Kepulangan tiga orang pemuda Minangkabau dari Timur Tengah pada awal abad ke-19 adalah awal atau titik tolak dimulainya gerakan pemurnian agama islam di Minangkabau. Ketiga orang itu adalah Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik. Mereka pulang membawa pemikiran baru yang diilhami dari gerakan wahabi yang terjadi di Timur Tengah kala itu.
Kondisi keagamaan masyarakat Minangkabau sekembalinya mereka ke Minangkabau berada dalam keadaan yang kritis. Sebab, segala kegiatan dan perbuatan masyarakat masa itu telah jauh dari ajaran islam yang semestinya. Bahkan banyak dari perbuatan mereka yang telah melanggar pantangan agama. Seperti, menghisap madat (opium), berjudi, menyabung ayam, memakai sutra bagi laki-laki, minum-minuman keras dan lain-lain.
Hal inilah yang nantinya menjadi pemicu munculnya gerakan dari kaum agama yang menamakan gerakan mereka gerakan paderi. Gerakan ini awalnya hanya berorientasi sebagai wadah untuk mengembalikan kemurnian ajaran islam yang telah diselewengkan oleh masyarakat Minangkabau. Akan tetapi lama-kelamaan gerakan ini mulai berubah menjadi gerakan radikal yang tak pandang bulu. Segala tindakan mereka selalu dilandasi dengan Al-Quran dan Sunnah, sehingga mereka merasa wajar melakukan tindak kekerasan dalam memurnikan kembali ajaran Islam.
Setiap gerakan yang dilakukan oleh kaum paderi tidak selalu mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Oleh sebab itu selalu muncul perlawanan dari Kaum Adat. Kaum Adat ialah mereka yang menjadi sasaran dari Kaum Paderi dalam melakukan pemurnian agama islam. Gerakan pederi ini dilakoni oleh para ulama yang ada di Luhak Agam dengan menamai diri meraka Harimau Nan Salapan yang pergerakannya banyak berorientasi di daerah Luhak Agam.
Awal terbentuknya Harimau Nan Salapan.
Sebelum mulai terbentuknya gerakan paderi, sebenarnya gerakan pemurnian agama islam telah terlebih dahulu dilakukan oleh Tuanku Nan Tuo, seorang ulama termahsyur yang ada di daerah Ampek Angkek. Salah seorang murid beliau yang sangat gigih dalam pemurnian agama islam adalah Tuanku Nan Renceh. Dia adalah seorang ulama yang berasal dari daerah Kamang. Dalam gerakannya, Tuanku Nan Renceh cenderung bersikap keras.
Tuanku Nan Renceh sering mengajak Tuanku Nan Tuo untuk bergabung dengannya dalam memurnikan kembali ajaran islam. Akan tetapi beliau selalu menolak ajakan tersebut. Karena beliau sangat tidak setuju dengan gerakan yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceh yang bersifat keras atau radikal.
Adanya tawaran dari Tuanku Nan Renceh kepada Tuanku Nan Tuo dikarenakan beliau merupakan sosok yang termahsyur dan disegani oleh masyarakat, terutama di wilayah Agam. Dalam pergerakannya, Tuanku Nan Renceh membutuhkan seorang sosok yang akan menjadi tokoh di kalangan masyarakat. Hal ini berhubungan dengan masa yang akan didapatkan jika Tuanku Nan Tuo bergabung bersamanya (Amir Sjarifoedin: 2011)
Tokoh lain yang se-ide dengan Tuanku Nan Renceh adalah Haji Miskin. Beliau memulai gerakan di kampungnya sendiri, yaitu di daerah Pandai Sikek. Pada gerakan yang dilakukannya di Pandai Sikek, Haji Miskin ditentang oleh masyarakat. Untuk menghindari amukan dari masyarakat Pandai Sikek, maka Haji Miskin pindah ke daerah Koto Laweh. Di Koto Laweh, Haji Miskin bertemu dengan Tuanku Mansiangan Mudo, seorang ulama yang ayahnya Tuanku Mansiangan Tuo merupakan murid dari Syekh Burhanuddin Ulakkan. Selanjutnya, Haji Miskin mulai bergabung bersama Tuanku Nan Renceh yang ada di Kamang.
Karena gagal membujuk Tuanku Nan Tuo ikut dalam gerakannya, akhirnya melalui Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh berhasil mengajak Tuanku Mansiangan untuk ikut dalam gerakannya. Tuanku Mansiangan dikenal sebagai seorang ulama yang juga banyak disegani oleh masyarakat. Oleh sebab itu beliau diposisikan sebagai Imam Besar.
Pada tahun 1803, Tuanku Nan Renceh melakukan perkumpulan dengan beberapa orang ulama di Luhak Agam dan masyarakat Kamang. Dalam pertemuan itu Tuanku Nan Renceh mengumukan bahwa akan dimulainya Gerakan Paderi. Pada waktu itu pula dibentuklah Dewan Harimau Nan Salapan dengan Tuanku Nan Renceh sebagai penggagasnya, dibantu dengan tujuh orang ulama yang datang dari beberapa wilayah di Luhak Agam (Marjani Martamin: 1984)
Kedelapan Tuanku yang menjadi anggota Harimau Nan Salapan adalah:
- Tuanku Nan Renceh di Kamang.
- Tuanku di Kubu Sanang.
- Tuanku di Padang Lawas.
- Tuanku di Padang Luar.
- Tuanku di Galuang.
