Rao seolah melihat masa seratus tahun yang lalu, dimana masyarakat bergotong royong membangun sebuah sarana beribadah dengan bentuk berbeda dari yang lain.
Melalui masjid Rao Rao akan membuat siapa saja yang mengunjunginya bahwa nenek moyang orang Minangkabau memiliki selera yang tinggi terhadap rancangan sebuah bangunan, hal tersebut terlihat dari megahnya bangunan masjid yang berbeda dari bangunan lain yang dibangun semasa dengannya.
Keberadaan masjid ini sebagai salah satu bangunan cagar budaya hendaknya terus dijaga kelestariannya sehingga dapat disaksikan oleh generasi penerus kita untuk puluhan atau bahkan ratusan tahun yang akan datang.

Referensi:
Sudarman, Arsitektur Masjid Dari Masa ke Masa. Padang: IAIN IB Press, 2014.
_____________, Pengaruh Eropa Terhadap Arsitektur MasjidRao Rao Kabupaten Tanah Datar, dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya BPNB Padang, Vol 4 No. 1 Tahun 2018.

Artikel pernah diterbitkan di halaman Antara Sumbar dengan judul Kemegahan Arsitektur Masjid Rao Rao Tanah Datar
Continue reading Masjid Rao Rao, Bangunan Antik Peninggalan Awal Abad ke-20

Friday, September 14, 2018

,

Penenun Songket di Kaki Gunung Singgalang


“Saya belajar menenun secara otodidak, berawal dari melihat ibu yang juga seorang pengrajin songket,” tuturnya.

Puti Centia Wulan,seorang penenun asal Pandai Sikek sedang menyelesaikan sehelai tenunan menggunakan alat tenun berupa rangkaian kayu yang disebut dengan panta

Di tepi hamparan ladang sayuran, pada sebuah rumah, seorang wanita tengah sibuk menyusun benang emas diantara benang-benang lainnya, di atas sebuah rangkaian kayu yang dikenal masyarakat dengan panta.

Hawa dingin menyelimuti Pandai Sikek siang itu, sebuah nagari setingkat desa yang berada di kaki Gunung Singgalang Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Dihadapannya, suri yang merupakan sebutan pengrajin tenun untuk benang yang membentang di sepanjang panta diregangkan dengan sebilah kayu bernama sangka.

Sesekali dentangan kayu terdengar ketika wanita tersebut merapatkan benang emas yang sudah disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah motif.

Puti Centia Wulan, seorang wanita berumur 25 tahun duduk di ujung panta, tangannya meliuk-liuk diantara ratusan benang, di hadapannya lebih kurang sepanjang satu meter songket hampir selesai ditenun.

Semenjak beberapa hari yang lalu ia sudah sibuk mengerjakan sebuah selendang songket dengan ukuran lebar 50 sentimeter dan panjang dua meter.

“Saya belajar menenun secara otodidak, berawal dari melihat ibu yang juga seorang pengrajin songket,” tuturnya.

Menenun menurutnya merupakan keahlian yang biasa dimiliki oleh setiap perempuan di kawasan Pandai Sikek yang telah diwarisi secara turun temurun.

Tanpa melalui pelatihan khusus, Puti yang sudah mulai menenun semenjak tahun 2011 tersebut menyebutkan selama ini ia telah menerima upah untuk menenun dengan bahan disediakan oleh pengusaha songket yang ada di daerah tersebut.

Dari sekian banyak motif Songket Pandai Sikek, menurutnya yang paling rumit untuk dikerjakan adalah motif Pucuak Tari Bali, dikarenakan motifnya yang halus sehingga dituntut ketelitian ekstra saat mengerjakan.

 Penenun sedang mengerjakan tenunan berupa selendang songket

Sembari melanjutkan pekerjaannya, Puti menceritakan dalam satu bulan ia mampu menyelesaikan empat hingga lima helai songket dengan upah yang beragam.

Untuk menyelesaikan sebuah selendang songket bermotif tabur dengan ukuran panjang dua meter dan lebar 50 atau 30 sentimeter, ia menerima upah sebanyak Rp300.000 rupiah  dengan lama pengerjaan selama lima hari.

