Pola
kehidupan masyarakat Minangkabau yang berkelompok semenjak awalnya membawa
mereka kepada suatu sistem yang melahirkan pola-pola tersendiri dalam
masyarakatnya. Hingga saat ini mereka diatur oleh oleh tatanan adat yang telah
mereka anut semenjak dahulu kala. Terdapat beberapa pengklasifikasian adat
menurut masyarakat Minangkabau, yaitu: Adat
nan sabana adat, Adat nan diadatkan, Adat nan teradat dan Adat istiadat (Sjarifoeddin
Tj. A, 476: 2011).
Dari
keempat pengklasifikasian di atas, Adat
Istiadat merupakan aturan adat yang dibuat dengan kesepakatan Niniak Mamak
dalam suatu nagari (Sjarifoeddin Tj. A, 476: 2011). Jadi setiap aturan yang ada
dalam suatu nagari belum tentu ada pada nagari lain di Minangkabau. Hal ini
tergantung pada peraturan dan kebutuhan dari nagari itu sendiri. Adat Istiadat
juga dikenal dengan istilah adat salingka
nagari.
Salah
satu contoh dari adat istiadat atau adat salingka nagari adalah tradasi manyiriah yang umumnya ada di daerah
Luhak Agam. Dalam hal ini penulis melakukan fokus penelitian di Nagari Gadut
Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten
Agam. Dalam penelitian ini penulis akan melihat perubahan yang terjadi
pada tiap-tiap unsur yang ada dalam tradisi manyiriah
sebelum dan setelah tahun 1970-an.
Tradisi
Manyiriah
1. Pengertian.
Jika dikembalikan ke dalam bahasa Indonesia, manyiriah disebut juga dengan menyirih
dengan kata dasarnya sirih. Apabila ditambah dengan me- pada bahasa Indonesia
ataupun imbuhan ma- dalam bahasa minang,
maka kata benda ini akan berubah menjadi kata kerja. Jadi secara keseluruhan
istilah menyirih dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan mengunyah sirih. Tradisi
mengunyah sirih sebenarnya merupakan tradisi yang kerap dilakukan oleh segenap kaum
wanita dahulunya.
Di Minangkabau, khususnya di Nagari Gadut Kecamatan
Tilatang Kamang Kabupaten Agam, manyiriah
tidak hanya sebuah kebiasaan wanita. Akan tetapi manyiriah juga merupakan sebuah cara yang digunakan untuk
mengundang masyarakat dalam sebuah acara. Dengan kata lain manyiriah merupakan pengganti undangan seperti yang kita kenal pada
saat sekarang ini.
2.
Tentang
Manyiriah.
Tradisi manyiriah ini digunakan untuk mengundang
masyarakat dalam kaegiatan pesta, seperti pesta pernikahan, akikah (mangarek
rambuik/turun mandi) serta pada pesta peresmian gelar seorang datuak. Pekerjaan
ini dilakukan oleh anak muda yang ada di selingkungan suku yang mengadakan
pesta. Dalam penerapannya, salah seorang yang pergi mesti kemenakan dalam suku
orang yang memiliki hajat.
Orang-orang yang pergi menyiriah biasa disebut
dengan tukang imbau. Mereka akan
membawa siriah langkok yang terdiri dari daun sirih, gambir, pinang dan sadah.
Benda-benda ini merupakan undangan bagi kaum wanita. Sedangkangkan bagi kaum
pria, benda yang dibawa sebagai lambang dari sebuah undangan adalah rokok.
Pada saat mengundang itu tukang imbau tidak hanya
sekedar memberikan siriah dan rokok tadi. Akan tetapi ada kata-kata yang mesti
diucapkannya, yaitu “kami dilapeh inyiak
datuak ......... maimbau apak, ibuk, ipa, bisan, karik, kabia, sarato saisi
rumah nanko untuak pai baralek ka rumah etek ............ pado hari
...........” Artinya “kami dilepas oleh inyiak datuak ...........
mengundang bapak, ibuk, ipar, besan, karib, kerabat serta seluruh penghuni
rumah ini untuk dapat hadir ke rumah ibuk ......... pada hari ..........,
kata-kata ini diucapkan ketika mengundang kaum perempuan dan laki-laki yang ada
di luar suku orang yang punya hajat atau alek.
Terdapat perbedaan dalam memanggil urang sumando dan ipar dari sipangka (orang yang punya hajat).
Mereka tidak diundang oleh tukang imbau dengan membawa siriah dan rokok. Akan
tetapi untuk orang sumando akan diundang oleh mamak dari sipangka, sedangkan ipar akan diundang oleh etek dari sipangka. Dalam undangan akan dikatakan secara
langsung tanpa meninggalkan siriah dan rokok.