- Tuanku di Koto Amabalau.
- Tuanku di Lubuk Aur.
- Tuanku Haji Miskin.
Gerakan Harimau Nan Salapan.
Setelah berdirinya Dewan Harimau Nan Salapan pada tahun 1803, yang ditandai dengan berkumpulnya beberapa olang ulama di Kamang, maka dimulailah penyusunan rencana untuk menghabisi praktek bid’ah yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Untuk dapat melakukan pembersihan, kaum Paderi harus bisa merebut kekuasaan dari tangan para penghulu yang menjadi pemimpin masyarakat masa itu. Satu-satunya jalan untuk melakukan semua rencana tersebut adalah dengan cara kekerasan. Sebab, kaum adat tidak akan rela dan secara gampang menyerah pada kaum paderi.
Desas-desus tentang pembentukan Dewan Harimau Nan Salapan serta rencana yang telah disusun mulai terdengar ke luar daerah Kamang. Untuk menguji sejauh mana kesanggupan kaum paderi untuk berbuat kekerasan, maka para penghulu yang ada di daerah Bukik Batabuah (Lereng Gunung Merapi) sengaja melakukan semua hal yang yang sangat ditentang oleh kaum Paderi, seperti: judi, sabung ayam serta minum-minuman keras.
Hal ini sangat memancing kemarahan dari Kaum Paderi. Dengan segala perlengkapan yang ada, bergeraklah mereka ke daerah Bukik Batabuah untuk merealissasikan rencana yang telah mereka susun. Sesampainya disana, pertempuran tak dapat lagi dielakkan. Dalam pertempuran tersebut banyak korban yang berjatuhan di kedua belah pihak. Dengan dimulainya pertempuran di Bukik Batabuah, maka mulailah terjadi berbagai pertempuran hampir disemua daerah di Luhak Agam (Mardjani Martamin: 1984).
Dalam waktu yang lebih kurang satu tahun, Harimau Nan Salapan berhasil menguasai beberapa wilayah agam, seperti Matur, Canduang, Koto Lawas, Pandai Sikek (daerah lereng Gunung Merapi dan Singgalang), Bukit Pua (ujung utara lembah Agam), Padang Tarab dan Guguk, dengan Kamang sebagai pangkalan atau basis pertahanan (Amir Sjarifoedin: 2011).
Di daerah yang telah dikuasai, dibentuk pemerintahan agama dengan Tuanku Iman dan Tuanku Kadi, ulama pemimpin gerakan paderi setempat sebagai pimpinan. Mereka bertugas memberikan penerangan dan bimbingan tentang pembaharuan agama yang sedang dilakukan. Peraturan-peraturan baru diterapkan, seperti mengenakan pakaian putih, membotakkan kepala serta memelihara jenggot. Hal ini berfungsi sebagai tanda atau pembeda antara seorang pengikut pembaharuan dan pembeda dengan mereka yang belum menganut Paham Wahabi (Mansoer: 1970)
Penguasaan wilayah Agam dalam waktu yang relatif singkat oleh Gerakan Paderi yang dilakukan oleh Harimau Nan Salapan, dikarenakan wilayah Agam dikenal sebagai wilayah tempat bermukimnya ulama-ulama ternama, seperti Tuanku Nan Tuo dan Tuanku Mansiangan. Di sini peran penghulu sangat tipis, bahkan terkesan terhimpit oleh peran ulama (Amir Sjarifoeddin: 2011).
Kesimpulan
Gerakan Revolusi Harimau Nan Salapan ini didalangi oleh Tuanku Nan Renceh yang berada di Kamang. Gerakan ini merupakan gerakan yang bersifat radikal atau dilakukan dengan cara yang keras. Tuanku Nan Tuo sebagai seorang tokoh ulama di daerah Ampek Angkek sangat menentang gerakan ini. Sebab beliau beranggapan islam tak mesti disebarkan dengan jalan kekerasan.
Tuanku Nan Renceh menjadikan daerah Kamang sebagai basis pertahanan gerakannya. Hal ini dikarenakan kondisi beliau yang berasal dari Kamang dan awal dari pembentukan Dewan Harimau Nan Salapan juga di daerah Kamang. Dalam menguasai daerah Agam, mereka tidak membutuhkan waktu yang lama, terbukti dengan waktu lebih kurang setahun, beberapa wilayah yang ada di Luhak Agam berhasil mereka kuasai.
Mereka yang tergabung dalam Dewan Harimau Nan Salapan ini adalah: Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Padang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galuang, Tuanku di Koto Amabalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh sebagai otak pergerakannya. Tuanku Mansiangan diposisikan sebagai ketua Dewan atau organisator, akan tetapi beliau lebih menjadi seorang fasilitator yang nantinya berfungsi sebagai pendukung gerakan mereka.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minagkabau (PPIM)
Mansoer, M.D. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhatara.
Martamin, Mardjani. 1984. Tuanku Imam Bonjol. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jendral Sejarah dan Nilai Tradisional.
Sjarifoedin Tj. A, Amir. 2011. Minangkabau dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Griya Media Prima.
Yunus, Yulizal, Dkk. 2008. Beberapa Ulama di Sumatra Barat. Padang: Pemerintah Provinsi Sumatra Barat Dinas Parisata Seni dan Budaya UPTD Musium Adityawarman.
Wikipedia Indonesia. Perang Paderi
0 comments:
Post a Comment
Komennya harap yang Sopan ^_^