Apabila selendang tersebut dipenuhi oleh benang emas atau yang biasa dikenal dengan istilah balapak, maka upah per helainya adalah Rp400.000 rupiah.

Sementara untuk songket dengan ukuran lebih besar, maka dapat menghabiskan waktu hingga sepuluh hari. Bahkan untuk songket berbahan sutera bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Puti menambahkan, upah tersebut diterima untuk pengerjaan songket dengan bahan katun, apabila menggunakan bahan sutera maka upahnya bisa mencapai Rp600.000 rupiah.

“Penghasilan sebagai pengrajin songket selama ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta untuk biaya sekolah anak,” ujarnya

Salah seorang pengusaha Songket Pandai Sikek  yang telah merintis usaha semenjak tahun 1985, Erma Yulnita mengatakan, untuk songket yang dipasarkannya, ia memiliki pengrajin sendiri yang saat ini berjumlah lebih kurang 250 orang.

Para pengarajin tersebut merupakan perempuan-perempuan di Nagari Pandai Sikek yang sejak dahulu sudah terkenal sebagai penenun songket.

Karena sudah ada sejak lama, maka motif-motif yang ada pada tenun songket merupakan motif klasik yang begitu identik dengan Minangkabau.

Setidaknya terdapat lebih dari 350 motif klasik, akan tetapi yang sering kali diproduksi adalah motif Itiak Pulang Patang, Saik Ajik, Lapiak Ampek, Pucuak Rabuang, Kunang-kunang dan lain sebagainya.

Salah satu hasil jadi Songket Pandai Sikek

Ia menyebutkan hingga saat ini songket masih memiliki daya tarik bagi wisatawan yang datang berkunjung ke Sumbar, terutama ke Pandai Sikek.

Dari seluruh wisatawan yang berbelanja songket kepadanya, 80 persen diantaranya adalah wisatawan lokal yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Selain pengunjung yang datang berbelanja langsung, ia juga melayani pesanan ke beberapa daerah seperti Jakarta, Kalimantan, Lampung, Sulawesi serta beberapa daerah lainnya.

Keunikan motif Songket Pandai Sikek menjadi salah satu alasan bagi para wisatawan untuk menjadikannya sebagai cindera mata dari Sumbar.

Tak hanya wisatawan dalam negeri, Erma menuturkan bahkan wisatawan manca negara juga sangat tertarik dengan songket, selain berbelanja ketika berkunjung, ia juga sudah pernah mengirimkan songket ke luar negeri.

Menurutnya, sekalipun tidak serutin pengiriman di dalam negeri, akan tetapi permintaan dari luar negeri tetap ada dan cukup tinggi, seperti dari Amerika, Australia dan Jepang.

Harga yang ditawarkan pun beragam, mulai dari yang termurah seharga Rp1.500.000 rupiah hingga yang paling mahal seharga Rp15 juta rupiah, tergantung dari bahan yang digunakan.

“Untuk bahan dari sutera maka akan dihargai sebesar Rp15 juta, sementara songket termurah dimulai dari harga Rp1.500.000 rupiah terbuat dengan bahan katun,” katanya.

Sekalipun demikian, kadangkala pihaknya cukup mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, terutama benang emas yang harus didatangkan dari luar negeri, yaitu India dan Jepang.

Apabila kondisi dolar tidak stabil maka Erma akan kesulitan mendapatkan bahan tersebut, sehingga berdampak pada produksi, seperti beberapa waktu lalu sempat terhenti selama satu bulan lantaran ketiadaaan bahan.

Pada pertengahan Ramadhan lalu, ia menyebutkan pasokan benang emas sempat terputus, sementara permintaan songket tinggi, sehingga mau tidak mau produksi tidak dapat dilakukan.


Selain benang emas yang harus didatangkan dari luar negeri, bahan lain yang dibutuhkan adalah katun dan sutera, kedua bahan ini lebih mudah didapatkan karena tersedia di dalam negeri.

Penenun menguntai benang emas sebagai motif diantara benang katun

Selain itu, Puti Centia Wulan mengatakan menenun merupakan keahlian yang harus tetap dipelajari oleh setiap perempuan Minang terutama Pandai Sikek, sebab dengan keahlian tersebut setiap generasi muda dapat ikut melestarikan tradisi.