3.
Tradisi
Manyiriah sebelum tahun 1980-an.
Tradisi manyiriah pada era sebelum tahun
1980-an bisa dikatakan masih kental dengan keasliannya. Hal ini dapat kita
lihat dari segi pakaian, benda-benda yang digunakan dan tata cara
pelaksanaannya.
a. Pakaian.
Pakaian
yang digunakan oleh laki-laki dalam manyiriah adalah celana dasar, baju kemeja,
peci hitam dan sarung yang dillitkan di pundak. Sedangkan untuk wanita
menggunakan baju kuruang dengan jilbab. Hal ini menyiratkan islam sudah
mengakar dalam tradisi masyarakat, sebagai sebuah keterikatan antara adat dan
syarak, seperti mamangan Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Hasanuddin, 42: 2013).
b.
Benda-benda yang digunakan.
Dalam
manyiriah, untuk wanita tukang imbau
membawa siriah langkok yang terdiri
dari daun sirih, pinang, sadah dan gambir. Sedangkan untuk pria tukang imbau
membawa rokok daun enau yang terdiri dari daun enau dan santo (tembakau). Bagi wanita yang ingin manyiriah (mengunyah sirih) , maka si tukang imbau akan langsung meramukannya untuk nantinya dikunyah
oleh orang yang meminta.
c.
Tata cara pelaksanaan.
Pada
era sebelum 80-an, orang yang menjadi tukang
imbau adalah sepasang laki-laki dan sepasang perempuan. Dalam pelaksanaanya
nati, laki-laki hanya bertugas untuk mengundang kaum laki-laki dan kaum
perempuan hanya bertugas untuk mengundang kaum perempuan saja. Sebelum
berangkat, mereka dilepas oleh orang-orang tua yang ada di rumah sialek tersebut.
4.
Tradisi
Manyiriah setelah tahun 1980-an hingga sekarang.
Tradisi manyiriah pada
era setelah tahun 1980-an sudah mulai bergeser dari keasliannya. Hal ini dapat
kita lihat dari segi pakaian, benda-benda yang digunakan dan tata cara
pelaksanaannya.
a.
Pakaian.
Pakaian
yang digunakan oleh laki-laki dalam manyiriah pada masa ini adalah menggunakan
celana dasar, baju kemeja, peci hitam dan sarung yang dillitkan di pundak.
Sedangkan untuk wanita tidak ada lagi yang yang menggunakan baju kuruang mereka
telah beralih pada pakaian yang berkembang sesuai dengan zaman, seperti kebaya.
Hal ini bisa dimengerti selama tidak melanggar tahap kesopanan.
b.
Benda-benda yang digunakan.
Pada
masa ini tetap siriah langkok tetap digunakan, akan tetapi yang ditinggalkan di
rumah orang yang diundang tidak lagi sirih yang sudah diramu dengan kawanannya
(sadah, pinang dan gambir), yang ditinggalkan hanya selembar sirih sebagai
tanda. Untuk kaum pria, pada masa ini tidak lagi menggunakan rokok yang terbuat
dari daun enau dan tembakau. Akan tetapi telah beralih kepada rokok kretek yang
telah jadi, tanpa harus menggulungnya terlebih dahulu.
c.
Tata cara pelaksanaan.
Pada
tahun-tahun setelah masa 80-an hingga sekarang, dari tata cara pelaksanaan
manyiriah ada sedikit perubahan. Jika pada masa sebelum tahun 80-an perjalanan
antara laki-laki dan perempuan dipisah dalam manyiriah. Maka pada masa ini manyiriah
dilakukan secara berpasangan oleh tukang
imbau tersebut.
Kesimpulan.
Setidaknya
telah terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam dalam perantaraan tahun
1980-an pada tradisi manyiriah yang ada di Nagari Gadut Kecamatan Tilatang
Kamang Kabupaten Agam. Perubahan itu terjadi dalam aspek gaya berpakaian,
benda-benda yang digunakan dalam manyiriah dan tata cara manyiriah dari
sendiri. Hal ini dikarenakan perkembangan zaman ke arah yang lebih maju serta
fungsi dari beberapa benda yang digunakan untuk manyiriah tersebut.
Daftar
Sumber
Buku
Hasanuddin,
2013. Adat dan Syarak Sumber Inspirasi
dan Rujukan Dialektika Minangkabau. Padang: PSIKM Unand.
Navis,
A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru.
Jakarta: Grafiti Press.
Sjarifoedin
Tj. A, Amir. 2011. Minangkabau dari
Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Gria Media
Prima.
Wawancara:
Y.
Datuak Tungga -71 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)
Sanijar
-74 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)
Rosmanidar
– 68 tahun (wawancara pada hari rabu 11 Juni 2014)