“Suatu saat nanti pun saya akan mengajarkan anak saya tentang tata cara menenun, sebab keahlian ini sudah dilestarikan secara turun temurun,” tutup Puti seraya menyelesaikan tenunannya.


Artikel ini pernah dimuat pada halaman Antara Sumbar.

Continue reading Penenun Songket di Kaki Gunung Singgalang

Friday, August 10, 2018

Saatnya Napi Tipikor Ikut Membangun Negeri

Pekerja di Lubang Suro, Sawahlunto

"Selain barang mewah, para napi juga kedapatan menyimpan uang mencapai ratusan juta rupiah, kata Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami melakukan sidak di Lapas Sukamiskin, Minggu (22/7) malam. (Detik.com)"



Kehidupan di penjara barangkali akan memberikan gambaran yang horor lagi sadis bagi setiap orang yang mendengarnya. Betapa tidak, pada film Sengsara Membawa Nikmat yang mulai ditayangkan oleh TVRI pada tahun 1991, kehidupan penjara tidaklah begitu indah. Sandy Nayoan yang saat itu memainkan tokoh Midun terpaksa harus mendekam di penjara lantaran perselisihannya dengan Kacak (tokoh antagonis dalam cerita tersebut). Ketika berada di penjara, Midun menerima intimidasi dan bahkan terpaksa harus terlibat perkelahian dengan tawanan lain.

Dalam film The Shawshank Redemption (1994) karakter Andy Dufresne pun tak dapat menjalankan hukuman dengan baik. Bogs yang menjadi pimpinan gang The Sisters, penguasa di Shawshank tak henti-hentinya mengintimidasi Andy dengan tindak kekerasan. Bahkan pada salah satu tindak kekerasan yang diterimanya dari pimpinan gang tersebut, Andy malah berakhir di rumah sakit.
Akan tetapi hal tersebut merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam film, sangat berbeda dengan apa yang pemberitaan yang beredar di media masa belakangan ini. Pada pemberitaan tersebut, beberapa oknum narapidana menjalani kehidupannya dengan bahagia di balik jeruji besi. Kehidupan tersebut tentunya ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang cukup baik, bahkan lebih baik dari pada fasilitas kos-kosan mahasiswa yang sedang mempersiapkan diri untuk membangun bangsa.

Pada sidak yang dilakukan oleh Dirjen PAS Kemenkumham ke Lapas Sukamiskin Jawa Barat beberapa waktu lalu, beberapa temuan berhasil menohok ulu hati jajaran anak kos yang tersebar di seluruh Indonesia. Dua truk barang mewah berhasil disita, mulai dari dispenser, televisi, kulkas, pendingin ruangan, pemanas nasi dan bahkan uang hingga ratusan juta rupiah. Sangat berbanding terbalik dengan fasilitas anak kos yang harus rela tidur berpanas-panasan, numpang masak nasi di ricecooker teman sebelah hingga nonton tv di warung pinggir jalan.

Tak lepas dari situ, bahkan sempat-sempatnya lapas tersebut menyediakan saung. Saung guys, bayangin, sauung, kayak temapt pikni aja. Barangkali kehidupan di penjara harus dinetralisir dengan nyantai di saung tiap pagi dan sore, sambil menikmati seduhan arabica ditemani sepiring biskuit dengan ditemani alunan musik jazz. Ah, bahagianya.

Kalau cuaca panas tinggal ambil batu es untuk kemudian dicampur ke dalam gelas berisi minuman penambah energi. Kalau bosan tinggal hidupin televisi dan menonton sinetron dan berbagai tayangan konyol, tentu saja sambil ngemil kacang polong yang sebelumnya sudah diselundupkan. Kalau cemilannya habis tinggal pesen, kan duitnya juga udah diselundupin.

Sekalipun demikian, sangat disayangkan mereka yang mendekam dan terlena dengan fasilitas tersebut tidak dapat berkontribusi untuk bangsa. Dari lubuk hati yang paling dalam, lebih dalam dari pada cinta remaja-remaja alay kepada idola kpop, narapidana tipikor tersebut hendaknya diberikan kesempatan berbakti untuk negeri. Tak usah muluk-muluk, cukup beri mereka peluang untuk membangun, ya, benar-benar membangun.

Program Nawacita Presiden Jokowi saat ini sebenarnya menjadi peluang bagi mereka untuk ikut membangun bangsa. Pembangunan jembatan dan jalan gencar dilakukan diberbagai daerah pelosok Indonesia. Dalam hal ini, kontribusi mereka tentu saja bukan sebagai pihak yang memegang tender atau pun yang mengatur lalu lintas keuangan proyek, melainkan menjadi pekerja, takutnya kebiasaan menyimpan sebagian duit proyek akan kembali kambuh.

Sebagaimana yang pernah dipraktikan oleh Belanda di kawasan Hindia selama masa kolonialisasinya, para narapidana dipaksa untuk bekerja. Kerja, kerja, kerja dan kerja. Hasil kerja paksa tersebut tentu saja memberikan keuntungan yang banyak bagi mereka.

Pada masa-masa tersebut, para narapidana kerja paksa dikirim ke berbagai daerah di Hindia untuk membantu mereka dalam mengerjakan proyek-proyek besar. Mereka
 menjalani kerja paksa di luar daerah dengan bekerja pada proyek-proyek, seperti tambang batu bara di Sawahlunto (Ombilin), proyek pembuatan jalan di Sumatera Tengah, Aceh, Tapanuli, Ambon, Sulawesi, Bali, dan berbagai daerah lainnya.

Tidak hanya itu, saat terjadi peperangan antara pihak Belanda melawan pribumi, keberadaan tahanan juga menjadi keuntungan tersendiri bagi mereka. Sebagai contoh, pada perang Sabil yang terjadi antara Belanda melawan Aceh, mereka dimanfaatkan sebagai pemikul perbekalan serta peluru.

Nah, seandainya hal tersebut juga terfikir oleh pemerintah saat ini, bukan dengan niat untuk berlaku kejam, akan tetapi lebih kepada niat untuk menfasilitasi narapidana tipikor tersebut untuk membaktikan diri kepada bangsa. Alangkah bermanfaatnya jika anggaran yang digunakan untuk mengupah para pekerja dalam membangun fasilitas publik di negeri ini dapat diirit. Sebab para terpidana tersebut pasti ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat, memberikan kontribusi kepada negara yang mereka cintai ini.

Bahkan mereka juga sangat potensial untuk dikirim ke luar negeri menjadi sukeralawan. Membantu petugas perdamaian sebagi juru masak pada kamp-kamp prajurit, bahkan mereka juga berkesempatan untuk membantu negara-negara miskin untuk bisa hidup layak dan sehat. Semoga Allah memberikan pahala yang besar bagi mereka nantinya dan yang paling penting adalah semua itu dilakukan secara sukarela alias graaaaatis tis tis tis tis, tanpa bayaran.

Seandainya hal tersebut dapat terealisasi, masih ada beberapa hal yang menarik untuk terus diikuti, yaitu Drama Papa. Pada kegiatan yang harusnya bertema Napi Tipikor Berbakti Untuk Bangsa tersebut, Papa tetap menjadi pemeran utama yang tidak boleh luput dari perhatian. Papa yang telah memulai debutnya pada Drama Minta Saham, Drama Tiang Listrik, Drama Benjolan Bakpao hingga terakhir Drama Sel Pinjaman, dapat dipastikan akan memainkan drama baru.
*
Continue reading Saatnya Napi Tipikor Ikut Membangun Negeri

Thursday, June 7, 2018

,

Menengok Pengolahan Sagu di Bumi Sikerei

Langit mulai diselimuti mendung ketika pompong yang merupakan sebutan masyarakat Mentawai untuk sebuah sampan kecil berkapasitas tujuh orang membelah Sungai Bat Oinan Puro.

Menyusuri Sungai Bat Oinan Puro

Di kemudi, Nikodemus Sabulukkungan seorang pria paro baya tengah menuju lokasi tempat pengolahan sagu di kawasan Dusun Puro, Desa Muara Siberut Kecamatan Siberut Selatan, Mentawai Sumatera Barat.

Setelah merapat, diantara pepohonan sagu yang menjulang ia mulai menatak sebuah pohon sagu yang sudah tumbang. Dengan sebilah kapak, ia kemudian memisahkan antara kulit dan isi pohon yang sebelumnya sudah dibagi menjadi potongan sepanjang lebih kurang 70 sentimeter.

Gerimis mulai turun ketika ia sibuk mempersiapkan sagu yang yang merupakan makanan pokok masyarakat Mentawai untuk kemudian diparut menggunakan parutan tradisional yang disebut dengan gagaji.

Setelah selesai diparut menggunakan alat tradisonal gagaji, sagu tersebut kemudian dibawa menuju dereat, sebuah alat pengolahan lainnya untuk kemudian dipisahkan antara sari dan ampasnya.

Dereat sendiri terdisi dari beberapa bagian, pada bagian paling atas terdapat sebuah wadah bersegi empat tempat memeras sagu menggunakan air yang disebut dengan  karuk.

Menggunakan timba dengan bahan pelepah sagu, Nikodemus menimba air ke dalam karuk agar sari dari sagu ikut mengalir bersama air menuju ke saringan yang ada di bawahnya.

Tepat di bawah saringan terdapat dedeibu, sebuah wadah berupa sampan kecil menampung cucuran air disertai dengan sari dari parutan sagu yang sebelumnya sudah diperas.

Sembari tetap memeras sagu, ia menuturkan butuh waktu hingga dua jam agar sari pati sagu dapat benar-benar berpisah dengan air perasan, setelahnya barulah didapatkan sagu yang siap untuk dikonsumsi.

Nikodemus Sabulukkungan memisahkan antara kulit dan isi pohon sagu

Proses pemarutan isi pohon sagu mengunakan alat tradisional yang dikenal dengan sebutan gagaji

Mengumpulkan hasil parutan untuk selanjutnya dibawa ke dereat

Proses pemisahan pati dengan ampas sagu

Nikodemus memisahkan antara isi dan ampassagu pada alat pengolahan yang disebut dereat


Sagu tersebut kemudian akan disimpan pada sebuah wadah yang terbuat dari daun sagu berukuran panjang sekitar satu meter, dengan diameter sepanjang 25 sentimeter yang disebut dengan tappri.

Vincent Sabulukkungan yang kala itu ikut membantu Nikodemus mengolah sagu menyebutkan, satu potongan sagu nantinya dapat mengisi penuh tappri untuk keperluan makan selama satu satu bulan bagi sebuah keluarga kecil yang terdiri dari orang tua dan satu anak.

Apabila untuk keperluan sehari-hari maka pekerjaan mengolah sagu akan dilakukan oleh anggota keluarga yang bersangkutan, sementara apabila sagu tersebut akan dipergunakan untuk keperluan upacara adat, maka yang akan bekerja adalah kaum laki-laki dari suku yang bersangkutan.

Menurutnya, selama ini belum pernah ada orang Mentawai yang kelaparan dan kekurangan makanan, sebab segala kebutuhan sudah disediakan oleh alam, seperti sagu yang tumbuh subur dan melimpah ruah di sekitar mereka.

Bukannya tidak pernah memakan nasi, Vincent menambahkan bahwa rata-rata orang Mentawai sudah terbiasa mengkonsumsi sagu, bahkan bagi mereka sagu lebih tahan lama di perut dari pada nasi.

Sementara Nikodemus sibuk mengolah sagu, Agustinus Durai yang juga ikut dalam pengolahan menambahkan, tidak semua sagu dapat diolah, ada batasan-batasan umur tertentu agar sagu dapat ditebang untuk kemudian dijadikan tepung sagu.

Setidaknya sagu harus berumur 17 tahun agar pohonnya benar-benar berisi untuk dapat diolah, sebab pada umumnya batang sagu yang usianya di bawah batasan tersebut belum terlalu berisi dan masih lunak untuk dapat diparut dan diolah.

Ia menuturkan, setelah pohon sagu pada sebuah kawasan mulai berkurang, maka secara otomatis masyarakat akan langsung menanam penggantinya sehinga persedian sagu akan selalu ada untuk menunjang kehidupan masyarakat.

Nikodemus hampir selesai memeras parutan sagu ketika Agustinus menyebutkan bahwa sagu yang sudah diolah dapat bertahan dengan pengawetan alami.

Sagu yang sudah disimpan di dalam tappri dan direndam dalam air dapat bertahan hingga satu tahun, sehingga masyarakat tidak perlu pusing memikirkan persediaan makanan.

Agustinus menekankan bahwa kehidupan masyarakat Mentawai sangat bergantung pada alam, apabila alam mulai rusak dan tumbuhan sagu mulai menipis maka masyarakat akan mulai kesulitan untuk mendapatkan bahan makanan.

Untuk dapat dikonsumsi, sagu yang sudah diolah menjadi tepung harus dimasak terlebih dahulu dan dimasaknya juga memanfaatkan hasil alam.



Memasak Sagu

Seusai mengolah sagu, Nikodemus, Agustinus dan Vincent kembali mengarahkan pompong miliknya kembali menuju Uma Sabulukkungan, Rumah adat khas mentawai kepunyaan suku Sabulukkungan.

Di dapur, tepat pada bagian belakang uma, beberpa orang wanita sibuk menyiapkan beberapa bahan yang akan diolah. Selain sagu, di sekitar perapian atau tungku beberapa batang bambu yang sudah dipotong-potong disandarkan untuk nantinya digunakan sebagai wadah dalam memasak sagu.

Sembari menghaluskan tepung sagu yang akan dimasak, Lidiana Sabulukkungan, wanita yang tepat berumur setengah abad itu menceritakan bahwa hingga saat ini masyarakat Mentawai masih memasak sagu menggunakan cara yang tradisional, yaitu memanggang sagu di dalam bambu.

Setelah mulai halus, Lidia kemudian memasukkan sagu ke dalam potongan-potongan bambu untuk kemudian disangai di sekitar api yang sudah dinyalakannya di dalam tungku.

Tidak kurang dari 15 batang bambu berisi sagu berjejer menghadap api, ketika satu sisi bambu mulai berubah warna, maka Lidia akan segera memutarnya sehingga panas api dapat memasak sagu secara merata. Sagu yang dimasak dengan cara ini disebut dengan sagu kaobbuk,

30 menit berlalu ketika seluruh bagian bambu mulai berubah warna kehitaman yang menandakan sagu mulai masak sempurna, sambil mengganti sagu yang sudah masak tersebut dengan sagu lainnya, ia menyebutkan bahwa sagu tidak hanya dapat diolah dengan cara tesebut.

Sagu kapurut, tidak jauh berbeda dengan sagu kaobbuk, sagu ini tetap dimasak dengan cara dipanggang, akan tetapi tidak lagi menggunakan bambu melainkan daun sagu.

lebih lanjut wanita yang sudah mulai berumur tersebut menjelaskan bahwa dalam memasak sagu api yang digunakan tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh terlalu kecil.

Jika api yang digunakan terlalu besar maka sagu tidak akan matang dengan sempurna, hanya bagian luarnya saja, sementara bagian dalamnya masih mentah, selain itu jika api yang digunakan terlalu besar sagu juga bisa berubah rasa menjadi pahit.

Tidak terlalu sulit dan tidak terlalu gampang, begitulah Lidia menjelaskan bagaimana cara memasak sagu. Untuk menambah cita rasa, sagu yang dimasak bisa saja ditambah dengan menggunakan parutan kelapa atau gula.

Lidia kemudian mencicipi sagu kapurut yang sudah matang, setelah dua kunyahan dia bergumam bahwa sagu yang sudah masak ini nanti akan lebih nikmat jika dikonsumsi dengan campuran ikan atau pun sayur-sayuran yang diambil dari ladang.

"Kami belum pernah merasa kekurangan bahan makanan, sebab apa yang kami konsumsi sudah disediakan oleh alam," tambahnya sembari melahap sagu yang telah dimasaknya itu.

Lidiana Sabulukkungan menghaluskan sagu sebelum dimasak

Proses pemanggangangan sagu


Artikel ini pernah dimuat pada halaman Antara Sumbar.
Continue reading Menengok Pengolahan Sagu di Bumi Sikerei